EPILOG

642 42 2
                                        

Suara dentingan piring, spatula, panci, yang kemudian dibarengi dengan suara kepulan air sup, uap masakan yang tercium harum, sampai dengan suara gesekan kaki berlapis sandal bulu yang mondar-mandir di tempat itu terdengar jelas. Seo Donghyuck tengah berkutat dengan kegiatannya, membuat makan malam untuk orang yang akan memasuki rumahnya satu jam lagi.

Wajahnya tampak sibuk, menyicip tiap-tiap masakannya, memastikan bahwa semua akan terhidang dengan sempurna. Sampai beberapa puluh menit ke depan, ia masih sibuk dengan segala kegiatannya, hingga ketika setiap masakan itu telah berpindah dari panci dan wajan di atas kompor ke tatanan piring yang sudah ada di meja makan, ia mendesahkan napas lega.

Membawa segala benda memasak yang telah kotor ke tempat cucian, suara guyuran air keran pun terdengar ketika Donghyuck memutuskan untuk mencuci benda-benda tersebut. Gerakannya terlihat gesit, seakan-akan ia telah terbiasa melakukan kesemua hal tersebut. Bahkan tidak ada yang mengalihkan fokusnya sedikit pun. Suara televisi yang kini entah tengah menampilkan apa di ruang tengah rumahnya hanya dijadikan sebagai suara latar dari kegiatannya sekarang.

Setelah dirasa bahwa seluruh pekerjaannya di dapur telah beres, Donghyuck lalu melepas celemek yang sedari tadi melekat pada tubuhnya. Menggantungkan benda tersebut ke tempat seharusnya sembari mengeringkan tangannya pada sebuah serbet yang juga digantung di sana.

Donghyuck pun kemudian melangkah keluar dari dapur, mematut dirinya sebentar di sebuah cermin besar yang berada di dekat kamar mandi sebelum akhirnya menyusun langkah dan mendudukkan dirinya dengan nyaman di sofa ruang tengah rumah minimalis miliknya. Menatap jam yang tersemat di atas dinding, ia pun menunggu sosok yang akan tiba di rumahnya dalam beberapa menit lagi.

Tak lama, bel pintu depan pun berbunyi seperti apa yang diharapkan. Dengan senyum mengembang, Donghyuck pun beranjak dari sofa yang tengah didudukinya sebelum kemudian melangkahkan kaki menuju pintu depan, hendak membuka benda tersebut.

"Hai!" Sapaan itu sontak terdengar saat Donghyuck berhasil membuka pintu, dibarengi dengan senyuman penuh kharisma yang menyapa pandangannya.

"Hei," balas Donghyuck dengan senyum yang mengembang, "selamat datang!"

Kedua orang itu pun memberi kecupan ringan pada bibir satu sama lain sebelum akhirnya melangkah memasuki rumah lebih dalam setelah sebelumnya menutup pintu depan.

"Bagaimana pekerjaannya?" tanya Donghyuck lembut, sembari melepas jas yang melekat pada bahu lebar milik suaminya, Mark Lee.

"Melelahkan." Mark mendengus pelan. "Ayo, peluk aku." Dan dengan manjanya, ia segera melingkarkan kedua lengan besarnya pada pinggang ramping Donghyuck seketika setelah lelaki manis itu melepas jasnya.

Donghyuck hanya mampu tersenyum geli mendapati sifat manja Mark yang selalu pemuda itu tunjukkan padanya. Ia lantas kembali memberi kecupan lembut pada bibir Mark lalu memeluk bahu pemuda itu dengan erat sembari mengelusnya halus.

"Makanlah, aku sudah memasakkan banyak makanan untukmu," bisik Donghyuck dengan dagu yang kini bertopang pada pundak suaminya itu.

Mark bergumam sebentar. "Mungkin secangkir teh lemon sebelum makan malam, bagaimana?"

Donghyuck mendengus, ia memang telah hapal dengan kebiasaan suaminya yang satu ini; teh lemon sebagai pereda rasa lelahnya. "Baiklah," ia lalu melepaskan kalungan lengan yang sedari tadi melingkar pada bahu Mark, "akan aku buatkan sebentar."

Setelah itu, Donghyuck pun berlalu menuju dapur sementara Mark mendudukkan dirinya pada sofa empuk yang ada di sana.

Sembari melepaskan kaitan dasi yang masih melekat pada lehernya, Mark mengarahkan perhatian pada saluran televisi yang saat ini tengah menampilkan sebuah berita. Dengan cepat, sorot mata Mark berubah sebelum akhirnya meraih remot pada meja kecil di hadapannya demi mengereskan volume suara televisi saat itu.

"Ada apa?" tanya Donghyuck yang datang dengan secangkir teh lemon hangat di tangannya. Meletakkan benda itu di meja lalu ikut bergabung dan duduk di samping Mark saat merasa pemuda itu menarik pinggang rampingnya. Donghyuck pun menatap Mark dengan pandangan sedikit heran sebelum akhirnya ikut menolehkan wajah ke arah televisi.

"...sebagai wujud belasungkawa akan kejadian besar yang telah terjadi, warga New York melakukan kegiatan penyebaran bunga di Samudera Atlantik. Hal ini juga sebagai peringatan bahwa detik ini telah menjadi hari ke-1000 setelah tenggelamnya kapal Titanic. Berbagai kegiatan demi wujud rasa belasungkawa mulai dilaksanakan di berbagai kota ..."

Setelah mengerti, Donghyuck pun menggenggam tangan Mark dengan erat, menyandingkan kedua cincin yang kini melingkar di jari manis mereka.

"Tak terasa, ya?" gumamnya.

"Dan tidak dapat disangka." Mark menolehkan wajahnya demi menatap Donghyuck. "Terima kasih sudah menyelamatkanku, Lee Donghyuck."

"Terima kasih juga karena sudah memenuhi janjimu, Mark Lee."

Lalu bibir keduanya pun terpaut, membentuk sebuah ciuman lembut yang melegakan untuk satu sama lain.

Dalam dasar hati, mereka mensyukuri segala hal yang telah terjadi. Mulai dari kegiatan judi yang membuat Mark memenangkan tiket untuk geladak mewah itu, Donghyuck yang akan melakukan tindak bunuh diri hingga bertemu dengan Mark yang menolongnya, hingga saat Donghyuck yang enggan melepaskan genggaman tangan mereka walau keadaan sudah benar-benar tidak bisa diharapkan. Karena dengan segala hal itu, keajaiban yang sebenarnya pun terjadi; Lee Donghyuck dan Mark Lee yang terus bersama, hingga terbalut dalam sebuah tali pernikahan tanpa ada yang berani untuk memisahkan mereka.

.

.

.

THE END

.

.

.

Terima kasih banyak sudah membaca hingga akhir. Sampai jumpa di kisah selanjutnya 🥰

HEART OF THE OCEAN [ Bahasa ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang