>> Sembilan

799 129 65
                                    

   Tempat itu sangat indah. Saking indahnya entah dengan kata apa Zayyan ataupun Amara bisa menjabarkannya. Dan yang paling aneh, tidak ada siapapun lagi di sana selain mereka saja.

   "Om Zayyaaaaan," panggil Amara yang berlari bersama layang-layang di tangan. Layang-layang itu ikut berlari di awang mengikuti setiap jejak langkahnya.

   Zayyan tersenyum riang lalu mengejar Amara bersama tawa. Tawa lepas yang sebelumnya tidak pernah keluar dari mulutnya saat bersama gadis itu. Tawa bahagia yang titik kebahagiaanya ada di atas langit.

   "Saya tangkap layang-layangnya."

   Amara berhenti berlari. "Ih, jangan Om! Aku lari-lari begini biar layang-layangnya terbang, soalnya aku engga bisa terbangin layangan-layangnya."

   Zayyan terkekeh. "Sini, saya bantu."

   "Memang Om bisa?"

   "Kamu meremehkan saya?" Zayyan mengambil alih tali layangan di tangan Amara dengan mudah. "Lihat ya, saya tunjukkan kalau saya cukup handal dalam bermain ini. Ini salah satu permainan saya waktu kecil, tapi hanya saat main ke rumah kakek."

   "Oh gitu. Terus kalau layang-layangnya putus, kakek yang lari tangkap?"

   "Ya engga. Kakek saya sudah tua, takut terjungkal kalau disuruh begitu." Amara menyengir kuda. Tanpa sadar, obrolan sesingkat itu pun Zayyan sudah berhasil menerbangkan layang-layangnya. "Nah, lihat, layang-layangnya mulai naik."

   "Nanti aku ya Om yang pegang."

   "Jangan sampai lepas. Soalnya semakin tinggi, semakin berat."

   "Oh ya?"

   "Hm."

   Mereka menengak lebih tinggi karena layang-layang itu berkelana lebih jauh. Zayyan terlihat handal saat memainkan talinya antara mana saat harus menarik dan saat harus memberi. Karena itu poin utama dalam permainan layang-layang.

   "Om, aku mau coba!" desak Amara tidak sabaran.

   "Iya, boleh. Sini kamunya, berdiri ke depan saya!" Cukup tiga langkah kecil untuk bisa ada di depan tubuh pria itu. Zayyan langsung memberikan talinya ke tangan Amara, dan gadis itu perlahan mulai memainkannya.

    Amara tertawa renyah rendah. "Om, ah-haha, iya bener, berat engga kaya tadi pas aku bawa." Jujurnya. "Om bantuin, nanti lepas layang-layangnya."

   "Iya, ini saya pegangi."

   Tak dihitung habis berapa menit mereka bermain itu saja, sampai akhirnya kedua insan itu mengistirahatkan dirinya di atas rerumputan yang hijau nan rapi itu.

   "Kalau melihat dunia, rasanya sesak. Tapi setiap kali aku melihat langit, entah kenapa aku merasa lebih baik. Rasanya tenaaang. Benar-benar nyaman," ungkap Amara menyorot langit biru itu dengan bola matanya.

   "Artinya ... kamu suka langit." Zayyan menoleh dan tak diduga Amara juga melakukan hal yang sama. Otomatis mereka jadi saling beradu pandang sekarang, dan saling tersenyum karena sulit untuk ditahan. "Langit memang seindah itu. Jika kamu langit, bolehkah saya menjadi awannya?"

   "Maksud Om?"

   "Saya tidak ingin kemanapun, seperti awan yang selalu bersama langit. Dan langit yang tidak pernah meninggalkan awan."

   "Aku engga bisa Om. Karena aku bukan langit yang tidak punya masa habis. Ada saatnya aku akan pergi, dan kita akan sejauh itu."

   "Sejauh apa?"

   "Sejauh itu karena hanya Tuhan yang bisa mempertemukan kita. Sejauh itu karena Om harus melawan maut dulu untuk pertemuan ini. Kita pasti pergi, entah apakah itu aku dulu atau Om dulu."

MatchmakingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang