Dua anak jalanan yang sempat kubawa ke rumah baca ini namanya Ciko dan Bolang. Saudara kandung yang umurnya masih dibawah 10 tahun. Beberapa waktu lalu, aku dan Noah menemukannya duduk didepan swalayan sambil meminta-minta sejumlah uang kepada beberapa orang bak pengemis. Hari berikutnya, kami menemukan mereka lagi di lampu merah dipusat kota. Sambil membawa gitar kecil, mereka menyanyi dari satu mobil kemobil lainnya, dari satu motor ke motor lainnya, dari satu toko ke toko lainnya.
Dihari berikutnya, kami bertemu mereka lagi secara tidak sengaja di rumah makan. Mereka bernyanyi diiringi gitar yang sebenernya tidak membentuk sebuah nada yang sama dengan yang lagu yang dinyanyikan. Seperti gitar yang dipetik dengan sembarang tanpa tahu kunci apa yang seharusnya dimainkan.
Aku menikmati sejenak sampai Noah menyentuh lenganku, membuyarkan pandanganku terhadap mereka. Di saat itu, Noah mengajak mereka berbicara beberapa saat sampai pada akhirnya Noah membelikan mereka makanan untuk dibawa pulang kerumah. Di hari berikutnya lagi, Noah dan aku mulai mendekati mereka. Mengajak mereka makan bersama, memberikan bingkisan, hingga memperkenalkan mereka dengan rumah baca. Awalnya beberapa hari setelah kubawa mereka kerumah baca, semua masih baik-baik saja. Sampai pada hari di mana memar luka ditangan Noah terbentuk.
Hari itu, Ayah kandung Ciko dan Bolang tiba-tiba saja datang dengan emosi. Menarik paksa dua anaknya keluar dari rumah baca. Membuat huru-hara dengan menghancurkan tanaman yang terpajang didepan rumah baca dan membuat keributan dengan penduduk setempat. Ia bahkan mengancam untuk menghancurkan rumah baca ini kalau kami masih berhubungan dengan Ciko dan Bolang. Tahu bagaimana memar luka ditangan Noah bisa terjadi?
Semua berawal karena Noah melihat bagaimana Ciko dan Bolang ditarik dari dalam rumah baca saat mereka sedang belajar menulis huruf. Lengannya ditarik sampi mereka terbanting dan tersungkur dilantai. Tidak ada yang membantah dari Ciko dan Bolang. Mereka hanya menangis ketakutan sambil memohon pada Ayahnya untuk dimaafkan. Mereka berlutut, benar-benar berlutut. Melihat itu, Noah Murka. Ditariklah kerah baju lelaki itu dan dipukullah wajahnya sampai lelaki itu tersungkur kebawah. Noah berusaha menyelamatkan Ciko dan Bolang, namun kedua anak itu menolak ketakutan. Sampai akhirnya, lelaki itu tiba-tiba menendang lengan Noah sampai tersungkur kebawah.
"Aku nggak bisa, Am." Noah tertunduk lemah saat menceritakan kejadian itu. "Aku nggak bisa menyelamatkan mereka." Tambahnya. "Tanganku sakit sekali sampai aku nggak bisa berbuat apapun."
Sudah 5 menit kami duduk dikursi depan rumah baca Dua gelas teh hangat yang disuguhkan Mbak Ani sama sekali belum disentuh. Noah tampak lesu. Setelah menceritakan kejadi itu, wajahnya tampak marah dan kecewa. Berkali-kali dia mengusap wajah dan jemarinya bergantian.
Melihat itu, aku menyentuh lengan Noah. "Semua yang kamu lakuin itu udah bener. Tapi kamu nggak perlu nyerang duluan."
"Bagaimana aku bisa diam aja, Am? Bisa kamu menjelaskan sama aku kenapa aku harus diam ketika aku melihat mereka memohon seolah babu yang berbuat salah?" kali ini dia menatapku tajam. Matanya terlihat seolah dia benar-benar membutuhkan jawaban itu. "Kamu nggak bisa jawab, kan? Karena kamu nggak pernah merasakan semenakutkan apa memiliki orangtua segila itu."
"kok kamu ngomongnya gitu? Aku nggak bermaksud-," aku menghela napas dan menghentikan ucapanku saat melihat Noah menunduk lagi. "Terus lengan kamu gimana? Masih sakit? Mau aku obatin?"
Noah menggeleng. Kemudian dia mengusap wajahnya dan menoleh padaku, "aku tahu kamu akan sepanik apa kalau hari itu kamu tahu apa yang terjadi. Maka itu, aku butuh waktu buat certain semuanya sama kamu. Bukan berarti aku nggak mau cerita sama kamu, Am. Aku mau. Tapi aku butuh waktu. Aku masih trauma sama kejadian itu. Semua itu mengingatkan aku-,"
"Noah cukup." Aku memotong ucapannya sambil menggenggam jemari Noah. "Udah, cukup. Nggak perlu dijelasin lagi, ya."
Saat-saat seperti itu yang membuat aku merasa bersalah padanya. Aku selalu khawatir setiap kali orang baru dekat dengannya, mengungkit dan mempertanyakan tentang hidupnya. Namun, aku sendiri yang membuatnya frustasi setiap kali bertengkar denganku. Noah begitu karena aku. Setiap kali dia menyalahkan dirinya sendiri adalah setelah beradu mulut denganku. Selalu begitu.