Seluruh tempat itu gelap, seperti dalam keheningan yang menggulung di dalam dirinya. Ia merenung di sana, melihat langit-langit yang tak bercahaya, namun, ada sesuatu yang aneh, ia melihat dirinya sendiri seperti dalam cahaya yang tak terlihat oleh mata lain.
Suara lembut dari sosok yang ia rasakan beberapa saat yang lalu kembali menghangatkan hatinya.
"Kali ini, apa yang kau pikirkan?" tanya sosok itu.
Duri merenung sejenak, mencari kata-kata yang tepat, "Aku tidak tahu."
Keheningan singkat mereka pecah oleh kata-kata Duri yang tiba-tiba memanggil sosok itu, "Hei, Rev."
Sosok yang ia sebut sebagai Rev menjawab, "Hm, ada apa?"
Dengan matanya yang tergenang air mata, Duri mulai berbicara dengan ragu, "Terkadang... Aku berpikir... apakah aku hanya menjadi beban? Atau hanya anak yang terlalu sensitif, terus mencari kasih sayang orang lain, padahal diriku tak mampu mengungkapkan apa yang aku rasakan kepada siapapun?"
Ia terus berbicara, merasakan kekhawatiran dan rasa tidak berdayanya, "Entah seberapa keras aku berteriak dalam hati, mencoba memanggil nama mereka, hanya untuk mengatakan bahwa ada seseorang di sini yang berjuang sendirian, berusaha mempertahankan tembok yang berkali-kali runtuh. Itu..."
Sedangkan Reverse hanya mendengarkan tanpa berniat menyela ucapannya.
Duri menggumamkan kata-kata dengan perasaan bercampur, "Seandainya... Ya, aku terus-menerus menanamkan kata itu dalam benakku, seandainya aku bisa memilih untuk tidak pernah dilahirkan, tapi kubayangkan... itu semua tak akan berguna."
Kata-kata keluar begitu lancar, sebagai curahan hati yang telah lama tertahan. Ia tahu bahwa tidak ada yang mendengar, namun, ia merasa perlu mengatakannya.
Hanya 'dia,' sosok yang ia anggap sebagai teman imajinernya, yang mengerti segalanya. 'Dia' yang mengerti rasa sakitnya, keinginannya, dan kelemahannya.
Bagi Reverse, memahami hati manusia itu sangatlah sulit karena bagaimana pun dan seberapa banyak pun ia atau orang lain memahami baik seseorang. Tidak satu pun dari mereka dapat tahu apa yang benar-benar di inginkan satu sama lain.
Perlahan-lahan tapi pasti ia beranjak dari pangkuan sosok itu dan duduk berhadap-hadapan.
Rupa di antara keduanya tidak begitu mencolok, hanya memiliki perbedaan antara warna mata dan juga rambut.
Duri menoleh pada Reverse, sosok yang hadir dalam imajinasinya. Ia bertanya ragu, "Rev... jika kamu nyata, akankah kamu menjadi temanku?"
Sosok Reverse hanya diam sejenak, seolah-olah merenung, lalu bertanya balik, "Apa yang kau harapkan dari hasil imajinasi mu sendiri, Duri?"
Duri terdiam, tanpa menjawab pertanyaan Reverse. Sebaliknya, ia hanya berkata, "Baiklah, sudah waktunya aku kembali."
"Secepat itu?" tanyanya.
"Aku sudah lebih baik. Terima kasih, Rev," ucapnya kemudian menghilang hanya dalam kedipan mata.
'Sama-sama.'
Kembali ke realitas, ia membuka mata perlahan, melihat langit-langit yang berwarna putih. Terdiam sejenak, ia merenung. Ia teringat dengan jelas saat ia menangis dengan emosi yang tak stabil. Ia merasa malu atas tindakannya tadi.
'Tidak seharusnya aku bersikap seperti itu di depan Kak Hali. Ini memalukan,' batinnya.
Tidak ingin terlalu lama di dalam ruangan itu, Duri bangkit dari tempat tidurnya. Pertama-tama, ia melihat keluar untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang berjalan di lorong.