1

627 54 6
                                    

      Rindu satu kata yang ingin, Prak Renjun katakan, tapi suaranya enggan keluar saat bibirnya ia buka. Sungguh walaupun ada paman dan bibinya yang sangat menyayangi nya, dan di anggap sebagai putra tunggal mereka tapi tetap saja itu berbeda.







Ia rindu suara halus ibunya yang menyanyikan lagu pengantar tidur, dan suara hangat ayahnya yang membacakan cerita setiap ingin tidur.







Hari ini adalah tepat orang tuanya berpulang kerumah Tuhan, kedua orang tuanya mengalami kecelakaan beruntun akibat bus yang berlawanan arah tidak dapat mengendalikan busnya, ia ingat betul bagaimana kejadian itu disiarkan di berita televisi dan surat kabar yang menewaskan 40 jiwa didalamnya, ia juga melihat dengan kedua mata kepalanya sendiri bagaimana rupa kedua jasad orang tuanya yang kaku dan membiru.







Sedih pasti, kecewa pun ia rasakan, kenapa harus orang yang sangat berharga baginya di rampas begitu saja. Kenapa bukan dirinya saja ya Tuhan mereka terlalu berharga dibandingkan dengannya yang cacat.







Renjun pemuda manis itu tengah menikmati angin sore menerpa wajah putih dan lembutnya. Melihat matahari yang kian menenggelamkan diri diantara gedung-gedung tinggi dari atas rooftob fakultas seni. Menikmati kesunyian tanpa harus mendengar makian. Melihat sedikit harapan jika mentari meninggalkan nya maka masih ada bulan yang menemaninya, tanpa dipandang hina.









Jika boleh jujur ia, lelah terus berpura-pura baik-baik saja, hanya sekedar bernafas pun rasanya sudah tersedat. Menanggapi hinaan, makian dan tatapan jijik dari mereka yang melihatnya seolah kotoran yang terinjak. Tak masalah jika ia yang dihina dan direndahkan tapi, kenapa mereka menghina ibunya juga, bahkan mereka saja bertemu dengan ibunya saja tidak pernah, apa karena ibunya sejenis dengan nya? Yahhh ibu Renjun adalah seorang tunarungu, apa itu salah?.







Ibunya selalu berkata jika kita punya kekurangan setidaknya cobalah buat hal yang luar biasa, katakan pada dunia bahwa kekurangan bukanlah sebagai penghalang tapi sebuah dukungan untuk kita terus bangkit dan berkarya. Kita juga berharga dimata mereka yang melihat kita dengan mata yang terbuka.








Itu adalah kata-kata sangat ibu sebagai penyemangat nya dihari-hari yang cerah tapi terasa dingin.








Tengah asik melamun, Tiba-tiba suara langkah kaki bersahutan dibelakangnya, ia beralih menatap kebelakang melihat 3 pemuda berjalan kearahnya, wajah manis itu berubah pucat pasi saat tau siapa ke tiga pemuda itu.








"Wah wah wah, sibisu ternyata, berani juga lo datengin markas gue" Ejek pemuda tinggi yang berada ditengah, diantara kedua temannya, yang Renjun yakini adalah Lee heeseung.








Renjun benar-benar menghindari mereka. Mereka bukan berasal dari fakultas nya tapi mereka dikenal seantero kampus. Dikenal dengan kebengisan nya mem-bully sesama mahasiswa tidak pernah memandang derajat, ya jelas derajat mereka lebih unggul dibanding pemilik universitas ini.







"Dah bosen hidup ya lo? ya jelas buat apa hidup kalo bisu hahaha" Sahut pemuda berkulit putih disebelah kiri heeseung, asal omong emang si Prak Sunghoon ini.








"M-maaf aku tidak bermaksud" Jawab Renjun dengan bahasa isyarat sedikit berantakan, karna tangannya saja sudah bergetar hanya untuk diangkat. Perasaan was-was ia coba tutupi bagaimana pun ia harus tegar agar bisa kabur.







"Ngomong apa sih lo su, bisu, ngomong tuh mangap, malah tiktokkan"







"Lo pikun hoon? Orang bisu gitu, mau mangap-mangap sampek gumoh aja yang keluar cuma angin"








BLUE NIGHT (Jaemren) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang