"Selamat ulang tahun, kami ucapkan. Selamat panjang umur sehat sentosa ...."
Nyanyian itu menggema ke seluruh ruang tamu yang sudah disulap menjadi perayaan ulang tahun. Lilin berangkakan dua dan satu menjadi titik utamanya, menandakan berapa usia gadis itu sekarang.
Setelah dua puluh tahun tidak pernah merasakan perayaan sebesar ini, di tahun ini seperti menjadi hadiah yang luar biasa karena bisa merasakannya. Dan ini tidak mudah, jadi rasanya seperti mimpi. Sebab setiap kali hari kelahirannya datang, hanya lilin, kue dan mamanya saja yang merayakan—tahun ini sempurna.
"Tiup lilinnya sayang."
Amara mengangguk dan meniup api di atas lilin itu dengan sekali tiupan saja. Yang menonton sontak bertepuk tangan setelahnya, tak kalah ceria dengan ratu dalam perayaan ini.
"Selamat ulang tahun, sayang."
"Makasih mah."
"Selamat ulang tahun. Terimakasih sudah memberikan Papa kesempatan kedua."
Amara tersenyum lalu memeluknya, dan Alan membalas dengan cepat. Kegiatan haru itu memberi kesan tersentuh untuk setiap yang menatapnya, apalagi di mata Fifi. Jujur saja tidak sepenuhnya ia sudah memaafkan dosa-dosa pria itu, namun beberapa telah ia ikhlaskan. Dan Amara menjadi alasan utama dia mau bersikap kembali baik pada suaminya dan bertahan hingga di kesempatan kedua yang Alan pinta padanya tak lama setelah Amara dinyatakan hidup kembali.
Atas kuasa Tuhan, hal yang tak pernah masuk ke akal mereka saja, bahkan Tuhan bisa tunjukkan itu dengan begitu mudah. Di kesempatan kedua ini, mereka sungguh belajar tentang apa itu menjaga dan arti kesempatan yang diberikan Tuhan. Entah itu tentang hidup, cinta, rasa sakit, dan banyak lainnya yang bisa dijadikan pelajaran.
"Papa akan berusaha terus menjadi Papa yang baik untuk kamu ke depannya, dan menjadi suami yang baik untuk kamu." Fifi tersenyum. Ia ikut senang melihat perilaku Alan sekarang yang sudah jauh—bahkan sangat jauh dari sikapnya dulu. Sekarang ia merasakan kembali keharmonisan yang telah lama lenyap di keluarga mereka.
"Aku juga, akan berusaha menjadi istri dan ibu yang lebih baik lagi ke depannya."
Zayyan dan keluarganya ikut tersenyum bahagia melihat kebahagiaan itu. Tampak sederhana namun itu yang paling penting dalam berumah tangga.
Selang itu, acara potong kue menyusul. Potongan pertamanya diberikan kepada Alan dan Fifi, Zayyan kedapatan mendapat kuenya di potongan terakhir di antara mereka. Namun itu tanpa mengurangi rasa hormatnya. Begitu semuanya sudah dapat, kumpulan itu terbelah menjadi tiga. Fifi dengan Amel, Alan dengan Ryan dan Zayyan dengan Amara.
Dua anak muda itu memilih duduk di kursi taman daripada di dalam rumah. Sama-sama dingin namun AC tidak akan pernah menang melawan sejuknya angin buatan Tuhan. Lebih fresh.
"Kuenya enak Om?"
"Enak. Mau cobain?" Amara menggeleng. Zayyan tahu sebenarnya gadis itu mau, tapi karena kondisinya yang belum sembuh total, itu mencegahnya. "Tidak apa-apa, anggap saja obat. Satu suapan tidak jadi masalah."
"Beneran engga papa?"
"Dikit aja."
"Ya udah, dikit aja gak papa. Diiikiiit," katanya gemas di akhir, lalu menerima suapan dari Zayyan. Pria itu tersenyum tipis melihat Amara mengunyah kue. "Om, jangan aduin ini ke mama ya. Mama nanti marahin Om," bisiknya yang dikekehi Zayyan.
"Iya. Ini rahasia kita."
Zayyan menatap mata Amara. "Saya suka warna bola mata kamu. Saya ingin punya bola mata warna cokelat seperti itu, tapi tidak mungkin karena mata saya sudah hitam sejak lahir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Matchmaking
Fanfiction[Completed]. ... Pada suatu hari Zayyan bertemu dengan seorang gadis dan mencoba untuk memanfaatkannya. Tapi di luar dugaan, segalanya malah kian rumit dan dia terjebak di sana. Di lingkaran tentang gadis itu. HIGEST RANK: #1 Carnissus. #6 Taennie. ...