chapter 6

84 8 0
                                    

"Sial, berdarah lagi jidat gue." monolog Ravin saat dia merasakan sesuatu yang mengalir di dahinya.

Tadi saat Ravin didorong dengan paksa oleh Julian kepalanya tak sengaja terkena lantai berakhir deh dengan jidatnya berdarah.

Ravin berjalan mencari sesuatu di laci, plester ya dia mencari plester untuk menutup luka di dahinya, beberapa menit mencari dia menemukannya dan langsung berkaca melihat untuk menempelkan plester itu pada lukanya tak lupa dia membersihkannya terlebih dulu.

Disisi lain, rumah Keluara Melina.

"Gimana kalian menjaga satu bocah saja tidak becus!!" bentak Leon pada para bodyguartnya. Tadi pagi Bisma memberitahukan kalau Ravin pergi sedari pagi dari mansionya, itu membuat amarah Leon meledak-ledak.

"Maafkan kami tuan." Sesal Bisma sambil menundukan kepalanya.

Lalu Leon menaiki lift untuk turun ke meja makan, di sana sudah ada abangnya Zev yang duduk tenang, sedangkan Melani belum pulang.

Semalam dia pamit pada Zev akan terbang langsung ke jepang mengurus perusahaan yang bermasalah disana.

"Abang kenapa santai-santai saja?" tanya Leon yang memperhatikan kakaknya duduk tenang dengan sandwich di tangannya.

"Gak perlu panik."

"Apa mamah tahu?"

"Hhhmm."

Leon memutar bola matanya malas mendengar setiap jawaban dari kakak pertamanya itu. Diantara anak-anak Melani cuma Zev yang paling dingin, paling irit bicara dan paling mempunyai aura mematikan jika dia sedang mode marah.

Zek dan Leon makan dengan diam tanpa ada percakapan diantara mereka, beberapa menit kemudian Leon sudah menyelesaikan lebih dulu sarapannya.

"Gue selesai, berangkat dulu," pamit Leon pada Zev, yang hanya diangguki kepala lalu dia menuju ke garansi mengambil sepeda motor sportnya.

Dengan pelan dia mulai menjalankan sepeda motornya menuju sekolahnya.

Kembali ke mesions William.

"Kapan papah akan usir tuh hama?" tanya Elvaro saat William sudah mendudukan diri kembali ke meja makan setelah mengurung Ravin di kamarnya.

"Kita masih membutuhkan dia disini son, kamu tahu kan semua kolega dady menganggap kalau dady dan momy adalah orang yang sangat baik karena dengan senang hati merawat Ravin, nah itu mempermudah dady bekerja sama."

"Ya sementara kita tampung dulu sayang, lagian dia gak nyusahin kamu kan?" tanya Ardila pada putranya.

"Nyusahin si enggak mom, tapi El eneg lihat muka dia yang selalu ngemis perhatian dari El dan semua keluarga ini." Nada bicara El terdengar kesal.

"Sudah sana berangkat nanti kamu terlambat," kata Ardila dengan penuh kasih sayang. Sedangkan di kamar.

Ravin sudah siap dengan seragam sekolahnya, meskipun jam sudah menunjukan pukul 8 pagi dia akan tetap sekolah gak perduli kalau sudah sangat terlambat. Karena pintu kamar yang terkunci, Ravin pun turun melewati balkon rumahnya.

Gak sulit bagi Ravin untuk turun dari lantai dua kamarnya, setelah selimut dan sprei yang dia sambungkan menjadi satu dan mengikatnya di tiang penyangga pembatas balkon, dia lalu turun selanjutnya sudah ada tangga yang menunggunya.

"Uh, untung gue selalu sediain nih tangga ngejigrok disini," ucap Ravin sambil membersihkan tangannya yang tak kotor.

"Ah iya gue lupa, pan sepeda gue ada di maxion tante Melina." Ravin menepuk jidatnya. Dia pun berjalan pergi mungkin hari ini dia akan jalan kaki kalau tidak memberhentikan orang dan minta untuk mengantarnya ke sekolah.

keluarga penggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang