Samael dan Akane berpisah, mereka punya kesibukan masing-masing Akane fokus dengan pekerjaannya sebagai aktor sedangkan samael fokus mencari pekerjaan dipusat kota.
Tapi meskipun samael mempunyai wajah yang tampan, tidak ada yang ingin menerima nya, beberapa berkata mereka tidak memperkerjakan anak dibawah umur, beberapa agak takut dengan penampilannya yang agak dingin dan serius, sementara yang lain tidak ingin cemburu akan ketampanannya.
"Haah ternyata mencari pekerjaan tidak semudah yang kukira(yang udah lulus pasti tahu rasanya)".Samael hanya bisa menghela nafas pasrah dan ingin pulang tapi dia sedikit takut dengan reaksi ibunya.
Di jalanan dia melihat banyak orang-orang berlalu lalang, beberapa dari mereka merupakan sebuah keluarga, mereka semua terlihat sangat bahagia, dengan ayah yang tegas tapi lembut,ibu yang sedang mengendong anaknya yang sedang tidur dengan senyum, samael yang tidak pernah merasakan kasih sayang sedikit cemburu tapi dia tidak terlalu memikirkan nya dan langsung menuju kerumah nya.
"Aku pulang" tidak ada jawaban terdengar, samael yang terbiasa dengan itu hanya menuju ke kamar nya,di ruang tamu dia melihat ibunya helena sedang menikmati minuman nya dengan lahap tanpa memperhatikan samael.
Samael hanya melihat ibunya sebentar dan kemudian masuk ke kamarnya tidak menyadari tatapan ibunya yang sedikit bimbang melihat samael , ekspresi muram terpampang diwajahnya kemudian berubah menjadi tegas seperti dia sedang merencanakan sesuatu untuk samael
_
Matahari terbenam, memancarkan warna oranye kemerahan yang menari di langit. Suara riuh di luar rumah menambah keramaian suasana, tetapi di dalam hati Samael, hanya ada kesunyian yang mendalam. Ia duduk sendiri duduk dipinggiran jendela menatap matahari yang perlahan tenggelam, melihat banyak keluarga yang keluar dengan ekspresi bahagia membuatnya sedikit iri.
Tiba-tiba, langkah cepat terdengar mendekat. Helena muncul, dengan aura dingin dan tajam seperti biasanya. Samael mengalihkan pandangan, menghindari tatapan tajamnya. Ia tahu hari ini tak akan berbeda—akan ada kata-kata kasar atau bahkan pukulan. Namun, kali ini, sesuatu yang aneh terjadi.
“Samael!” Suaranya menggema, jauh dari nada keras yang biasa dia lontarkan. Ada sesuatu dalam nada itu yang membuatnya menoleh. “Ayo, kita pergi ke arcade.”
Samael tertegun, bingung dengan undangan mendadak ini. “Arcade? Kenapa?” tanyanya, suaranya penuh keraguan.
Helena menggerakkan tangannya, tampak tak sabar. “Karena aku ingin bermain,Sekarang ikut aku, juga ganti bajumu” katanya, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Sebelum Samael bisa memberi jawaban, ia berbalik dan melangkah keluar.
Dengan sedikit keraguan, Samael hanya bisa pasrah dan Menganti bajunya dengan cepat ,dia melihat ibunya lebih cantik dari biasanya dida mengunakan pakaian sweater yang tidak hanya membuat nya semakin cantik tapi juga mengekspos lekuk tubuhnya.
Helena tidak memperdulikan tatapan anaknya ke tubuhnya dan hanya berjalan,samael mengikuti di belakangnya. Sepanjang perjalanan, dia merasakan campuran rasa bingung dan harapan yang aneh. Dia tidak pernah dibawa pergi seperti ini sebelumnya.
Setibanya di arcade, suara berisik dan cahaya berkilauan menyambut mereka. Helena melangkah maju dengan percaya diri, seolah-olah ia sedang memasuki arena pertempuran, sementara Samael hanya berdiri di belakangnya, terjebak dalam pikirannya sendiri.
“Coba mainkan ini,” kata Helena, menunjuk pada mesin permainan yang bergetar. Dalam hatinya, Samael merasakan desakan untuk bersembunyi, untuk kembali ke sudut yang biasa, tetapi sesuatu di dalam dirinya mendorongnya untuk mencoba.
“I-Iya, tapi...,” jawabnya pelan, “aku tidak bisa.”
“Jangan bodoh,” sahut Helena, suaranya tegas, tetapi ada keraguan yang samar di matanya. “Cukup tekan tombol dan fokus.”
Akhirnya, Samael mengambil kendali permainan, jari-jarinya mulai menari di atas tombol. Saat permainan dimulai, perasaannya mulai bergetar. Dia merasakan adrenalinnya mengalir, mengalihkan pikirannya dari segala rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ada ketegangan dalam setiap detik, setiap tantangan yang dihadapi di layar, dan untuk pertama kalinya, ia merasa hidup.
Helena berdiri di sampingnya, matanya bersinar dengan semangat yang tidak biasa. “Bagus! Ayo, lebih cepat!” teriaknya, memberi dorongan yang membuatnya semakin bersemangat.
Saat permainan berlangsung, gelak tawa dan sorakan dari mesin-mesin lain mengisi udara. Dalam kekacauan itu, sama sekali tidak ada tempat untuk kesedihan atau rasa sakit. Samael berusaha keras, merasakan keinginan yang kuat untuk mengesankan ibunya, untuk mendapatkan senyumnya, bahkan jika itu hanya sesaat.
Akhirnya, permainan berakhir. Samael tersenyum, meskipun napasnya terengah-engah. Saat dia menoleh ke arah Helena, dia melihat senyum kecil di sudut bibirnya—sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan bisa dia lihat.
“Kau cukup baik,” kata Helena, suaranya lebih lembut dari biasanya. Namun, di dalam hatinya, Samael tahu bahwa ini adalah lebih dari sekadar pujian; itu adalah jembatan kecil menuju sesuatu yang lebih dalam.
Untuk sejenak, dunia di sekitar mereka memudar. Ada ikatan yang mulai terjalin, meskipun masih rapuh. Momen ini, yang tampaknya sepele, adalah suatu harapan—sebuah langkah kecil menuju pengertian dan kedekatan yang telah lama hilang.
Di tengah keramaian arcade, dengan cahaya neon berkelap-kelip di sekeliling mereka, Samael merasakan sesuatu yang baru: sebuah harapan akan perubahan, meskipun samar dan mungkin masih jauh. Momen ini memberi tahu bahwa di balik semua ketidakpastian, mungkin saja ada jalan menuju pemulihan.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Path To Became God In Multiverse
AçãoMempunyai masa lalu yang misterius?cek Punya Daddy dan mommy issues?cek Ayah yang tidak pernah diketahui?cek Punya ibu cantik tapi Dingin dan kejam?cek Punya sistem?cek Wanita cantik?cek Kuat?cek Oke paket lengkap sekarang baca