Bab 5

273 42 0
                                    

Sebelum membacanya mungkin bab ini akan menjadi bab yang membosankan karena cukup panjang mencapai 3482 kata. Jadi, selamat membaca.

{Bab 5: Hal yang berharga}

Pagi itu, ketika sinar matahari pertama mulai merayap di antara bilik-bilik awan, Duri terbangun dari tidurnya. Sebuah pagi Minggu yang biasanya terasa santai, namun malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya baginya.

Tak dapat tidur dengan nyenyak, Duri merenung dalam overthinking yang mendalam. Setiap kali ia mencoba memasuki alam mimpi, terbangun dengan jarak waktu yang terputus-putus, satu jam demi satu jam.

Kini, pagi menyapa dengan pelukan aroma hujan yang masih lekat. Dengan kesadaran penuh, Duri melepaskan diri dari selimut bermotif tumbuhan, langkahnya terhuyung menuju kamar mandi.

Setelah selesai mandi, dapur menjadi tujuannya. Kulkas membukakan pilihan bahan-bahan untuk dimasak. Di antara aroma rempah, perhatiannya tertangkap oleh selembar kertas yang tertempel di pintu kulkas.

'Kakak keluar dulu, ada urusan. Kalau mau makan, bikin sendiri. Kakak sudah makan, kemungkinan pulang telat, jadi kalau mau tidur, duluan aja, gak usah nungguin.'

- Tertanda Halilintar -

Seusai membacanya, Duri segera membuat makanan untuk dirinya sendiri dimulai dengan memakai celemeknya dan menyalakan kompor. Wajan di taruh di atasnya setelah dibersihkan, minyak di tuangkan dan bahan-bahan di olah sesuai seleranya.

Sementara masakannya menggoda dalam api sedang, pandangannya melayang ke luar jendela dapur yang berembun akibat hujan gerimis. Pikirannya melayang, bertanya-tanya tentang kesibukan kakaknya yang selalu meninggalkan rumah setiap akhir pekan.

Matanya kosong, merefleksikan perasaannya, namun tugas memasak memanggilnya. Kompor dimatikan, hidangan nasi goreng disajikan dengan apik.

Nasi goreng. Sebuah karya kuliner sederhana yang dipoles bahan tambahan untuk menyulapnya menjadi sajian yang menggugah selera.

Dengan langkah hati-hati, Duri membawa hidangannya ke meja makan. Segelas air menemaninya. Doa sebelum makan diucapkan dengan tulus, dan setelah menikmati sajian pagi itu, piring dan gelas dipindahkan ke wastafel untuk dicuci.

Setelah sarapan, Duri merenung sejenak di sofa ruang tamu, meredakan rasa kenyang sementara. Namun, ingatannya kembali pada kamar yang belum terurus.

Bangkit dari sofa, Duri melangkah menuju kamar, menemui selimut yang masih berserak di ranjang. Dengan tangan cermat, ia memperbaiki tata letaknya. Beralih ke setiap sisi kamar yang lain, kemudian seterusnya rumah menjadi hal yang harus ia urus berikutnya. Hingga yang tersisa hanya kamar kakaknya, tapi yang terlihat adalah kamar yang rapi tanpa debu yang tersisa.

Kembali ke kamarnya yang sudah teratur, Duri melempar dirinya ke ranjang, meresapi setiap nafas yang dihela.

"Sekarang apa yang harus kulakukan?" gumamnya, mata menatap langit-langit kamar.

Ponselnya menjadi objek berikutnya. Duri menyambar ponsel yang terisi penuh dengan harapan menemukan hiburan. Aplikasi novel membuka dunianya, tetapi cepat bosan membuatnya membuang ponsel dengan frustasi.

"Tidak ada yang menarik. Buka buku pelajaran? Malas. Baca novel? Bosan. Bersih-bersih rumah? Sudah. Sekarang apa yang sebaiknya kulakukan? Jalan-jalan mungkin, tapi cuacanya..."

Gumaman terhenti saat Duri bangkit dan menatap keluar jendela. Tangannya menyentuh kaca yang memisahkan antara dalam dan luar. Jendela dibuka, dan angin sejuk bersama sisa-sisa hujan meresap, membawa suasana segar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 14, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Silent Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang