SENGGOLAN kaki di bawah meja membuat Renjun mendongak ke depan dari aktivitasnya yang sedang makan. Dia menatap Jaemin, si pelaku yang kini memberi kode lewat matanya yang melirik ke arah pintu masuk kantin.
"Inilah mengapa aku muak berteman denganmu. Katakan saja dengan jelas!" Sungutnya. Renjun lebih respek jika Jaemin berterus terang sebab dia malas sekali menanggapi kode-kode atau sinyal-sinyal dari lelaki itu.
Sementara itu, Jaemin mendengkus. "Ada Eumji! Lihat ke sana makanya!"
Lantas Renjun memutar badan untuk menemui keberadaan gadis yang selama ini menjadi incarannya. Hanya sebatas incaran, karena Eumji tidak menyukainya—tidak seperti kebanyakan gadis yang malah memujanya. Sejak masuk perkuliahan, Renjun sudah naksir pada Eumji yang memiliki paras manis. Sayangnya, mereka tidak satu fakultas sehingga gedung mereka pun jauh bagi Renjun untuk melakukan pendekatan dengan gadis itu.
Maka, melihat kehadiran Eumji di kantin fakultasnya, Renjun sempat heran. Namun, keheranan tersebut berhenti hanya sampai ketika gadis itu menghampiri teman sekelas Renjun yang berada di tiga meja di hadapannya.
"Kesempatanmu," kata Jaemin, lagi-lagi menyenggol kaki di bawahnya.
"Apa?"
"Mendekatinya, bodoh."
Renjum diam. Mendekati Eumji? Itu langkah bagus, tetapi dia sudah tidak memiliki ketertarikan lagi pada gadis itu. Entahlah. Renjun hanya menyukai bagaimana Eumji tampil manis di antara temannya yang lain. "Kurasa aku tidak memiliki gairah lagi terhadap gadis-gadis."
Jaemin terkekeh. "Jadi sekarang kau menyukai wanita matang? Janda?"
"Bukan begitu, bodoh!" umpat pemuda Huang sembari mencebikkan bibir. Renjun kembali diam sebentar, lalu membersihkan tenggorokannya. Dia berujar lebih hati-hati, "Aku terhasut saranmu. Aku sudah tidur lagi dengan Donghyuck Seonsaengnim. Dan aku merasakan sesuatu yang berbeda. Jadi mungkin ke depannya aku tidak melihat wanita lagi sebagai preferensi seksualku."
Jaemin berkedip. Penjelasan yang tiba-tiba. Bahkan meskipun dirinya yang telah menyarankan Renjun untuk mencari tahu gairah seksualnya dengan tidur lagi bersama sang dosen, Jaemin pikir Renjun tidak seserius ini. "Kau ... benar-benar serius dengan ucapanmu?"
Tidak ada keraguan, Renjun mengangguk. "Hanya ingin kau tahu, burungku akan keras dan gagah jika aku berhubungan dengan pria. Aku merasa puas tidak tertahankan."
Jaemin membelalak. "Aku tidak ingin tahu tentang itu!" timpalnya, membuat Renjun tertawa. Masih berupaya percaya, dia bertanya, "Tapi kau benar-benar serius?"
"Aku tidak pernah seserius ini, Teman," tekannya malas. "Ah, sudahlah. Terserahmu mau percaya atau tidak. Jika kau ingin mendekati Eumji, silakan saja. Kurasa dia juga belum punya seseorang." Setelah berkata seperti itu, Renjun hendak beranjak dengan membawa piring makanannya yang telah habis.
"Lantas kau mau ke mana? Jangan coba-coba untuk membolos!"
Renjun cekikikan karena temannya itu sangat tepat sasaran. "Kau pandai sekali. Tolong titip absenku, ya!" Serunya, kemudian berlalu dari kantin tanpa menghiraukan pemuda Na yang mengumpati dirinya. "Dia pasti akan menemui Donghyuck Ssaem. Ck, semoga bokongnya baik-baik saja."
***
Benar dugaan Jaemin. Si boty baru jadi itu pergi menemui Donghyuck usai dari kantin. Hebatnya, dia tahu di mana keberadaan Donghyuck, sehingga ketika pria itu sedang memasang sabuk pengaman hendak meninggalkan kampus, sekonyong-konyong pintu penumpang di sisinya dibuka. Masuklah seorang pemuda yang dengan tengilnya tersenyum manis pada sang dosen.
"Hai, Ssaem!"
"Kau!" Keterkejutannya jelas terpampang pada dahinya yang mengkerut. "Mau apa ke sini?"
"Hanya ingin."
"Hanya ingin?"
"Lagipula kenapa kau mengabaikan teleponku," ujarnya, tetapi belum sampai sang dosen menjawab, dia menyambung lagi, "Jangan sok sibuk. Aku tahu kau tidak pernah mengisi kelas semingguan ini."
Yang Renjun tuturkan adalah fakta, sebab satu minggu ini dia selalu menghadiri kelas Donghyuck, namun dosen itu tidak pernah masuk. Entah alasannya apa, yang jelas Renjun kesal sekali karena telah memilih membolos untuk mengikuti kelas pria itu.
"Jadi, beri tahu aku. Mengapa kau mengabaikan teleponku?"
Donghyuck berdecak malas. "Aku memiliki hak untuk menjawab ataupun tidak menjawab teleponmu, mengerti?" Balanya tajam, tetapi tidak membuat Renjun gentar. "Dan kurasa kau tidak perlu sebegitunya penasaran denganku. Tidak perlu sampai ingin tahu tentang kesibukanku. Kau tidak punya urusan akan hal itu, Renjun."
Mendengar demikian, pemuda Huang sempat terdiam. Membawa kembali ingatannya pada malam itu, malam di mana kesepakatan terjadi: dia yang tidak akan ikut campur mengenai urusan pria itu, begitu pun sebaliknya. Namun, Renjun tidak peduli. Maka dari itu meskipun Donghyuck bersikap dingin padanya, Renjun tetap memasang sabuk pengaman ke tubuhnya.
"Aku ikut denganmu."
"Tidak bisa," tolaknya mentah-mentah.
Renjun menarik napas. "Antarkan aku pulang, Ssaem." Hanya pada pria ini Renjun mengemis. Jika bukan karena kehebatannya di ranjang, Renjun tidak sudi melakukan ini.
"Tidak bisa. Aku ada urusan mendesak," balas Donghyuck sembari berupaya melepas sabuk pengaman dari tubuh pemuda Huang. Namun, pemuda itu menjaganya erat-erat. "Kalau begitu biarkan aku ikut denganmu! Ayolah, hanya kali ini. Lagipula urusan mendesak apa sampai aku tidak boleh ikut? Kau mau buang air besar?"
Akhirnya Donghyuck mengalah, lebih tepatnya malas meladeni bocah itu hingga energinya terkuras. Sebagai pria dewasa, Donghyuck enggan mendebat lebih keras. "Tutup mulutmu selama aku menyetir," katanya ketus, membuat Renjun menutup rapat-rapat alat bicaranya.
Lantas, mobil yang dikendarai Donghyuck pun melaju meninggalkan area kampus. Selama perjalanan, mereka sama sekali tidak bicara. Renjun memilih diam untuk situasi yang aman daripada sang dosen menurunkannya di tengah jalan.
Tidak sampai dua puluh menit, mereka sampai di sebuah gedung sekolah anak TK. Renjun tidak heran sampai melihat Donghyuck turun dari mobil dan menghampiri seorang anak perempuan yang berdiri di dekat gerbang.
"Daddy, kenapa lama sekali? Aku kepanasan menunggu!"
Lalu pucuk kepala anak itu dikecup oleh Donghyuck. Melihatnya, Renjun mengerutkan kening. Daddy? Pria yang ditidurinya sudah punya anak??
"Maaf, Sayang. Daddy masih ada urusan tadi," ujarnya lembut. Lembut?? Bahkan nada bicaranya halus sekali! Haruskah Renjun protes karena ketidakadilan ini?
Renjun terus memerhatikan dua orang itu—yang terlihat seperti anak dan ayah—berjalan ke mobil. Sampai Donghyuck berdiri di sisinya dan membuka pintu, Renjun bergeming bingung. "Pindah ke belakang," suruhnya.
Anak kecil yang berada di balik tubuh Donghyuck itu menatap Renjun yang masih terbengong. "Daddy, dia siapa?"
"Ah ... dia murid Daddy. Dia ingin Daddy mengantarnya pulang. Kasihan, dia tidak punya uang untuk naik taksi. Boleh, 'kan, Sayang?"
Raut muka Renjun berganti syok. Dia? Tidak punya uang? Bahkan Renjun bisa membeli gedung sekolah ini! Dia bisa membeli mobil seperti Donghyuck berpuluh-puluh kali! Itu semua tidak ada apa-apanya!
"Pindah ke belakang."
Belum sempat misuh diutarakannya, Donghyuck menekan perintah tersebut. Dengan berat hati Renjun menurut. Setelah dia duduk di belakang yang mana kini di depannya adalah anak kecil itu, Renjun makin sebal karena dia mendengar hinaan untuknya. "Oppa pasti miskin, ya, sampai-sampai menumpang di mobil Daddy-ku."
Yang mana ucapannya itu langsung mendapat teguran dari Donghyuck. "Tidak boleh berkata begitu, Nak. Daddy tidak pernah mengajarimu menghina orang lain."
"I'm sorry, Dad." Renjun bersedekap tangan di dada melihat anak itu bergelayut manja di lengan Donghyuck. Cih, kecil-kecil sudah centil! "Pokoknya, aku bangga sekali punya Daddy yang baik hati suka menolong orang."
Iya, Daddy-mu itu baik hati sekali hingga menolong orang yang sedang mabuk, lalu diajaknya tidur. Baik sekali!
KAMU SEDANG MEMBACA
One Night Stand With My Lecturer - HYUCKREN
FanfictionSemua teman-temannya tahu bahwa Huang Renjun adalah pembenci hubungan sesama jenis. Baginya, mereka adalah sampah yang layak diinjak-injak. Namun, bagaimana jika dia terpaksa menghabiskan satu malam bersama pria asing demi memenuhi tantangan dari te...