sembilan

193 39 46
                                    

Dahyun sedang melamun di pantri kantornya, menunggu air panas memenuhi cangkir kopi yang baru saja ia letakkan di mesin. Beberapa kali ia membuang napas dengan tatapan kosong, memikirkan beberapa pekerjaan yang belum selesai dan menumpuk di mejanya.

Ia merasa bosan, tubuhnya pun sedikit capek dengan rutinitas yang monoton ini. Sejak semalam, ia sempat kepikiran untuk berlibur atau pergi ke suatu tempat yang menyenangkan. Lagipula dia belum mengambil cuti tahun ini, jadi seharusnya bisa dipermudah jika ingin libur beberapa hari saja.


Dahyun juga merindukan neneknya di desa, ingin tahu kabar terbarunya meski setiap seminggu sekali, dia pasti akan menelponnya untuk berbincang-bincang. Terlintas pula dalam benaknya untuk menjenguk beliau, siapa tahu neneknya juga sudah sangat rindu dengan Dahyun.

Udara di desa yang jauh lebih menyegarkan seolah sudah ada di depannya, tapi Dahyun ingat, ia tak boleh datang tanpa memberi kabar dan mendapatkan persetujuan dari neneknya. Orang yang sangat berharga bagi Dahyun itu pasti akan marah besar kalau dia mengejutkannya dengan datang tiba-tiba, terakhir kali saja dia sampai dipukul lima kali sambil diomeli.


"Pfft." Tanpa sadar dia hampir meloloskan tawa mengingatnya. Meski pukulan itu tak sakit, tetap saja dia tak ingin membangkang dengan tak mendengarkan apa maunya. Jadi, meski sekarang desa adalah tempat yang paling ingin dia kunjungi, Dahyun tentu saja harus memberi kabar terlebih dahulu.

Lamunannya akan terus berlanjut, kalau saja sebuah senggolan kecil tak mengganggunya—bersamaan dengan presensi Yuta yang berdiri di sampingnya dengan sebungkus kecil kukis rasa cokelat.


"Apa yang kau pikirkan sampai senyam-senyum begitu?" tanya Yuta penasaran.


"Bukan hal penting," jawab Dahyun sedikit salah tingkah karena kepergok melamun dengan gestur aneh oleh atasannya.


"Ck! Yak, aku akan serius sekarang, kau ini benar-benar menganggapku orang lain ya—sampai tak mau cerita hal remeh begini padaku? Padahal 'kan tinggal jawab, toh itu bukan hal penting seperti yang kau bilang barusan," katanya terdengar tak terima. Wanita yang hari ini mengenakan pakaian berwarna merah muda tersebut mengernyit, mulai bertanya-tanya apakah itu hanya perasaannya saja atau bukan. Namun seolah tak mau melanjutkan topik tadi, Yuta menghabiskan kukisnya dan membahas hal lain, "Jaketku?"


"Aku cuci dulu, tak mungkin juga aku kembalikan begitu saja, 'kan?" tanya Dahyun, tak memperdulikan keberadaan pria tersebut yang tadi sebenarnya jelas sekali hanya ingin berbasa-basi.


"Kalau pulang malam, harusnya bawa jaket. Udaranya sudah dingin tahu," ujarnya mendekapkan diri, kemudian menyanderkan kepala ke lemari dengan tatapan yang tak kunjung lepas dari lawan bicaranya.


"Aku biasanya tidak pulang malam, Pak—" ucapannya terpotong, wanita itu menoleh ragu saat sadar bahwa Yuta langsung melotot protes berkat panggilannya, "—kenapa? Ini 'kan di kantor?"


"Iya, sih. Tapi 'kan—ah, sudahlah." Tangan Yuta terulur mengambil gelas lain, lalu menuangkan kopi saset yang sama dan menungu giliran gelas milik Dahyun terangkat dari tempatnya. "Omong-omong, apa aku bisa minta tolong padamu?"

Dahyun mengangguk, mengambil gelas dan meletakkanya sebentar di atas ubin di samping mesin.


"Tzuyu-ssi akhir-akhir ini sering lembur di kantor, padahal aku yakin pekerjaannya tidak begitu banyak. Tolong agak ditegur, ya," jelasnya menoleh ke arah Dahyun yang sibuk mengibas-ngibaskan tangan ke atas kopi—mengingat dia tak meniup makanan atau minuman yang akan disantapnya.

kairosclerosisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang