Part 10

12 3 0
                                    




Part 10

Percaya Padaku.

Ada kata bijak, bahwa ketika seseorang sedang jatuh cinta maka orang tersebut akan sedikit menggunakan waktunya untuk tidur karena mimpi tidak seindah realita.

Begitupun dengan Sagara, memikirkan Senja membuatnya sulit tertidur sejak tadi menoleh ke sana ke mari hanya seorang diri di dalam kosan berukuran tiga petak. Biasanya ia sering kedatangan tamu, entah itu Jay atau Aerlangga beserta istrinya, atau juga Elang dan Lingga. Namun, tidak untuk malam ini yang terasa semakin sepi, hanya ditemani rasa rindu yang tidak bertepi. Tepat pukul 10 malam, ia pun memutuskan untuk pulang saja ke rumah orang tuanya di Kalijati. Di sana selalu ramai oleh para seniman yang berlatih untuk kebutuhan pentas Jaipongan.

Sagara memarkirkan mobil dan turun untuk bergegas masuk ke dalam rumah.

"Assalamualaikum," serunya.

"Walaikumsalam."

Mereka serentak menyahutnya. Benar saja, meski sudah larut malam di rumah orang tuanya tidak pernah sesepi seperti berada di kosan.

"Eh, pak Saga tumben pulang? Padahal ini baru hari Senin?" seru bu Nengsih.

"Pengen pulang saja, kangen ke Mamah," sahut Saga disertai senyumnya yang mengembang.

Bu Nengsih tertegun memperhatikan raut wajah Sagara yang kini berbeda, tampak lebih ceria dari biasanya. Pria itu masuk ke dalam kamarnya diikuti oleh sang ibu dari belakang.

"Aa', udah makan?" tanya bu Nengsih.

"Udah, Mah!" sahut Saga yang tengah membuka pakaian atasnya karena merasa gerah.

"Aa', mau langsung tidur? Atau butuh sesuatu, mau minum kopi? Nanti bilang, ya, ke Mamah," ujar bu Nengsih yang ingin memastikan kebutuhan putra bungsunya itu.

"Iya, Mah, sebenernya aku mau ngobrol sama Nama dan bapak tapi udah ngantuk, tapi aku juga mau minum kopi. Ah gimana, sih?" ujar Saga dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Bu Nengsih kerap memperhatikannya, merasa bahwa sikap Saga kini sangat berbeda.

"Aa', kenapa? Ada apa, cerita sok ke Mamah," pinta sang Ibu.

Sagara kini menatap ibunya, wajahnya tampak berseri-seri tidak dapat lagi membendung kebahagiaan.

"Aku kepengen nikah, Mah!" cetusnya mengungkapkan keinginannya itu.

"Masyaallah, bener ini teh? Mau nikah sama siapa?" Bu Nengsih menjadi sumringah mendengar penuturan anaknya itu. " Sok atuh cerita ke Mamah, sama siapa? Orang mana? Anak siapa? Kira-kira Mamah kenal nggak?" Bu Nengsih mengucapkan serentetan pertanyaannya, hingga Saga menjadi salah tingkah.

"Aku malu, ah ...." Saga menjauhi ibunya dengan tersipu malu.

"Idiih, si Aa' sampai malu begitu sama Mamah, ya nggak apa-apa atuh, sok cerita?" bujuk sang Ibu tengah berusaha meyakinkan putranya itu.

"Nggak ah, malu ah!" Sagara kembali salah tingkah sendiri.

"Yeehh, yaudah kalau malu mah nggak usah cerita, aneh." Bu Nengsih pun kemudian memilih pergi dari kamar Sagara.

"Mamah ... jangan pergi dulu, aku belum selesai ngomong," seru Sagara sambil merengek seperti anak kecil.

"Iya, sok atuh ngomong." Bu Nengsih kembali menghadapnya.

"Pengen nikah!" ucap Sagara dengan sikap childish.

"Iya, sok kasih tahu Mamah, siapa namanya? Atau nanti Aa' ajak saja calon menantu Mamah ke mari, ya? Sekalian biar Mamah dan bapak tahu dan bisa tanyain. Bagaimana?"

Sagara tampak berpikir, bagaimana caranya agar bisa membawa Senja ke rumah untuk bertemu dengan kedua orang tuanya.

"Yaudah, nanti aja Mah, aku tanyain dulu sama si Nengnya," ucapnya.

"Namanya Neng?" tanya bu Nengsih.

Saga menggeleng. "Bukan."

"Oh, namanya Bukan?" Bu Nengsih sengaja meledek.

"Iih, Mamah ... bukan itu maksudnya. Udah, ah ...." Saga menggerutu.

Bu Nengsih memijat pelipisnya seraya menggeleng. "Yaudah, Mama mau bicarain ini ke Bapak. Udah berumur juga, cuma pengen nikah masih aja salah tingkah," ujarnya dengan meninggalkan kamar.

Saga tidak peduli dengan ocehan ibunya. Benar kata orang tua jaman dulu, bahwa sedewasa apapun seorang anak di hadapan orang tuanya mereka akan tetap menjadi anak-anak.

Bu Nengsih secepatnya membicarakan keinginan Saga untuk menikah pada pak Bambang dan Samiawan.

"Pak ... Pak, itu anakmu kepengen nikah katanya," ungkap bu Nengsih.

Pak Bambang dan Samiawan seketika memberi atensi penuh.

"Ya, bagus dong Mah, sama siapa? Orang mana?" tanya pak Bambang.

Bu Nengsih menggeleng. "Itu dia Pak masalahnya, anaknya malah cengar-cengir saja nggak mau cerita lagi," paparnya.

"Hoh, gimana sih?" Pak Bambang menjadi heran. "Coba Mamah panggil A' Saga, suruh ke mari," tandasnya.

Bu Nengsih bergegas memanggil Sagara agar berkumpul bersama ayah dan kakaknya di ruang TV.

Saga ikut memenuhi panggilan ayahnya dan duduk di dekat Samiawan, Mereka memandang dengan penuh atensi pada Sagara.

"Tadi, Mama udah cerita, Aa' emang beneran mau nikah?" tanya pak Bambang.

"Iya mau, Pak," sahut Saga seraya mengangguk.

" Eleuh ... kok iya si Aa' teh mau nikah, Mamah," seloroh pak Bambang dengan perasaan heran di hatinya. "Sama orang mana? Anaknya siapa? Apakah Bapak kenal sama keluarganya atau tidak?" lanjut pak Bambang menanyai Sagara.

"Iya, Bapak dan Mama udah kenal kok," pungkas Saga yang kini menatap lembut tapi tegas.

Pak Bambang dan bu Nengsih saling menoleh memikirkan siapa gerangan yang dimaksud oleh putranya Sagara.

"Iya sok atuh cerita, mau kapan ditanyain? Bapak dan A' Sam bisa ke sana nanyain soal pernikahan," tandas pak Bambang.

Sagara lantas bersikap gelisah, ia kerap kebingungan karena belum membicarakan masalah pernikahan dengan Senja.

"Loh, kok diajak ngobrol malah diam?" seru pak Bambang yang tidak mendapat jawaban. "A' Saga umur udah dewasa, jangan lama-lama macarin anak orang, nggak baik," pesannya.

"Iya, Pak," sahut Saga pelan.

"Serius, 'kan, mau nikah?" sela Samiawan.

"Iya serius dong, A'. Kalau nggak serius untuk apa ngomong ke Mamah?" ujar Saga ke hadapan kakaknya itu.

" Kumaha A' Sam, coba terawang beneran nggak jodohnya?" tanya bu Nengsih yang kini tampak gelisah.

Samiawan lantas menoleh pada ibunya. "Mamah, 'kan Sam udah pernah bilang seluruh anggota keluarga nggak bisa diterawang," ujar Samiawan, ia menoleh pada Saga untuk mencoba meyakinkan ibunya. "Tapi, Aa' cuma mau berpesan jaga mulutmu," tukasnya, Sagara sontak termangu.

"Aa' cuma bisa merasakan bahwa jodohmu memang sudah dekat, tetapi jika kamu tidak bertindak secepatnya maka akan sulit lagi untuk mendapatkannya. Makanya, kamu harus menjaga mulutmu bila nanti sudah berumah tangga," ujar Samiawan dengan bijaksana.

"Jangan-jangan, A' Sam tahu siapa wanita itu?" Saga ingin Samiawan menerkanya.

Samiawan lantas menggeleng. "Aa' tidak bisa melihat bagaimana kamu ke depannya, tapi Aa' pernah melihat bahwa kamu ada pada masa depan seseorang," ungkapnya.

Sagara kini tertegun. "Siapa?" gumamnya.

Samiawan mengukir senyuman kemudian menepuk pundak adiknya itu. "Yang pasti orangnya baik, berat jika kamu tidak sabar dan tidak percaya padanya. Kuncinya selain cinta hanya dua itu sudah cukup, yakni sabar dan percaya," ujarnya.

"Hayu atuh A' Sam, sok aja bilangim siapa, nggak usah pakai filosofi," pinta bu Nengsih tengah gemas melihat kedua anaknya.

"Ya nggak bisa atuh Mamah, nanti aku batal," ungkap Sam disusul dengan tawa dari pak Bambang.

"Biarin aja si A' Saga yang nyari tahu sendiri, 'kan aku sudah kasih gambarannya untuk wanita yang saat ini dekat dengannya," ujar Samiawan yang kini menatap pada Sagara.

Pria tsundere itu seketika tercengang apakah mungkin kalau Samiawan sedang menyinggung Senja?begitu pikirnya. Samiawan kembali tersenyum di hadapan Sagara.

***

Tepat jam lima pagi, Sagara sudah bersiap untuk pergi ke kosan setelah itu akan dilanjutkan bekerja seperti rutinitasnya setiap hari.

"Mah, aku berangkat, ya," seru Saga sambil merapihkan jaket yang ia kenakan.

"Tunggu!" cegah bu Nengsih.

Beliau bergegas pergi ke dapur untuk memberikan bekal makanan pada Saga. "Bawa ini, A'!" titahnya.

Sagara menerima bekal makanan itu persis anak kecil yang menerima bekal untuk sekolah yang dikemas oleh bu Nengsih ke dalam rantang susun.

"Jangan dibuang, Mamah udah nyiapin khusus buat A' Saga dan calon menantu," ujar bu Nengsih. "Ngomong-ngomong siapa sih namanya?" lanjut bu Nengsih, tapi Sagara belum ingin mengungkapkan siapa wanita yang tengah dekat dengannya.

"Ah, Mamah. Nanti basi bagaimana coba?" Pria itu malah mengelak mengalihkan suasana.

"Nggak akan basi, awas jangan dibuang!" tandas sang Ibu.

"Iih, Mamah ... nanti si Neng nggak mau bagaimana?" Saga masih mencari alasan.

"Nggak mungkin, kalau A' Saga udah mau nikahin berarti calon menantu Mamah itu orang baik," ucap sang ibu ingin meyakinkan pilihan hati anaknya itu.

Sagara tertegun mendengar penuturan ibunya, kemudian menghela napas seraya mengukir senyuman.

Bu Nengsih memandang Sagara yang tengah tersenyum. "Bilangin, ya, salam dari Mamah," pesannya.

Sagara mengangguk dan beegegas pergi. Si tsundere yang kian hari semakin mencair kini menyambut hari dengan penuh keceriaan.

Desas desus tentang hubungan Saga dan Senja yang akan melangsukngkan pernikahan terdengar semakin santer. Rumor itu hanya ditanggapi dengan santai oleh Sagara. Apalagi jika seseorang menanyainya langsung pada Senja, maka ibu satu anak itu lebih biasa saja menanggapinya.

Sagara tengah tersipu malu lantaran hampir semua orang yang berada di ruangan mekanik sedang memberinya guyonan seputar hubungannya dengan Senja.

"Ciiee ... Bos, serius nih mau sama neng Senja?"

"Mantan playboy klepek-klepek sama janda."

"Janda bukan sembarang janda."

"Janda berkualitas bonus anak satu."

Beberapa ucapan terlontar dari mulut orang-orang di dalam ruangan itu.

"Padahal tadinya cuma iseng nggak sih, Bos? Cuma penasaran doang, 'kan?" tanya salah seorang anak buahnya, tetapi Sagara hanya membalasnya dengan senyuman.

"Kalau tadinya cuma sekadar main-main, itulah yang namanya senjata makan tuan," seloroh anak buah yang lain.

"Janda memang selalu terdepan," celetuk yang lainnya.

"Goyangan janda memang tidak diragukan, iya nggak, Bos? Haha ...." celoteh mereka disertai tawa.

"Sialan lu!" Sagara menyahutnya dengan melemparkan selotip ke arah mereka, kemudian menyambung tawa yang diikuti oleh yang lainnya.

"Booking ke sana ke mari, akhirnya dapatnya janda. Haha ...." Mereka kembali tertawa.

"Kalau udah dikasih sama Janda, pak Saga pun bahagia," celoteh mereka.

"Diam, nggak? Aing belum pernah!" tukas Saga semakin tersipu malu.

"Alaaah ... masa'? haha ...." Mereka kembali tertawa.

Guyonan dan candaan gelap seperti itu memang kerap terjadi. Selain sudah menjadi kebiasaan, mereka akan menganggapnya sebagai sebuah hiburan di sela penatnya bekerja. Dan tidak sedikit orang yang akan terluka oleh candaan itu, meskipun kembali lagi pada pribadi masing-masing tetapi yang namanya manusia itu berbeda-beda hati dan perasaan.

Sagara sendiri tidak menyadari bahwa sedari tadi Senja sudah berada di ruangannya, terpaku mendengarkan ocehan yang disebutnya hanya sekadar candaan. Tawa Sagara akhirnya memudar seketika, terpaku memandang ke arah Senja.

"Neng Senja?" gumamnya.

Mereka yang ada di ruangan itu juga sontak membungkam mulut, membuat suasana seketika sunyi.

Sagara menghampiri Senja dengan rautnya tampak seperti biasa, slengean.

"Mau minta tanda tangan, ya? Mau minta mesin baru atau cuma diperbaiki?" tanya Saga sambil meraih lampiran permohonan dari tangan Senja.

Wanita itu tampak bungkam seakan menahan bom waktu yang siap meledak.

"Kok, diam saja? Kenapa?" Saga kini menatapnya, rautnya tampak berseri-seri tanpa memikirkan candaannya barusan.

"Bangsat!" ucap Senja dengan tegas hingga mereka tercengang.

"Neng Senja." Saga meraih salah satu tangannya kemudian ditepis oleh Senja yang hendak keluar dari ruangan.

"Kok, ngomongnya gitu? Kasar banget tahu?" tandas Saga.

"Pikir saja sendiri, dasar bujang KW," sahut Senja dengan lebih kasar membuat Saga kian tercengang.

Senja melanjutkan langkah yang kembali berhasil ditahan oleh Sagara. "Neng, apa-apaan sih?"

"Kamu yang apa-apaan?" Senja membentak membuat Sagara semakin heran.

"Maksudnya apa? Kenapa tiba-tiba ngomong kasar begini, sih?" tanya Saga dengan tatapan nanar.

Senja berpaling seiring menghela napas yang kian sesak. "Jadi selama ini, kamu deketin aku hanya karena aku ini seorang janda, iya?" tuduhnya, Sagara pun tercengang.

"Asal kamu tahu saja. Walaupun aku janda, kamu nggak akan mudah bertindak kurang ajar padaku, ngerti?" cecar Senja dengan nada tinggi.

"Neng Senja, apa ini? Kenapa tiba-tiba marah seperti ini?" ucap Saga hingga terbata-bata.

"Neng, kita barusan cuma bercanda kok!" sela salah satu orang di sana.

Senja seketika menoleh, begitupun dengan Saga.

"Jadi, neng Senja marah cuma karena obrolan kita barusan?" tanya Saga secara perlahan.

"Cuma katamu?" sahut Senja dengan tatapan nanar. "Aku denger semuanya, kamu dan anak buahmu mengolok-ngolok aku hanya karena aku ini janda dan--aku punya anak satu," ujarnya yang kini mulai berkaca-kaca.

"Neng Senja, itu cuma bercanda. Jangan dimasukin ke hati!" pinta Saga dengan sepenuh hati.

"Bercanda? Emang dari dulu kamu tuh bangsat!" tukas Senja kemudian berpaling meninggalkan ruangan.

"Neng Senja." Saga kembali menariknya.

"Lepaskan aku!" Senja membentaknya dan mendorong pundaknya sampai Sagara memundurkan beberapa langkah.

Marahnya orang sabar seperti Senja memang sebuah kejadian yang langka. Marahnya orang sabar itu terkesan menakutkan, meskipun Senja tidak meluapkan amarah dengan seluruhnya tetapi sudah mampu membuat Saga gelisah sedemikian rupa. Entah apa yang harus ia lakukan apabila Senja tidak bersedia memaafkannya nanti.

Saga meremas rambutnya merasa frustasi atas apa yang saat ini terjadi.

Sagara Senja🌸Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang