KUIL XIE YUN

144 21 1
                                    

Shi Ying kecil sama sekali tidak bersuara selama perjalanan menuju Kuil Xie Yun. Tubuh kecilnya gemetar hebat, sepasang tangan kecil menggenggam erat tangan sang ibu yang perlahan mendingin karena kehilangan terlalu banyak darah.

Wajah sang permaisuri kian memucat, perjalanan yang seharusnya singkat terasa berkali-kali lipat lebih lama. Terlebih bagi Shi Ying kecil yang ketakutan. Bagaimanapun, bayang-bayang kehilangan seorang ibu dari kehidupan terdahulu masih sangat membekas di dalam ingatannya. Meski ada kalanya dia sendiri ragu jika ingatan tersebut nyata atau hanya sekedar mimpi buruk semata.

Begitu memasuki desa Xing An, yang merupakan wilayah Kuil Xie Yun, seorang pengawal ditugaskan untuk mengabarkan keadaan sang permaisuri ke kuil terlebih dahulu supaya mereka bisa menyiapkan penanganan secepatnya.

Dan seperti yang diharapkan, para pendeta di Kuil Xie Yun segera bertindak cepat begitu rombongan pangeran dan permaisuri tiba di halaman kuil. Beberapa pendeta wanita bergegas membawa permaisuri masuk demi mendapat pertolongan pertama sembari menunggu kedatangan Tabib Agung.

Di saat yang sama, Pangeran Shi Ying diarahkan menuju aula utama bersama dengan para pendeta kuil.

Entah kenapa sesosok pendeta berjubah putih menarik perhatian Shi Ying. Seberkas perasaan familier berkelebat di benak sang pangeran muda saat melihat pendeta berambut putih tersebut.

Xie Yun? Tidak mungkin! Jelas sosok Xie Yun berbeda jauh dari pendeta tua itu.

Seakan menyadari perhatian Shi Ying, sang pendeta menoleh ke arahnya, kemudian menyunggingkan senyum separuh yang nyaris membuat jantung Shi Ying berhenti berdetak.

"Pangeran ... Pangeran Shi Ying ...."

Panggilan Wu Liang, salah satu pengawal elite yang mengikuti Shi Ying, membuat kesadaran sang pangeran muda kembali. Ketika dia kembali melihat sosok pendeta yang menjadi perhatiannya, sosok tersebut seolah telah berubah menjadi sosok yang sama sekali berbeda dari yang dilihatnya beberapa waktu lalu.

"Pengawal Wu!"

"Ya, Pangeran?"

"Apa kau memperhatikan salah satu pendeta senior itu? Apakah dia masih orang yang sama?" Memberi insyarat pada salah satu dari tiga pria tua berjubah putih.

Pengawal Wu menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh Shi Ying, kemudian kembali pada sang pangeran kecil. "Hamba tidak yakin, Pangeran, hamba tidak memperhatikan sebelumnya, maaf, hamba bersalah."

Mengibaskan tangan, tatapan Shi Ying masih tidak bisa lepas dari pria berjenggot putih di barisan depan. "Tidak, tidak, bukan salah Pengawal Wu. Sepertinya ... itu cuma perasaanku saja."

Wu Liang membungkuk, memberi gestur hormat pada sang pangeran kecil sebelum akhirnya kembali ke posisi semula.

Shi Ying sendiri masih belum merasa puas, beberapa kali sudut matanya masih saja mencuri pandang pada sang pendeta tua. Namun tidak ada yang berubah. Mungkin memang hanya perasaannya saja yang terlalu gelisah sejak mereka berangkat ke Kuil Xie Yun. Mungkin efek matanya kelelahan karena menangis sepanjang perjalanan juga.

Setelah jamuan dan basa-basi singkat yang diberikan oleh para pendeta, Pangeran Shi Ying pun diantarkan untuk beristirahat di salah satu kamar yang sudah disediakan.

Sebuah ruangan yang tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan kamar pribadinya di istana, tetapi cukup nyaman karena dilingkupi oleh lingkungan kuil yang asri. Aroma yang familier, menarik ingatannya kembali ke kehidupan lampau. Ya, aroma tempat ini sama persis dengan aroma di kediaman Xie Yun tempatnya disekap selama bertahun-tahun.

Tubuh Shi Ying kembali bergidik saat kenangan itu kembali melintas dalam ingatan. Sebenarnya tidak mengherankan, tempat ini adalah Kuil Xie Yun, jadi wajar jika aroma dan suasananya hampir sama persis seperti kediaman Xie Yun sendiri.

Bagaimanapun, Shi Ying adalah salah satu pemuja Dewa Xie Yun di kehidupan sebelumnya. Sosok dewa yang dikenal karena ketampanan wajah dan tubuh ideal. Dewa cinta dan ketampanan, juga sebagai simbol cinta itu sendiri. Karena kekagumannya pitulah Shi Ying selalu berkata jika ketampanannya setara dengan sang dewa cinta.

Di kehidupan sebelumnya, Shi Ying harus menanggung konsekuensi setelah melakukan berbagai kesalahan.

Pangeran kecil itu menguap untuk ke sekian kalinya. Rasa lelah karena perjalanan selama hampir seharian membuat tubuh kecil Shi Ying seolah menjerit. Satu bagian kecil dari jalan hidupnya telah berubah. Semoga usahanya untuk mengubah takdir bisa berjalan lancar dan mendapatkan hasil yang jauh lebih baik dari kehidupan sebelumnya.

Ya ... semoga ....

*
*
*

Memutuskan untuk tetap terjaga demi menunggu kabar sang ibu, Shi Ying justru tertidur lelap sepanjang malam hingga seorang pendeta kuil membangunkannya di pagi hari.

"Selamat pagi, Pangeran, apa tidur Anda nyenyak?" sapa pendeta muda yang bertugas di kamarnya.

"Hmn." Mengangguk sepintas sambil menguap. "Bagaimana keadaan ibuku?"

"Beliau sudah melalui masa kritis, mungkin beliau akan sadar dalam dua atau tiga hari ke depan," jelas sang pendeta. "Pendeta Agung sudah menunggu Pangeran untuk upacara sembahyang."

Shi Ying mengangguk paham, sepertinya kali ini dia tidak bisa menjalankan upacara bersama sang ibu. Namun hal itu jauh lebih baik daripada menjalani upacara pemakaman yang suram seperti di kehidupannya terdahulu. Mata menyorot sarat kepedihan, wajahnya menunduk selama beberapa waktu, kemudian menengadah sembari mengerjap cepat.

"Xie Yun masih melindungi Yang Mulia Permaisuri," tambah sang pendeta muda.

Shi Ying tidak menjawab lebih lanjut. Memilih untuk fokus membersihkan diri dan bersiap mendatangi upacara sembahyang yang telah dijadwalkan.

'Benarkah Xie Yun melindungi ibu? Semua orang percaya jika Xie Yun sosok yang mengayomi dan berbudi luhur, tapi yang kualami di kehidupan sebelum ini juga nyata. Lalu, mana yang benar?'

Di tengah pergolakan otak kecilnya yang berkeliaran ke mana-mana, langkah Shi Ying pun semakin mendekati aula kuil yang sudah dipersiapkan sedemikian rupa. Lagi, aroma familier membuat bulu kuduknya meremang.

Ingatannya seolah kembali dilempar ke waktu di mana leher dan kedua tangannya tengah terikat dengan rantai di kepala ranjang. Sebenarnya, ikatan seperti itu bukan halangan bagi seorang Shi Ying---yang kultivasinya sudah mencapai tingkat dewa tahap dasar---andai saja benda pengikatnya tidak dilapisi oleh mantra sihir.

Terlebih lagi si pengguna sihir adalah dewa itu sendiri. Dia yang hanya meminjam kekuatan dewa, tentu tidak bisa menandingi si pemilik asli kekuatan. Rantai yang digunakan juga secara perlahan menghisap kekuatan spiritualnya, semakin dia berusaha memberontak dan menggunakan kekuatan, semakin cepat pula kekuatannya diserap.

Dengan tubuh yang mulai melemah Shi Ying atau yang kala itu lebih dikenal dengan nama Shi Hanren, hanya bisa menatap nanar ketika sang dewa yang dipujanya sejak kecil datang mendekat.

Postur tubuh ideal tercetak jelas di jubah putih yang dikenakan. Rambut panjangnya dibiarkan terurai bebas melewati bahu dan punggung. Dan wajahnya, jauh lebih indah daripada apa yang selama inj dikatakan oleh orang-orang. Tidak heran jika Xie Yun disebut sebagai dewa ketampanan dan cinta kasih.

ADONISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang