6

1.3K 60 1
                                    

“Bayangkan seseorang yang kamu sukai diam-diam menyebut nama kamu di dalam doanya, ‘Ya Allah jauhkan dia dariku,’ katanya.”

–Mazaya Rubiya Zaina–

* * *

"Assalamualaikum, Bu Ustadzah."

Mazaya tak menyukai jika ada yang memanggilnya dengan embel-embel ‘Bu Ustadzah’. Alasannya simpel, ia merasa dirinya belum pantes di sebut ustadzah, sifatnya masih jauh dari kata baik. Namun, sebenarnya pria itu tak tahu dirinya seorang ustadzah, pria itu hanya menggodanya saja.

"Waalaikumusalam, jangan panggil saya ustadzah," jawab Mazaya dengan datar karena lawan bicaranya saat ini adalah lawan jenis yang bukan mahramnya.

"Terus maunya dipanggil apa? Sayang?" goda laki-laki itu.

"Sayang-sayang! Pala lo peyang!"

"Buset, jadi cewek kasar amat. Santai aja, Neng."

Mazaya mengepalkan kedua tangannya menahan kesal, ingin sekali rasanya ia menonjok wajah laki-laki genit itu. "Bisa diem gak sih?!"

"Santai aja dong, gue gak ngibarin bendera perang," ledek laki-laki itu.

Gadis itu merutuki dirinya sendiri yang tak ikut masuk ke dalam pasar bersama Mafaza. Ia dan kembarannya itu disuruh Kirana untuk belanja di pasar, dan Mazaya memilih menunggu di parkiran karena ia pikir Mafaza belanjanya tak lama. Kalau sekarang gadis itu masuk ke dalam pasar pun percuma, ia tak tahu Mafaza ada di sebelah mana.

"Abang halalin yuk, Neng."

"Ogah! Emang saya anak haram?!" tukas Mazaya dengan ketus, lalu meninggalkan laki-laki stres itu dan masuk ke dalam pasar mencari Mafaza. Namun sangat sulit bagi dirinya untuk menemukan Mafaza di tengah-tengah kerumunan banyak orang.

Bruk!

Mazaya menabrak dada bidang seseorang karena jalan tak melihat-lihat didepannya. Bukan tak ada alasan, gadis itu berusaha lari dari kejaran preman pasar yang tadi menggodanya. Jujur saja ia sangat takut saat ini.

"Maaf, Mas, maaf," ucap Mazaya dan napas yang terpenggal-penggal.

Laki-laki itu menatap Mazaya heran, padahal dirinya tak marah namun mengapa gadis itu di depannya itu terlihat panik. Saat matanya menangkap seorang preman pasar di kejauhan yang sedang berlari ke arah mereka, ia pun paham.

Mazaya tersentak kaget, kala laki-laki yang baru saja ia tabrak menarik lengan bajunya dan membawanya lari menghindari preman pasar. "Kamu apa-apaan sih?!" teriaknya.

"Lepasin! Gak sopan banget sih!"

Laki-laki itu diam tak menjawab.

"Lepasin atau saya gigit?"

"Akh!" Laki-laki itu mengerang, Mazaya tak main-main, gadis benar-benar menggigit tangannya.

"Kurang ajar banget ya lo, gue tolongin malah gigit," ketus Alister.

"Nolongin?" beo Mazaya.

"Nilingin, iya gue tuh nolongin lo dari Mang Jaja. Lo malah gigit gue, gak tau terimakasih lo."

"Ya mana saya tau, lagian situ langsung narik tangan saya," bela Mazaya.

"Ya udah, bilang makasihnya sekarang."

"Makasih."

"Gak ikhlas banget, padahal gue nolonginnnya ikhlas."

"Kalo ikhlas ya gak usah diungkit, sama aja situ nolongnya kagak ikhlas."

"Ya udah sih, wir. Tinggal minta maaf aja ribet, cewek emang gitu, tinggi gengsi."

Mazaya memejamkan matanya, menarik napas panjang, menahan emosinya agar tidak meledak.

"Ok, terimakasih, ya, karena Masnya udah mau nolongin saya. Puas?"

Alister tersenyum jahil. "Sangat puas, lain kali kalo ada laki yang genit kagak usah diladenin, jadi lo sendiri kan yang kena."

"Siapa juga yang ladenin, sok tau banget jadi orang."

"Eh, udah dikasih tau yang baek-baek malah nyolot, emang bener ye cewek itu ribet."

"Iya, iya, makasih udah kasih saran." Setelahnya, Mazaya hendak melenggang pergi namun Alister memegang lengannya membuatnya menatap tangan cowok itu sinis.

"Gak usah pegang, bisa?"

Tersadar, Alister pun segera menjauhkan tangannya dari tangan Mazaya. "Maaf, mau gue anter gak?"

"Gak," ketus Mazaya.

"Biar lo gak dikejar Mang Jaja lagi."

Mazaya menatap Alister jengah. "Gue bilang nggak ya nggak, ngotot banget sih."

Gadis itu segera melenggang pergi.

"Emang lo tau kembaran lo dimana?" tanya Alister membua Mazaya menghentikan langkah dan berbalik, menatap Alister dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Lo kenal gue?"

"Kenallah, anaknya bapak Farid, kembarannya Mafaza, kan?"

"Lo stalker gue?!"

Alister menutup kedua telinganya mendengar suara cempreng milik Mazaya. "Heh! Jangan keras-keras, suara lo bisa ngerobohin pasar ini tau."

"Gue tuh bukan stalker lo, tapi gue itu jodoh yang Tuhan kirim buat lo," lanjutnya.

"Jodoh palamu peyang!" sargah Mazaya. "Saya tuh udah punya calon, jangan ngaku-ngaku deh Mas-nya."

"Iya, calon suami lo itu gue."

"Jadi orang jangan kepedean deh, Mas. Nanti kalo realitanya tak sesuai ekspetasi malu."

Setelahnya, Mazaya berlalu begitu saja meninggalkan Alister. Entah harus pergi ke arah mana agar dirinya bertemu Mafaza. Mungkin jika ia membawa handphone ia bisa menghubungi Mafaza, namun sayang sekali dirinya tak membawa benda pipih itu.

* * *

Assalamualaikum, MisuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang