6| Tidur Bersama

317 36 8
                                    

Jika ada yang bisa membuatku melupakan semua masalahku di masa lalu, ku yakin itu kamu.

***

Kita kan suami istri?”

Kalimat itu masih terngiang di telinga Adnan meski Humaira beberapa kali memanggilnya. Sampai kemudian, Humaira mematikan lampu kamar dan menghidupkan lampu tidur. Suasana yang semula terang, berubah menjadi tamaram yang membuat Adnan terlonjak dari lamunannya. Humaira masih duduk di posisi semula.

“Apa kamu tipe orang yang tidur lampu selalu nyala?” tanya Humaira.

Adnan sontak menggeleng, “gelap pun aku bisa.”

“Jadi, mau tidur bersama?”

“Eh?”

Lagi-lagi kalimat pertanyaan Humaira terdengar ambigu. Jika lampu menyala, pastilah Humaira bisa melihat telinga serta pipi Adnan memerah karena tersipu. Humaira seperti seorang istri yang sedang merayu suaminya.

Humaira kembali bersuara, “yah aku nggak maksa kok.”

Wanita berbadan dua itu berbaring di pojok ranjang, memberi ruang untuk Adnan tertidur di sampingnya. Humaira juga menyisakan selimut kesayangannya yang selama ini ia pakai sendirian.

Meski malu, Adnan melepas kacamatanya. Menaruhnya di atas nakas. Ia mulai berbaring di samping Humaira. Menarik selimut dan kini satu selimut itu menyelimuti mereka berdua. Ruangan seharusnya dingin karena AC dinyalakan rendah, namun Adnan merasakan suasana disekitarnya menjadi panas.

“Nggak bisa tidur?”

Adnan terkejut. Ia pikir Humaira sudah tertidur.

“Belum. Kamu?”

“Ini pertama kalinya aku tidur dengan orang asing. Agak was-was, tapi aku duluan yang minta kamu tidur di samping aku,” Humaira terkekeh.

Adnan bingung harus merespon bagaimana.

“Maaf, seharusnya saya tidur di sofa saja.”

“Kenapa? Kan sakit tidur di sofa.”

“Kamu jadi nggak nyaman ada saya.”

“Gak apa-apa.”

Suasana menjadi hening beberapa saat.

“Dok, dulu kenapa Anda memilih menjadi Dokter? Kenapa nggak jadi Imam Besar? Atau pendiri agensi juga? Atau aktor? Model juga kayak saya?” tutur Humaira, terdengar penasaran. Namun, sebenarnya itu hanya memancing topik untuk membunuh suasana canggung di antara mereka.

“Kenapa kamu nanya gitu?”

“Penasaran saja.”

“Saya nggak tahu, apakah di mata orang lain saya begitu taat. Selama ini, saya sekali berpikir ilmu agama saya kurang. Memang sih, selama sekolah saya selalu bersekolah di sekolah islam. Saat SMP, dua tahun saya mondok di daerah Jawa. Tapi, kemudian saya kabur dan sekolah formal. Saat SMA, saya suka pelajaran IPA. Kemudian, saya mengajukan beasiswa di perguruan untuk jurusan Kedokteran. Alhamdulillah, diterima,” jelas Adnan, panjang lebar. Humaira manggut-manggut di sampingnya.

“Ayah adalah panutan semua orang. Tapi, saya nggak bisa menjadi seperti ayah saya.”

“Kenapa?”

“Kelak kamu akan tahu.”

“Nggak seru, main rahasia-rahasiaan!” Humaira menabok lengan Adnan. Pria berambut hitam tebal itu tersenyum diam-diam.

“Terus kenapa nggak kaya pewaris seperti Kak Aidan.”

“Tapi, kan kalian sama? Sama-sama seorang anak. Kalau Pak Dokter berminat kerja sama dengan Aidan, mungkin reputasi kalian akan setara. Atau bahkan lebih. Nggak hanya bekerja di bawah naungan agensi saja.”

Suami PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang