Bab 5: Si Pengamat

14 4 0
                                    

Pengecut bukanlah nama lain yang kusematkan sendiri pada diriku. Aku juga menyebut diriku sebagai pengamat. Meski banyak diam, tapi aku sering memperhatikan orang-orang di sekitarku. Bukan untuk hal yang serius sebenarnya, hanya sebuah kebiasaan.

Mengamati situasi dan beradaptasi adalah caraku bertahan hidup selama ini. Bagiku yang bukan kaum kalangan menengah ke atas menjadi orang tak terlihat lebih mengamankan posisiku. Sebut saja aku minder dan takut, karena memang itu yang kurasakan.

Berada di antara banyak orang dengan segala keunggulan mereka, baik materi maupun kemampuan berpikir membuatku merasa kecil. Orang berekonomi pas-pasan dengan kapasitas otak rata-rata kurasa akan mudah dijatuhkan jika mencoba berdiri di samping mereka. Oleh karena itu, selama ini aku selalu menjaga jarak dengan semua orang di sekolah, termasuk sang elang.

Sang elang adalah sosok memesona yang dipenuhi kelebihan. Bagiku yang hanya sebuah semut kecil berada di sampingnya adalah hal berbahaya. Entah berakhir tertiup besarnya angin, atau bahkan terinjak oleh elang itu sendiri.

Alasan itulah yang membuatku hanya menjadi pengamat sang elang. Pengamatan yang awalnya menyenangkan dan penuh rasa kagum selama dua tahun ini berubah. Semenjak pertengkaran Dara dan Lolita, sosok elang gagah yang terbang tinggi terasa tak ada pada diri Dara lagi. Tersisa tatapan tajam milik elang yang masih terpancar di mata Dara.

Pengamatanku kini ikut membawa sesak merasuk dadaku. Ucapan-ucapan kagum para siswa kepada sang elang kini berubah menjadi gosip dan makian-makian. Makian yang terkadang dilontarkan langsung di depan sang elang. Aku tak menyangka dengan itu semua. Makian buruk seolah mereka telah disakiti oleh sang elang.

"Dasar anak haram."

"Sok baik."

"Sombong banget."

"Biasa aja dong lihatnya."

Banyak lagi makian yang lebih menyakitkan dari itu semua. Makian yang membuatku sesak sekaligus penasaran. Banyak pertanyaan berputar di kepalaku. Satu pertanyaan yang pasti adalah mengapa mereka berkata demikian? Setiap hal pasti memiliki alasannya bukan?

Alasannya mungkin tidak jauh-jauh dari pengaruh sang lawan, yaitu Lolita. Pasti rumor dan gosip itu disebarkan olehnya. Seseorang yang membenci sang elang, sekaligus sahabatnya dulu. Setelahnya muncul pertanyaan lain, benarkah rumor itu?

Benarkah sang elang merupakan anak haram?

Benarkah sang elang hanya berpura-pura baik?

Benarkah sang elang adalah orang yang sombong?

Terakhir mengenai tatapan sang elang aku setuju. Tatapan tajam yang sering kali mengintimidasi, dan tak jarang disalahpahami. Aku juga pernah di posisi terintimidasi dan salah paham itu. Namun, mengamati sang elang membuatku tahu jika itu adalah sebuah kebiasaannya. Bukan untuk mengintimidasi.

Bagiku tatapan tajam sang elang tak banyak mempengaruhiku. Mengabaikan dan memaklumi sudah biasa kulakukan. Berbeda dengan teman-teman lain yang terkadang mudah tersinggung. Selama ini mereka diam karena sang elang bersama Lolita, putri pemilik yayasan. Kini sang elang terbang sendiri, maka mereka dengan mudah melukainya.

***

Suasana kelas sedikit lengang, hanya beberapa siswa yang masih berada di dalamnya, termasuk aku dan Binar. Kami masih piket, sehingga ketika yang lain pulang kami masih di dalam kelas. Aku mengayunkan sapuku, menggiring debu-debu di lantai menuju pintu kelas. Pikiranku teringat tentang rumor-rumor sang elang.

Aku sedikit melirik ke arah Binar yang tengah asyik dengan kemocengnya. Lirikanku kini beralih ke dua temanku yang juga sedang piket. Bimbang, haruskah aku bertanya ke Binar sekarang?

Ah, nanti saja, deh. Batinku sambil membalikkan tubuhku dan melanjutkan aktivitas tertunda ku tadi.

"Binar, Tia, kami pulang duluan, ya."

"Loh, kalian sudah selesai?" tanya Binar

Aku ikut menoleh ke arah dia temanku yang sudah berdiri di dekat pintu. Waktu yang tepat untuk menanyakan berbagai pertanyaanku kepada Binar. Perlahan aku melangkahkan kakiku menuju tempat Binar berdiri.

"Binar," panggilku.

Dia menoleh dan menaikkan alis seolah bertanya 'kenapa?'. Aku semakin mendekatinya. Aku menoleh ke kanan dan kiri, takut jika seseorang masih berada di sekitar kami.

"Kenapa sih?" tanya Binar keheranan.

Aku mengeluarkan cengiranku, merasa sedikit bodoh melakukannya tadi.

"Kau tahu gosip yang beredar tentang Dara?" tanyaku sedikit lirih.

"Ya, aku tahu. Kurasa semua orang di sekolah pun tahu."

Aku mengangguk setuju dengan ucapannya. Bahkan gosip tentang sang elang bagai bel sekolah, sedikit membosankan sangking sudah terbiasanya terdengar di sekolah ini. Aku berdeham untuk memulai pertanyaanku kepada Binar.

"Kau tahu darimana semua gosip itu berasal?"

"Tahu. Sudah terlihat jika penyebar gosip itu Lolita. Aneh jika mereka tak menyadarinya. Mereka hanya tak suka dengan Dara, jadi ketika gosip yang tak benar pun akan mereka gunakan untuk menghujat Dara," ucap Binar terlihat sedikit kesal, entah kenapa.

"Ahahaha....iya juga, ya."

Binar menatapku serius dan sedikit mencondongkan wajahnya kepadaku.

"Kau harus menjaga Dara," bisiknya padaku.

Dahiku mengernyit. Kenapa aku? Seolah tahu pertanyaanku, Binar menjawab.

"Kau kan kawannya."

Sedikit tertohok dengan ucapannya itu, tapi aku segera menguasai diri. Aku kembali berdeham sedikit menetralkan perasaanku yang terasa mulai emosional.

"Sebenarnya ada banyak gosip yang kudengar dan aku tak terlalu memikirkannya. Tapi ada satu gosip membuatku sangat penasaran. Penasaran dengan alasan Dara melakukannya. Kenapa dia selalu bersikap seolah ia sombong dengan jarang berbicara dengan orang lain, menatap orang lain tajam, mudah lupa dengan nama orang lain, kenapa? Itu kan membuatnya dicap sombong? Kenapa dia melakukannya? Dia bukan orang yang sombong. Kenapa dia menatap orang lain setajam itu? Kenap- "

Ucapannya terhenti ketika melihat tatapan Binar yang berubah. Bukan, bukan sebuah kemarahan, tapi tatapan rasa bersalah yang kudapatkan. Namun tatapan itu hanya sebentar, kini telah berubah menjadi tatapann simpati entah padaku atau pada objek pembicaraan kami.

"Kau benar-benar baik, Tia. Kurasa kau bisa menjadi kawan yang baik untuk Dara."

Lagi-lagi ucapan yang terasa berat bagiku. Aku tak sebaik itu untuk menjadi teman bagi sang elang. Baru kemaren aku melukai hatinya, bagaimana bisa aku menjadi teman yang baik untuknya?

"Aku tak tahu alasan Dara seperti itu. Menurutku itu hanya sebuah kebiasaan dan karakternya. Dara yang sudah terbiasa melakukannya tentu tak menyadari hal tersebut. Kau bisa bertanya alasannya kepada dia dan membantunya, Tia."

Aku menunduk, sedih dengan sikapku yang pengecut ini. Aku tak berani hanya untuk sekedar bertanya pada sang elang. Walau begitu aku tetap mengangguk sebagai balasan dari ucapan Binar.

Aku menguatkan tekadku. Kali ini aku harus melepaskan 'si pengamat' dalam diriku. Lebih berani mengambil tindakan dan menerima segala respon. Setidaknya, jika aku tahu alasan Dara bersikap seperti itu, aku bisa lebih membuatnya nyaman di sekitarku.


To Be Continued----->



14.08.2023

Sang ElangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang