"Zan, lu yakin mau pake setelan warna merah?" Win mengangkat alisnya, terlihat sedikit bingung, namun yang ditanya masih sibuk berkaca. Ini bukan pertama kalinya pertanyaan itu diajukan, dan jawaban yang sudah dia duga pun muncul.
Pertanyaan itu ditanggapi oleh Fauzan dengan anggukan kepala dan senyum yang menggambarkan ketegasannya. "Tapi dress codenya putih, Zan," Win melanjutkan dengan suara yang penuh pengertian, seolah mencoba memberikan saran bijak kepada sahabatnya yang kerap kali bertindak di luar dugaan.
Fauzan memiringkan kepala sambil terus menatap dirinya sendiri di depan kaca. Setelan warna merah maron melekat di tubuhnya dengan begitu sempurna, seolah diciptakan khusus untuknya. Dia merapikan dasi hitam yang dipadukan sangat rapi dengan setelan itu. Tangan-tangannya yang terampil bergerak dengan gesit, menunjukkan bahwa pemilihan pakaian ini tak terjadi begitu saja.
Win menggaruk kepalanya dengan bingung, tidak sepenuhnya memahami alasan di balik pilihan pakaian Fauzan. "Lu tau kenapa gua milih merah?" tanyanya pada Win, matanya yang tajam mencari kepastian di mata sahabatnya.
Win menggelengkan kepalanya, memutuskan untuk memberi Fauzan kesempatan untuk menjelaskan. Meskipun keduanya sudah berteman sejak lama, namun isi kepala Fauzan seringkali seperti teka-teki yang rumit. Dia belajar untuk tidak membuat asumsi terlalu cepat.
Fauzan tersenyum tipis, senyum yang mencerminkan rahasia yang dia bawa. Meskipun Win tidak mengerti, apa hal yang membuat Fauzan percaya diri dalam pemilihan warna pakaian ini.
"Kemarahan," ujar Fauzan, matanya menyorot dengan sangat tajam hingga alis tebalnya menonjol, membentuk wajah tegas yang seringkali membuat lawan bicaranya merasa sedikit tak nyaman.
"Hari ini, gua akan menunjukkan kemarahan gua," lanjut Fauzan dengan nada penuh keyakinan, suaranya rendah namun penuh dengan otoritas yang sulit diabaikan. "Dan memperlihatkan siapa pemenang sesungguhnya." Sambil berbicara, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celananya, tetap menatap dirinya sendiri di depan cermin dengan sorotan mata yang penuh tekad, lalu menyeringai, seolah merasakan kepuasan mendalam atas apa yang akan terjadi.
Win benar-benar bingung. Ia merasa seperti berjalan di atas kawat tipis antara kebingungan dan keingintahuan. Apa yang dimaksudkan Fauzan dengan semua ini?
"Jangan bertindak sembarangan, Zan," Win memperingatkan dengan suara serak, ketegangan jelas terasa dalam nadanya. Meskipun ia tidak memiliki petunjuk tentang rencana yang akan dijalankan Fauzan, ia tahu ini bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan.
Fauzan menatap temannya dengan ekspresi yang menunjukkan tekad tak tergoyahkan. Bibirnya menyeringai, menunjukkan keteguhan hatinya yang tak dapat diganggu gugat. "Kali ini, gua nggak mau menunggu Tuhan yang bertindak," gumamnya dengan suara rendah, tetapi penuh dengan kepastian. Pandangan matanya berbicara lebih keras daripada kata-katanya sendiri.
"Persetan dengan karma," lanjut Fauzan, suaranya gemetar akibat perasaan amarah yang menggelora. Ia menggertakkan giginya, memancarkan aura yang membuat ruangan itu tiba-tiba terasa lebih dingin daripada biasanya. Bagian dalam dirinya terbakar oleh api marah yang sulit untuk diredam.
"Gua yang akan jadi karma buat mereka semua hari ini," Fauzan melanjutkan, kali ini suaranya seakan ditutupi oleh lapisan dingin yang tak bisa dilewati. Rencana gelapnya, meskipun belum dijelaskan, terasa begitu kuat dalam kata-kata dan ekspresi wajahnya. Win menyadari bahwa temannya telah memasuki wilayah yang berbahaya, tetapi dia merasa seperti hanya bisa menjadi saksi dari apa yang akan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scandal
FanfictionPernikahan mereka hanya menjadi permulaan dari kisah yang penuh dengan liku-liku yang rumit. Gabriel Darmawangsa dan Fauzan Brawidjaya, yang sebelumnya terlihat begitu sempurna dan bahagia, mulai menghadapi masalah-masalah yang merongrong dasar hubu...