Suara bising di kantin sama sekali tak membuatku sadar dari lamunan. Lamunan yang bahkan sekarang membuat bakso di depanku mulai dingin, es teh yang es batunya mulai mencair, dan Binar yang mulai kesal. Ia menepuk pipiku pelan, tapi mengejutkan bagiku. Aku tersadar kemudian menatap Binar.
"Mikirin apa, sih?" tanya Binar.
Aku hanya menggeleng, enggan bercerita soal kejadian tadi malam. Pikiranku penuh dengan keadaan sang elang tadi malam. Selesai melakukan pengalihan perhatian dengan menjadi pesulap dadakan yang abal-abal, aku tak menemukan keberadaan sang elang. Jadi, aku putuskan untuk pulang.
Kukira ketika sampai di sekolah aku dapat bertemu dengannya, tapi sampai sekarang pun aku tak melihat sosoknya. Tentu aku tak berani ke kelasnya untuk menanyakan kabar sang elang. Aku hanya melihat dan mencari-cari saja.
"Okay, tak apa. Oh, iya katanya Dara tidak masuk, apa kau tahu dia dimana?"
Pertanyaan Binar membuatku sedikit melotot. Ternyata sang elang memang tidak masuk hari ini. Bagaimana ini?
"Kau temannya bukan? Kau tak mencarinya?" tanya Binar lagi.
"Tentu, aku mencarinya. Aku akan mencarinya nanti sehabis sekolah."
Bel masuk akhirnya berbunyi. Kami pun segera meninggalkan kantin menuju kelas untuk pelajaran terakhir hari ini. Bahasa Inggris, mata pelajaran yang aku suka. Namun, kini aku tak tertarik mendengarkan penjelasan guru di depan sana. Ada hal lain di kepalaku yang lebih menarik, yaitu memikirkan keberadaan sang elang.
Lagi-lagi aku melamun sampai tak sadar jam telah menunjukkan waktu pulang sekolah. Bel pulang mengejutkanku, membuyarkan lamunanku. Tak butuh waktu lama, aku sudah menggendong tasku dan berjalan keluar dari kelas, meninggalkan Binar yang masih duduk di bangkunya.
Sedikit berlari aku menuju halte bus. Masih sepi. Tentu, karena siswa lain kulihat baru mulai berjalan keluar dari kelasnya. Ternyata sangking terburu-burunya, aku berlari keluar kelas mendahului yang lain.
Keberuntungan sepertinya sedang berpihak padaku. Bus datang selang 2 menit aku menginjakkan kakiku di lantai halte. Tanpa berpikir lama, aku segera masuk ke bus, dan duduk di bangku dekat sopir.
Bus pertama di jam 2 siang biasanya memang sepi, karena para penumpang dari siswa SMA ku belum sampai di halte. Mereka terbiasa menumpang bus berikutnya di jam 2 lebih 15 menit. Oleh karena itu, hanya aku siswa SMA di dalam bus ini.
Ketika bus berjalan, aku masih berpikir hendak kemana aku mencari sang elang. Otakku rasanya kosong, tak ada ide tempat untukku mencari sang elang. Kuletakkan kepalaku ke sandaran kursi. Berharap mendapat ide.
Pandanganku keluar jendela. Sebuah taman bermain dipenuhi banyak anak-anak. Mainan di taman itu terlihat banyak. Ada ayunan, jungkat-jungkit, seluncuran, dan kuda-kudaan. Sangking banyaknya seperti wahana di pasar malam dalam versi mini.
Mengingat pasar malam, sebuah tempat terpikirkan olehku. Aku membaca LED di depan sana yang menunjukkan halte tempat pemberhentian berikutnya. Tepat sekali, aku akan turun di sana.
***
Sang elang, seseorang yang kini duduk di salah satu bangku di taman dekat alun-alun. Tebakanku tidak sepenuhnya benar kalau sang elang di alun-alun. Namun, setidaknya aku tetap menemukannya di sini.
Perlahan aku mendekatinya. Cukup ragu untuk menyapanya. Merasa tak pantas menyapa seseorang yang aku 'campakkan' kemaren. Namun, aku tepis semua rasa itu. Kini aku bisa menemani sang elang. Setidaknya membalas perbuatan burukku kemaren.
Seakan tahu ada seseorang yang mendekatinya, sang elang menoleh kepadaku. Langkahku terhenti, agak terasa canggung dan ragu kembali. Lagi-lagi aku abaikan semua rasa ragu itu. Aku tersenyum tipis kemudian melanjutkan langkahku.
Tepat aku mendudukkan tubuhku di sampingnya, sang elang menunduk. Suasana yang ramai di sekitar tak mengusik kesunyian di antara kami. Kami sama-sama diam. Aku yang diam karena tak tahu harus mengatakan apa terlebih dahulu, sedangkan sang elang terdiam melamun.
Keterdiaman itu berhasil kupecahkan dengan sapaan lirihku padanya.
"Hai."
"Hai."
Sapaan bodoh tentu saja. Aku menggigit bibir, lagi-lagi merasa bingung.
"Terima kasih," ucap sang elang.
"Tidak, kau tak perlu berterimakasih. Aku yang harusnya minta maaf." Aku menunduk, sedikit merasa sesak karena ucapan terima kasih dari sang elang.
Pantaskah aku menerimanya? Aku rasa tidak. Aku kembali mendongak, kemudian menatap sang elang yang ternyata juga tengah menatapku.
"Maaf untuk apa? Kau tak berbuat salah, Tia. Wajar jika kemaren kau berbuat seperti itu. Mungkin aku juga akan berperilaku sama jika di posisimu."
Bolehkah aku menangis? Rasanya makin sesak melihat ketulusan sang elang padaku. Perbuatan jahatku dianggap wajar? Kau baik sekali, Dara.
"Jangan seperti ini, Dara. Kau boleh kecewa dan marah padaku."
"Sudahlah. Oh iya, ada apa kau kemari? Kau mencari ku?"
Aku tahu sang elang mengalihkan pembicaraan dan aku sebenarnya tak mau mengikuti arah pembicaraannya. Namun, aku tak mau membuat sang elang tak nyaman. Perasaan seseorang itu tidak akan mau diperintah oleh orang lain.
"Iya, aku mencarimu. Oh, aku baru menyadarinya. Kau memotong rambutmu ya? Modelnya bagus."
Senyum sang elang mengembang, membuatku ikut tersenyum. Dia merapikan poni barunya yang sedikit berantakan oleh angin.
"Terima kasih, Tia."
Sang elang kembali menatap tajam ke arahku, entah karena apa. Aku sedikit merasa terintimidasi. Setelahnya ia tersenyum miris. Miris untuk hal apa? Miris melihatku?
"Untuk apa kau tersenyum?"
Aku sedikit tersentak mendengar pertanyaan tersebut. Apa maksudnya? Apa akhirnya dia marah padaku?
Sedetik kemudian ekspresi sang elang kembali berubah cerah. Kekehan keluar dari mulutnya, membuatku makin bingung.
"Kau takut ya? Hahaha....aku hanya bercanda."
Aku mengembuskan napas lega. Ternyata ia hanya bercanda. Tak melewatkan momen, aku menyodorkan sebutir permen padanya.
"Mau permen?"
"Wah, terima kasih."
Kami kembali terdiam. Pikiranku kembali ke pertanyaan-pertanyaanku tentang sang elang. Haruskah aku bertanya sekarang?
"Apakah tatapanku sangat menakutkan, Tia?"
Pertanyaan sang elang lebih dulu mengudara. Aku mengangguk ragu. Aku ingin jujur saja kali ini. Respon sang elang pun hanya tersenyum dan ikut manggut-manggut.
"Jujur aku tak bermaksud begitu," ucap sang elang lirih.
"Aku tahu, pasti ada alasannya kan? Dan kau tidak bisa memberitahunya pada orang lain."
Benar. Semua hal pasti ada alasannya. Bahkan, tatapan sang elang pun punya alasannya sendiri.
"Maaf..."
Aku mengangguk singkat dan memberinya senyum tipis. Berharap ia tahu bahwa aku memahami keadaannya.
To Be Continued ----->
Kalau kalian di posisi Dara, apakah akan berbuat yang sama terhadap Tia?
Atau kalian marah dan tak lagi berteman dengannya?
9.10.2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Elang
Novela JuvenilElang, Sang pemilik mata tajam, Gesit dan lincah terbang, Memangsa mangsanya. Terbangnya paling tinggi, Berteman badai setiap hari, Walau begitu ia terus menyendiri. Berbeda dengan sosok elang biasanya, 'elang' ini tak suka sendiri. Mendamba pertem...