"Di mana yang lainnya?" Hao menoleh ke kanan dan kiri. Dirinya dan Hanbin sudah mendudukkan diri di kursi penonton. Pada hari itu, mereka akan tampil mewakili ekstrakurikuler band. Persiapan alat musik di panggung sudah selesai mereka tata.
"Mungkin lagi siap-siap buat yang lain." Sahut Hanbin. Ia menjawab dengan konsentrasi yang tinggal setengah. Profil samping Hao sungguh indah baginya. Lalu ia menyadari bahwa vokalis berbakat itu tidak mengikat rambutnya.
Dengan ragu, Hanbin menarik seutas ikat rambut yang ia kalungkan di pergelangan tangannya.
Romantis, kan? Always ready gitu lho :D
"Hien…" Panggilnya malu.
"Ya?"
Tanpa berbicara, Hanbin menunjukkan ikat rambut hitam itu pada Hao. Ia bermaksud memakaikannya sendiri. Ia ingin merasakan tekstur lembut rambut Hao pada jari-jari tangannya. Boleh, kan, Hanbin membantunya…?
"Kuncir."
"Buat aku?" Tanya Hao, dan Hanbin menjawab dengan anggukan singkat. "Makasih banyak, ya." Hao bermaksud mengambil benda itu dari tangan Hanbin, namun Hanbin mengangkatnya menjauhi Hao. "Em…?"
"Aku mau kuncirin kamu. Boleh?"
Nada bicara Hanbin yang begitu serius membuat hati Hao menciut. Tidak boleh. Hao laki-laki, mengapa Hanbin harus membuatnya merasa seperti itu? Tetapi, di luar rencananya, kepala mungil miliknya mengangguk kaku.
Karena itu, Hanbin dengan pelan menyentuh kedua pundak Hao, mengisyaratkannya untuk berputar. Hao bergeser memunggungi Hanbin secara perlahan. Dan mulailah. Dengan lembut dan penuh hati-hati Hanbin menyatukan setiap helaian rambut Hao agar terkumpul di tengah. Sedikit-sedikit ia membuat gerakan menyisir melintasi kulit kepala Hao dengan jemarinya, kemudian malu sendiri karena sudah menambah kontak fisik di antara mereka. Penyatuan di genggaman Hanbin agak longgar, namun ia memang sengaja. Justru Hao tampak sangat cantik ketika ikatan rambutnya tidak erat. Lalu dengan lihai tangannya mengikat rambut legam itu, dan akhirnya selesai sudah.
Jantung Hao berdegup kencang. Hatinya semakin yakin bahwa Hanbin bukanlah orang biasa baginya. Pasti sosok itu akan terikat dengannya, sebagaimana kini rambutnya bersatu setelah diperlakukan dengan lembut oleh kedua tangan yang begitu berhati-hati.
Dih, apa, sih (malu sendiri)
"Hai, calon mempelai." Ricky tiba di sebelah Hao, lalu duduk begitu saja.
"Hei. Ricky Shen." Hanbin tidak menggubris perkataan si rambut pirang. Justru ia merasa cemburu hanya karena Hao duduk bersebelahan dengan si jangkung itu.
Tak lama kemudian, Gunwook dan Jiwoong tiba dan mengambil tempat duduk di sebelah Ricky. Kebetulan deretan kursi mereka masih kosong.
"Kamu habis dari mana aja?" Tanya Hao pada Gunwook.
"Ini, ini!" Gunwook menunjukkan rambutnya yang tertata dengan apik. Sebut saja nama style itu comma hair. "Rambutku ditatain bagus banget!! Ih, suka aku!!"
"Saking sukanya yang natain rambutmu tadi sumpek soalnya kamu umek." Ujar Jiwoong. "Wih, bikin pantun donk."
"Emang siapa yang nata rambut Gunwook?" Tanya Hanbin, tak menghiraukan Jiwoong yang bangga dengan susunan kalimat puitisnya.
"Kim Taera! Yang rambutnya pendek, cantik!" Gunwook semakin bersemangat.
Yang lain menyahut dengan oh secara bersamaan. Mereka langsung paham. Bocah bongsor itu pasti sedang dilanda asmara.
Memang. Gunwook tidak mengelaknya lagi.
Kim Taera telah mengisi hatinya.
Tidak diperlukan banyak waktu sebelum acara dimulai. Semua murid yang menonton sudah duduk tenang, tinggal host yang perlu maju dan memimpin jalannya acara.
Dan di sanalah Kim Taerae, didampingi oleh Park Hanbin.
"YEEEE!!!" Gunwook bersorak kegirangan, melompat-lompat di kursinya.
"Oi, host-nya belum bilang apa-apa." Ujar Ricky mengomentari tingkah Gunwook. Mengesampingkan rasa malunya sendiri, ia lebih mengkhawatirkan Gunwook yang sama sekali tidak malu.
Dan di saat itulah, mata Gunwook dan Taerae bertemu. Seolah-olah kini semesta milik mereka, kebisingan yang diciptakan orang-orang di sekitar sama sekali tak mengganggu. Gunwook yakin dirinya berada di langit teratas bersama bintang—senang bisa melihat Taerae berdiri di atas panggung, begitu menawannya. Dengan ceria ia mengangkat tangannya ke atas, memberi segala dukungan yang bisa ia sampaikan.
Kamu bisa! Aku percaya padamu! Batin Gunwook, berharap Taerae bisa mendengarnya.
Dan entah bagaimana, Taerae menangkap sinyal itu. Hatinya semakin mantap. Dengan kuat ia mencengkram microphone yang ada di tangannya, lalu mengucapkan dialog yang bersambung dengan Park Hanbin.
"Bener banget! Bersyukur cuaca hari ini mendukung kegiatan yang sudah kita tunggu-tunggu. Kalian pasti heran, kan, kenapa demo ekskulnya baru dilaksanakan setelah pendaftaran?"
"Iya, sih! Aku sendiri juga heran!"
"Itu karena kita harus semakin meyakinkan daya tarik dan kesungguhan dari kegiatan-kegiatan yang kita tawarkan! Yah, walau tidak semua akan tampil, tapi kita saksikan saja, yuk! Terutama untuk teman-teman kita yang belum mendaftar!"
"Iya, Taera! Langsung aja, kita panggil performer pertama! Dengan kekuatan menakjubkan dari tanah air yang kita tinggali ini, mari kita sambut! Ekskul pencak silat, ayo maju!"
Setelah aba-aba dari Park Hanbin, anggota ekstrakulikuler pencak silat maju ke panggung. Penonton yang hadir begitu tenggelam dalam semua pertunjukan yang disuguhkan. Harusnya tidak mengherankan. Seni bela diri bisa dipastikan selalu berhubungan dengan sisi spiritual manusia. Pembukaan hari itu langsung menaikkan ekspektasi.
Disusul oleh ekstrakurikuler paduan suara, lalu sedikit edukasi dari PMR, tari tradisional dan teater. Kini giliran ekstrakurikuler modern dance.
"Eh, itu kan Maeda Haruto sama Wang Zihao! Mereka ikut dance?" Celetuk Hao tiba-tiba saat dua laki-laki itu maju ke panggung.
"Ah, Haruto…" Sahut Jiwoong manggut-manggut.
"Kamu kenal dia?" Tanya Hanbin pada Hao.
"Iya, semacam itu." Mendengar responsnya, Hanbin mengerucutkan bibirnya. Lagi-lagi ia cemburu. Hao melihatnya, dan bibirnya malah menyunggingkan sebuah senyuman. Maafkanlah Zhang Hao, di matanya Hanbin justru sangat menggemaskan. "Apa warna favoritmu?"
"Y-ya?" Hanbin mengerjap bingung. Pertanyaan itu sangat sederhana, tapi benaknya mengatakan bahwa Hao sangat ingin mengetahui sesuatu tentang dirinya.
"Apa warna kesukaanmu." Ulang Hao. "Warna yang mewakili energimu."
Tanpa diduga, Ricky, Jiwoong dan Gunwook malah memperhatikannya. Seolah pertanyaan itu ikut memanggil mereka.
"Aku? Aku suka hijau."
"Apa karena kau merasa ikatan hidup dengan tetumbuhan?"
Hanbin terkejut bukan kepalang. Rasanya Hao mengetahui sesuatu tentang dirinya yang ia sembunyikan rapat-rapat. Tak ada ancaman, namun rasanya begitu tepat mengenainya.
"Ya." Respon Hanbin. "Aku merasa sangat terikat dengan tumbuhan."
"Wah… Kalau aku suka ungu. Warnanya yang pekat mengingatkanku pada bayangan. Aku rasa itulah diriku." Ricky yang sebenarnya tidak ditanya menjawab dengan tenang. Jiwoong yang ada di sebelahnya terlonjak kaget. Seharusnya ia tidak bereaksi begitu, tetapi bagaimana lagi? Ia benar-benar tidak menduganya.
Di belakang mereka, seseorang mendengarkan mereka dengan seksama. Sebuah senyuman miring yang menggambarkan kepuasan dan kebanggaan muncul di ujung bibirnya. Ternyata selama ini dugaannya benar.
Banyak yang sepertiku di sini. Batin lelaki itu.
Ekstrakurikuler band akhirnya dipanggil untuk maju ke panggung. Secara singkat, Gunwook dan Taerae bertukar pandang selagi para host berjalan ke tepi panggung.
Dan di atas undakan kayu itu, Hao dan teman-teman barunya menguasai kembali penampilan mereka. Dikira audio yang disetel tempo hari sudah cukup membuat heboh? Tidak. Hari ini, mereka membuat semakin banyak rasa kagum memancar jelas dari penonton yang hadir. Jika ditanya jujur, penampilan ekstrakurikuler inilah yang paling banyak ditunggu.
Hao dengan parasnya yang menawan, dan suara lantang yang ia keluarkan dengan merdu.
Hanbin yang menyusupkan ad-lib yang menambahkan keharmonisan penampilan vokal keduanya.
Jiwoong dan drum, perpaduan maut yang menyerap banyak energi namun begitu candu.
Ricky tanpa tertinggal sedikitpun, menarik dawai bass dengan begitu karismatik.
Dan Gunwook. Secara langsung atau tidak langsung lagu itu memberinya kesempatan untuk bersinar terang. Jarinya yang lihai mempertontonkan lumayan banyak improvisasi yang justru mendukung suasana lagu. Ia tidak main-main. Ia di sana untuk menghancurkan panggung.
Atau lebih tepatnya hati Taerae. Karena kini ia membeku di tempat, terpukau dan terpikat tak tertolong.
Matthew terkekeh. Bahkan dari tempatnya duduk ia dapat melihat ekspresi kagum Taerae yang tidak ditutup-tutupi.
Baiklah. Ia harus siap mendapatkan saudara tambahan di rumah nanti.——
"Park Gunwook! Keren banget kamu!"
Gunwook menoleh ke belakang. Suara yang menyapa pendengarannya membuatnya sedikit terperanjat. Suara itu biasanya mengalun dengan sangat lembut, bukannya bersorak seperti yang barusan tadi.
"Makasih, Taera. Mungkin berkat rambutku yang kamu tatain."
"Ih, bukan, lah… Kamu emang berbakat. Aku suka sekali lihat kamu tampil. Rasanya cuma kamu yang aku perhatikan."
Acara hari itu sudah selesai, band Gunwook juga sudah selesai tampil. Kegiatan sekolah pada hari itu akan berakhir dalam waktu singkat.
"Taera. Boleh aku tanya sesuatu?"
"Ya. Boleh."
"Apa warna favoritmu?"
Mungkin. Mungkin itu kode baru bagi Quidrinean untuk menanyakan identitas sesamanya. Taerae sudah yakin insan di hadapannya bukan manusia biasa. Ia tidak takut untuk mengungkapkan segalanya. Ia mengulurkan tangannya, dan menggenggam telapak Gunwook yang menganggur sedari tadi.
"Putih, karena aku melihat diriku sebagai pengendali cahaya." Jawab Taerae tanpa ragu.
Wajah Gunwook bersemu merah. Ingin rasanya ia menjawab dengan respons yang semakin mendukung. Walau begitu, perubahan apa yang dapat ia berikan? Taerae saja merasa ia dapat melihat semua yang menantinya di masa depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] LOVE YOU LATER! | ZB1 feat. BOYS PLANET
FanfictionQuidrineus merupakan suatu peradaban maju yang terletak jauh dari bumi. Di sana, kehidupan rakyatnya telah tertata dan sangat melekat dengan yang namanya takdir. Satu tindakanmu melenceng jauh? Kau akan dikirim ke bumi, dihukum agar dapat menata kem...