Bab 2

302 51 5
                                    


Mohon maaf jika ada typo nama atau sejenisnya

Pagi itu, sinar matahari muncul perlahan dari ufuk timur, memberikan isyarat bahwa pagi telah tiba. Sinar hangatnya mengusir bayangan malam, membangunkan semua orang dari mimpi mereka, baik yang indah maupun yang mencekam.

Di dalam sebuah rumah sederhana, seorang pemuda pemilik manik zamrud dengan seragam sekolahnya merapikan diri di depan cermin.

Senyumnya merefleksikan antusiasme ketika ia merasa siap untuk menghadapi hari yang baru, seperti ritual yang di lakukannya setiap pagi.

Dengan tekad yang sama seperti setiap harinya, ia berjalan menuju kamar sang kakak sulung. Dia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan kakaknya yang seringkali terlambat.

Tiga ketukan pelan dilayangkan ke pintu kayu bertanda petir merah. "Kak Hali, bangun!" seru si pemuda.

Namun, sunyi yang menyambutnya. Lima menit berlalu tanpa jawaban. Dengan rasa tidak sabar yang semakin tumbuh, pemuda tersebut mengambil keputusan dan perlahan membuka pintu. Kakaknya masih terbaring di atas tempat tidur tanpa pertanda akan bangun.

Dengan penuh ketenangan, pemuda itu mendekati jendela, yang masih tertutup oleh gorden berwarna merah-hitam. Dia dengan perlahan menarik gorden itu, membiarkan sinar matahari memenuhi ruangan.

Cahaya hangat menyentuh wajah kakaknya, yang merespons dengan menggeliat dan menutupi diri dengan selimut. Sedangkan si pemuda membiarkan pandangannya melayang ke luar jendela, menikmati panorama hijau pepohonan yang memberikan ketenangan dalam batinnya.

Namun, begitu dia berbalik untuk melihat kakaknya yang masih enggan bangun, tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Dengan tegas, ia menarik selimut yang melindungi Halilintar kemudian menarik tangannya seketika membuatnya terduduk.

"Nah... Sekarang silakan bersiap-siap wahai kakak gledekku~" ucap Duri dengan senyum lebar.

Halilintar hanya menatapnya dengan wajah datar, lalu melemparkan bantal padanya. Sayangnya, bantal itu meleset dan hanya mengenai udara. Tanpa banyak kata, Halilintar akhirnya bangkit dan menuju kamar mandi. Lebih baik terlambat dari pada tidak datang sama sekali.

---//---

Setelah mengenakan sepatu dan mengikat tali dengan teliti, Duri keluar dari kamar dan mengunci pintu. Kakaknya yang sudah bersiap menunggu dengan motor di luar.

Duri naik ke belakang motor kakaknya tanpa meminta izin. Untungnya, Halilintar tidak terlalu terkejut oleh tingkah adiknya ini.

"Sudah siap?" tanya Halilintar sambil menyalakan mesin motor.

Duri menjawab dengan singkat, "Sudah, Kak."

Motor mereka berdua meluncur ke jalanan yang padat dengan kendaraan roda dua maupun empat. Di sisi lain jalan, pejalan kaki dan siswa lain berangkat ke sekolah sambil bersenda gurau.

--//--

Sampai di depan gerbang sekolah, Duri melompat turun dari motor, tidak sampai membuat keseimbangan kakaknya terguncang. Halilintar hanya mendecakkan lidahnya dan menghela napas.

"Duri, kamu itu selalu..." Ia berhenti ketika melihat adiknya berlalu. Meninggalkannya masih dengan senyum polos yang menghiasi wajahnya.

Silent Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang