Sagara Senja 12.

15 4 0
                                    


Part.12



Apapun yang teejadi, komunikasi itu adalah hal yang penting.

|| Neng, Aa' udah nyampek.
|| Good night, sweet dream.
|| Love you.


Pesan yang Saga kirim disertai emoticon smile dan love. Senja tertawa ketika membacanya. Di usia yang sudah matang, merasa sudah bukan zamannya lagi untuknya bermanis-manis seperti anak remaja. Senja menaruh ponselnya ke atas nakas dan mulai merebahkan diri di kasur berselimutkan bahagia dalam hangatnya kerinduan.

"Selamat malam," gumamnya sebelum menutup mata hingga terlelap.

Begitupun dengan Sagara yang jauh di sana. Ia begitu setia menatap layar poselnya, meski belum mendapat balasan dari Senja. Mulai merebahkan diri berbantalkan asmara memikirkan sang pujaan hati. Jantungnya tak henti berdebar, pertemuannya membuahkan hasil lebih dari sebelumnya. Saga tengah bahagia sampai enggan terpejam untuk melalui malam dengan penuh kerinduan.

"Neng Senja," ucapnya sebelum terpejam dan mengantarkannya pada bunga tidur seindah inginnya di kenyataan.

* * *

Sinar mentari kian menyusup melalui celah jendela yang masih tertutup rapat. Senja pun menggeliat, dapat menikmati harinya tanpa kesibukan bekerja.

"Neng Senja ... neng Senja ...."

Senja termangu mendengarkan siapa gerangan yang sudah berani datang ke rumahnya sepagi ini.

"Neng Senja!" Suaranya lantang sambil mengetuk-ngetuk pintu.

"Elang?" gumamnya seraya membuka gorden kamar.

Benar saja, pemuda itu sedang berdiri di depan pintu rumahnya. Senja bergegas tanpa berniat ke kamar mandi teelebih dahulu. Membuka pintu yang disambut langsung oleh beberapa pertanyaan dari Elang.

"Neng Senja, katanya sedang sakit? Sakit apa?" Elang melangkah masuk ke dalam. "Bunda ngasih tahu aku, katanya neng Senja sedang sakit?" ujarnya.

"Elang sama siapa ke sini?" Senja mengikuti ke mana pemuda stylish itu pergi dan berakhir duduk di ruang TV.

"Sama Bunda," tukasnya.

"Di mana bundanya?"

"Tuh, sedang masak dulu di rumah Umi. Katanya nanti kalau sudah matang mau dibawa ke sini," ujar Elang sambil menoleh ke arah pintu.

"Kenapa nggak masak di sini saja?" sela Senja.

"Tadi 'kan neng Senja belum bangun," timpal Elang, Senja mengangguk memperhatikan pemuda kekar itu yang kini mendekat ke sampingnya. Menyentuh keningnya tanpa ragu.

"Neng, sakit apa sih?"

"Kecapean doang," tukas Senja.

Elang mengangguk, atensinya teralihkan pada satu gelas berisi teh manis yang tinggal setengahnya.

"Neng Senja habis minum teh manis?" Senja kian berpaling hingga mengerjapkan mata, mengingat tentang hal semalam yang membuatnya hampir tenggelam bersama Sagara.

Ia beranjak mengambil gelas tersebut dan membawanya ke wastafel untuk dicuci.

"Elang, si Jay kerja, ya?" seru Senja mengalihkan pembicaraan.

"Iya, nanti libur kok hari Sabtu, 'kan tanggal merah," ungkap Elang.

"Elang sendiri nggak kerja?" Senja menghampirinya lagi.

"Aku cuma mengisi kelas seminggu tiga kali," ujar Elang.

"Jadi guru Seni pasti seru, ya?" Elang mengangguk.

"Neng Senja, kalau beneran sakit mending kita ke dokter, yuk! Elang anterin?" serunya.

Senja menggeleng. "Aku nggak sakit, udah sembuh semalam abis minum obat."

"Beneran?" timpal Elang.

"Beneran," pungkas Senja.

Elang mematung memandangnya. "Elang, aku dapat cuti loh, lumayan hampir satu minggu," ujar Senja.

"Wah, yang bener, Neng?" Elang tampak sumringah.

"Beneran. Kita jalan-jalan, yuk!" ajak Senja.

"Ayok, mumpung Elang juga libur. Kalau hari sabtu nanti, Elang mau ke rumah Lingga, mau urusin sablonan," tutur Elang.

"Wow! Elang usahanya udah maju, congrat's!" seru Senja.

"Ah, neng Senja bisa aja," sela Elang hingga menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Yaudah atuh, aku mandi dulu, ya?" Ucap Senja.

"Neng sekalin mau ajakin si Aa', nggak?" tawar Elang.

"Aa' pasti nggak dibolehin ikut, udah kita berdua aja," ujar Senja disusul anggukkan dari Elang.

Senja bergegas mandi, kemudian menyiapkan outfit-nya, mengabaikan panggilan telepon masuk yang terus berdering sedari tadi bertuliskan nama Sagara di layar ponselnya.

Setelah sekian lama, akhirnya Elang dan Senja dapat kembali menghabiskan waktu bersama. Naik motor berdua, ingin pergi ke pantai untuk menunggu sunset di sana.

Sebelumnya, Senja meminta pada Elang agar mengantarnya terlebih dahulu ke Bank tempat Jay bekerja. Bank yang berada di kawasan Pamanukan, Subang, Jawa Barat.

Mumpung waktunya makan siang, Senja membawa buah tangan beberapa makanan favorit Jay. Ada fried chicken, french fries, sosis bakar lengkap dengan rujak dan minuman.

Jay si karismatik melangkah gembira menyambut Senja yang akhirnya dapat berkunjung ke tempatnya bekerja. Layaknya karyawan di Bank, penampilan Jay begitu rapih mengenakan outfit formal dipadupadankan dengan batik menambah kesan sopan nan menawan.

Keduanya kini menghabiskan waktu untuk makan bersama, meski kurang dari satu jam. Sementara Elang memilih menunggu di warung kaki lima.

Terkadang sebagai kerabat, Senja merasa heran atas sikap yang dipilih Elang karena selama ini pemuda itu masih kerap memegang ucapannya untuk tidak membaur bersama Jay. Meskipun pantangan itu sudah jarang dilakukan, masih ada beberapa hal yang membuat Elang enggan untuk bisa bersama dengan kakaknya seperti dulu.

Jay dan Senja saling tertawa di tiap suapan yang mereka lakukan, begitu menikmati waktu dan makanan itu bersama-sama.

"Neng Senja sama Elang memangnya mau ke mana?" tanya Jay.

"Kita mau ke pantai, mumpung aku libur," ujar Senja.

"Wah, enak banget, sih. Kapan dong kita bisa jalan bareng?" Jay begitu antusias menunggu jawaban.

"Liburnya kapan, sih?" tutur Senja.

"Sabtu," tandas Jay.

"Nah, boleh tuh, ayo Jay kita jalan bareng mumpung tanggal merah?" ajak Senja.

Jay tampak berpikir. "Hm ... kalau kita jalan berdua, neng Senja mau nggak?" usulnya.

"Boleh, kita mau ke mana?" sahut Senja yang tengah sibuk menghabiskan makanannya.

"Kita ke Bandung, yuk!" ajak Jay.

Senja kian terpaku sejenak. "Ke Bandung? Ngapain?" Ia menatap sembari mengernyit.

"Aku mau beli piano baru buat kebutuhan manggung," ungkap Jay.

"Wah ... boleh tuh. Oke, kita ke Bandung." Senja menyanggupi.

"Nanti aku jemput, ya?" ucap Jay dibalas anggukan langsung oleh Senja.

Jay si karismatik kini tersenyum, membuatnya semakin tampak mempesona.

Senja melambaikan tangan seraya berpamitan pergi bersama Elang.

Jay juga demikian, lambaian tangannya berhenti sampai Senja tenggelam dari pandangannya.

Elang membawa Senja ke sebuah pantai. Meskipun bukan pantai pasir putih yang menawan, tetapi cukup untuk sekadar menghilangkan rasa penat. Ada keharuan tersendiri apabila berada di pantai karena kata sang puitis berada di pantai bisa meringankan kesedihan.

Meski sedih yang hampir pudar, tetapi terkadang kesedihannya akan kembali secara tiba-tiba.

Senja meraih tangan Elang agar ia duduk di sampingnya, keduanya duduk nyaman meski beralaskan sepatu masing-masing sembari menikmati suasana sore hari.

"Sebentar lagi, senja akan tiba," ucap Elang bernada puitis.

"Dari tadi Senja sudah duduk di sini. Lelah, ingin beranjak tapi tak bisa." Senja menyela memberinya tatapan hangat layaknya sang pujangga.

"Senja itu datangnya pasti. Senja itu setia, kitanya saja yang terkadang tidak sabar. Senja itu indah, mempesona," ujar Elang dengan tatapan yang tak kalah hangatnya.

Pemuda itu mengukir senyuman, saling memandang seiring menikmati angin sejuk yang mulai membelai.

"Beberapa hari ini aku sering baca puisi, apalagi kalau sedang kangen sama neng Senja," ujar Elang tanpa basa basi.

"Sejak kapan Elang suka baca? Jangan-jangan Elang sedang jatuh cinta?" Senja menatapnya dengan senyuman mekar, begitupum sebaliknya manik bagaikan rembulan yang sendu menenangkan.

"Emangnya salah, ya, kalau Elang jatuh cinta?"

"Nggak." Senja menggeleng. "Sama siapa tuh?" tuturnya.

Senja merasa penasaran, siapa kah gerangan wanita yang dapat menaklukkan hati pemuda yang satu ini.

Elang masih mematung menatap Senja di keheningan, kemudian berpaling untuk memandang ke arah matahari terbenam.

"Rahasia," tukasnya.

"Iih, main rahasiaan segala, deh." Senja berseru sambil menepuk pundak kekarnya.

Elang kian menghentikannya, lalu menggenggam tangan Senja yang lebih mungil darinya serta menyimpannya tepat di dada.

"Akhir-akhir ini, kita terlalu sibuk, ya? Kita udah jarang bersama seperti dulu?" ucapnya.

"Iya, kamu benar, aku aja sampe' lelah jadi tumbang," sahut Senja seraya Elang menoleh menatapnya.

"Neng Senja jangan sakit, nggak boleh sakit. Kalau capek, bilang saja ke aku, nanti kita jalan-jalan," ujarnya.

"Makanya aku ngajakin kamu jalan-jalan karena aku sedang capek, Elang!" seru Senja diiringi dengan tawa kecilnya yang khas.

Elang hanya mampu menatapnya, tapi perlahan tawa itu memudar seakan menghadirkan hal lain yang berujung dengan air mata.

"Neng Senja, nangis?"

Senja menggeleng seketika lalu berpaling. "Pasirnya kebawa angin, jadi kena mata aku."

Ia hanya menyanggah karena sejujurnya si Senja memang kerap rapuh. Elang berpaling sesaat, untuk meng-iyakan penuturan Senja. Tangan kekarnya bergegas merangkul, membawanya agar bersandar pada pundaknya yang kokoh.

"Kira-kira wanita mana, ya, yang nanti akan bersandar di sini?" ucap Senja sambil mengusap memberi arti pada pundak yang kokoh itu.

"Pundak ini cuma buat neng Senja," tukas Elang lalu menatap pada Senja hingga menghadirkan nuansa berbeda.

"Ihh, Elang nakal, deh!" Sambil bersandar nyaman, Senja mengusap wajah manly itu sampai pemiliknya meraih jemari, menautkan mengisi kekosongan hingga mengecup punggung tangannya secara perlahan.

Senja terkesiap menatap wajah Elang, bohong jika ia tidak merasakan suatu hal bahwa pemuda itu benar-benar sangat berbeda. Tatapannya semakin tajam, membuat Senja sulit mengartikan.

Elang menyentuh wajah Senja, seiring angin yang membelai menyapu surainya dengan perlahan ibu jarinya menyentuh dagu hingga ke bibir membuat Senja kian mengernyit. Senja cukup terdiam menunggu apa yang hendak Elang perbuat padanya.

Maniknya kian sayu, Elang tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Menatapi wajah Senja hanya semakin membuat hatinya bertambah sakit, menginginkannya lebih dari sekadar saat ini.

"Elang, kamu kenapa?" Senja bergumam membuyarkan atensi Elang seketika, ia berpaling untuk menepis hasrat yang kian melanda.

"Elang." Senja menyentuh pundaknya.

Rasanya kian bergetar, memberikan si empunya pengharapan.

"Kita pulang yuk, sebentar lagi malam." Kata Elang sambil membelai wajah Senja.

Namun Senja hanya terpaku. "Ayok!" Elang menggendongnya ala bridal style.

"Elang!" Senja sontak berpegang erat merangkul pundaknya. "Turunin aku Elang, takut jatuh," pinta Senja.

"Aku nggak akan membuatmu jatuh, percayalah!" tutur Elang.

Senja terdiam. Memang benar, tidak perlu meragukan si Elang yang perkasa, jangankan jatuh, hendak terpeleset pun ia akan sudi menyanggahnya.

"Neng Senja, nggak percaya?" ucapnya lirih seperti angin.

"Ah, aku percaya. Tapi nggak gini juga dong, aku nggak nyaman nih, nanti dilihatin orang-orang bagaimana?" Senja berusaha turun dari gendongan, tetapi Elang terlalu kokoh tidak memberinya sedikit celah.

"Kalau orang-orang komentar, bilang aja kita sedang honey moon," ucap Elang memberi saran.

"Iihh, Elang kok sekarang nakal?" Senja memberontak hingga berhasil turun dari gendongannya.

"Neng Senja, kalau jatuh bagaimana coba?" Elang kian terkejut lantaran Senja turun secara memaksa.

Senja mengernyit memperhatikan raut wajah manly yang tampak risau. "Aku baik-baik saja," pungkasnya.

Elang tampak menghela napas secara perlahan. "Ayo kita pulang?" seru Senja, Elang mengangguk dan melangkah mendahuluinya kemudian berjongkok tepat di hadapan Senja.

"Gendong, yuk!" pintanya.

"Nggak ah, malu!" Senja menolaknya.

"Nggak usah malu, kalau neng Senja nggak mau, aku nggak mau pulang," pungkas Elang yang kemudian memilih duduk beralaskan pasir pantai.

"Elang bangun, kotor tahu!" titah Senja.

"Biarin!" pungkas Elang.

Senja kian menghela napas, ia tidak tahu kenapa selalu didekatkan dengan orang-orang manja di dalam hidupnya. Padahal ia sendiri tidak cukup kuat, terkadang juga membutuhkan seseorang untuk dapat memanjakannya.

"Baiklah, aku mau digendong, tapi janji ya kita pulang?" titah Senja, Elang sontak memberinya sebuah anggukan.

"Gendong aku sampai parkiran, ya!" Senja sedikit tertawa.

Elang mulai bangkit dengan menggendong Senja, wajahnya kini berseri-seri karena Senja menuruti keinginannya.

"Elang sedang praktek, ya?" celetuk Senja membuat Elang tercengang.

"Praktek apa?" tanya Elang.

"Praktek gendong pacar?" sahut Senja.

"Iihh, neng Senja mah nggak peka ah, udah ah nggak jadi romantisnya!" Elang menggerutu sambil mempercepat langkahnya.

"Ih, idih, haha ... kenapa sih?" Senja kian tertawa karena sikapnya.

"Tahu ah." Elang kembali protes.

Wanita itu memang kerap membuyarkan suasana, hingga tak jarang menimbulkan keraguan.

Keduanya berlarian dan tertawa ceria menjajaki kaki di atas pasir pantai yang tersapu ombak ketepian, di bawah langit Senja yang membentang dari ufuk barat indah nan mempesona.

Sagara Senja🌸Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang