Warning: adegan kekerasan yang membuat tak nyaman
***
Cahaya matahari perlahan mulai menghilang. Tenggelam di ufuk barat. Pertanda hari mulai berakhir, tapi tidak bagi kehidupan kami. Tidak bagi perundungan yang Dara alami.
Lagi, seperti De Javu aku berdiri di depan tembok kamar mandi. Menatap ruang di depanku yang gelap. Cukup membuat merinding, tapi tak membuatku ingin pergi. Menemani sang elang adalah hal yang bisa kulakukan untuk membantunya.
"Ayo, pulang?"
Suara sang elang mengagetkanku. Aku menoleh, pakaian sang elang yang tadi kotor berganti dengan yang baru. Kulirik sedikit luka sayatan kecil itu. Luka hasil tendangan sepatu milik salah satu dari para perundung tadi.
,"Ayo, Tia. Kau mau di sini sampai pagi?" tanya sang elang sambil terkekeh.
Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. Segera langkah kupercepat agar sejajar dengan sang elang yang telah berjalan duluan. Kami menuju halte seperti biasa. Keberuntungan kami mungkin adalah hari ini. Sebuah bus telah berhenti di halte, sebelum kami sampai di sana.
Setelah sampai di dalam bus, kami segera duduk di bangku tempat kami biasanya. Kami saling pandang, kemudian tertawa, merasa bodoh melihat wajah berkeringat.
"Kau mau langsung pulang?"
Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan sang elang itu.
"Kau mau tak kuajak ke pasar malam yang di alun-alun"
Aku mengangguk lagi, kali ini dengan antusias. Sudah lama aku tak ke pasar malam. Aku sangat senang dapat ke tempat itu, apalagi bersama sang elang.
"Baiklah, ayo kita bersenang-senang."
Tak berselang lama, kami sudah berdiri di depan pintu masuk pasar malam. Pasar malam yang ramai. Malam yang gelap dan sunyi tak terlihat. Hanya ada keramaian dan silaunya cahaya lampu di beberapa warung di sana.
"Kau mau kemana dulu, Tia?" tanya sang elang padaku.
"Kesana!" Aku menunjuk salah satu stan makanan.
"Baiklah, ayo."
Kami berjalan menuju stan makanan itu. Telur gulung dengan balutan saos pedas. Hmm sangat enak. Setelah pesanan kami jadi, kami berjalan ke stan minuman dan mendapat se-cup es teh jumbo.
Makanan dan minuman sudah di tangan, kami pun beranjak mencari tempat duduk. Sebuah tempat duduk dekat komidi putar menjadi pilihan kami. Memakan makanan kami sambil melihat alat besar itu melakukan pekerjaannya.
Kami tak berbincang, saling tenggelam di pikiran masing-masing. Aku yang masih memikirkan pertanyaanku kemaren dan menimang apakah sekarang waktu yang tepat untuk bertanya padanya.
"OIII"
Lamunan kami seketika buyar karena teriakan itu. Kami menoleh ke sumber suara. Lolita?! Apa yang dia lakukan di sini? Tidak, bagaimana kalau dia melihatku dan aku akan ikut dirundung. Rasanya aku tak sanggup.
Lolita berjalan ke arah kamu, disusul dengan tiga kawannya. Aku sedikit gelisah, bingung harus berbuat apa. Secara reflek aku berdiri dan berjalan pergi ketika Lolita dan kawannya berdiri tepat di hadapan kamu. Masker wajahku hari ini sangat berjasa bagiku.
Setelah agak jauh, aku menoleh melihat keadaan sang elang. Kini tempat duduk itu dipenuhi oleh Lolita dan kawannya, sedangkan Dara berdiri di depan mereka. Tatapan intimidasi dari Lolita terasa sampai tempatku berdiri.
Tubuh sang elang bergetar entah karena apa. Aku merasa menyesal telah meninggalkannya. Namun, aku juga tak sanggup jika harus berada di posisi yang sama seperti elang sekarang.
Mungkin bagi elang, kini keindahan dan keramaian pasar malam adalah trauma. Ternyata tak hanya sunyinya malam yang bisa membunuh, tapi ramainya malam pun juga bisa.
***
Tidak. Aku tak bisa benar-benar meninggalkannya. Aku tak tega tapi juga tak berani. Jadilah aku di sini. Duduk dekat stan penjual takoyaki. Terus melihat pemandangan di depan sana. Dara dan para perundungnya.
Ejeklah aku sebagai pengecut, karena memang aku pengecut. Melihat kawanku di depan sana sedang dirundung, dicaci maki, diintimidasi, tapi aku tetap berdiri dan hanya melihat. Menunggu waktu yang tepat untuk menolong.
Tch, waktu yang tepat? Kenapa tidak sekarang.
Dadaku terasa sesak, penuh rasa bersalah. Air mataku perlahan menetes. Air mata apa ini? Kesedihan?
Aku kembali menatap ke arah sang elang dan perundungnya. Mereka terlihat berjalan ke suatu tempat. Langkahku mengikuti mereka.
Brakk....
Tubuhku ikut tersentak bersamaan dengan tubuh sang elang yang tersungkur. Sang elang terduduk di tanah yang sedikit basah itu. Pakaiannya sedikit kotor karenanya. Walau begitu tatapan sang elang masih tajam.
Tatapan tajam itu terus mengarah ke orang-orang di sekitar Lolita. Tentu kecuali Lolita sendiri yang mendapat tatapan lembut. Jika boleh jujur, aku merasa iri. Sejahat apapun Lolita pada sang elang, tatapan tajam tak pernah ia dapatkan. Kenapa? Aku pun tak tahu.
"Hahh, harusnya aku tak usah ikut kesini saja tadi. Kau membuat mood ku buruk malam ini." Lolita memalingkan wajahnya, seakan muak menatap sang elang.
"Maaf," lirih sang elang.
Lolita hanya berdecak mendengarnya. Ia terlihat makin kesal. Sebenci apa Lolita pada sang elang? Aku tak tahu.
"Beri dia sesuatu yang menarik!"
Selesai berucap seperti itu, teman-teman Lolita segera mendekati sang elang. Salah satu dari mereka membawa gunting.
"Boleh?" tanya orang yang membawa gunting tersebut pada Lolita.
Aku di sini panik. Apa yang akan mereka lakukan dengan gunting itu. Sang elang yang tadi masih terduduk kini hendak berdiri. Namun, gerakannya kurang cepat dibanding salah seorang teman Lolita yang sudah memegang bahunya.
"Lakukan sesuka kalian, lagipula dia tak akan mengingat wajah kalian." Kalimat terakhir itu diucapkan Lolita secara lirih, tapi masih tetap terdengar.
Setelah mengatakan itu, Lolita dan satu orang temannya pergi. Tersisa sang elang yang memberontak ketika orang yang membawa gunting itu mulai mendekatinya. Perlahan orang tersebut mencekal rambut panjang terikat milik sang elang.
"LEPASKAN ?!" teriak sang elang kalap.
Kress....
Suara gunting itu memotong satu ikat rambut sang elang. Ikat rambut sang elang terjatuh di tanah. Tangisan sang elang akhirnya pecah. Aku makin panik.
"Dara, mau model rambut kayak apa?"
Tawa mereka terdengar mengalahkan suara tangis sang elang. Gunting itu mendekati helaian rambut sang elang lagi.
Tidak, aku tak bisa diam saja begini. Ayo cari akal!
Tepat ketika gunting itu akan memotong rambut sang elang lagi, sebuah musik terdengar nyaring.
"BAPAK-BAPAK, IBU-IBU, ADEK-ADEK, KAKAK-KAKAK, mari sini melihat pertunjukkan sulap gratis," teriakku lebih nyaring dari musik yang kuputar tadi.
Banyak orang perlahan mendekat ke tempatku berdiri. Tepat di belakangku ada para perundung yang mengganggu sang elang, Jika mereka tetap di sana, pasti akan ketahuan oleh banyak orang ini.
"Heh, ayo kita pergi saja," ujar salah satu dari mereka yang bisa kudengar.
To Be Contiuned ----->
Kalau begitu apa kita bisa sebut Tia ini pahlawan? atau masih pengecut?
16.08.2023

KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Elang
Fiksi RemajaElang, Sang pemilik mata tajam, Gesit dan lincah terbang, Memangsa mangsanya. Terbangnya paling tinggi, Berteman badai setiap hari, Walau begitu ia terus menyendiri. Berbeda dengan sosok elang biasanya, 'elang' ini tak suka sendiri. Mendamba pertem...