1. Man With Tattoo

30.7K 1.3K 104
                                    



Aku terbangun dengan kepala nyaris meledak. Badanku langsung tegang setelah menyadari ini bukan kamarku. Lantas kamar siapa? Seketika aku bangkit, namun tubuhku oleng, tersungkur di kasur. Aku meracau, menyumpah, menyemburkan kata-kata kasar. Aku makin histeris saat menyibak selimut yang menutupi badan dan mendapati tubuhku telanjang. Hanya tersisa dua bahan kecil, bra dan panties yang jelas-jelas tak bisa menutupi tubuhku yang montok. Terus, bajuku ke mana?

Aku langsung membongkar memori, mengumpulkan ingatan. Maya! Aku ingat semalam dia mengajak ke klub. Aku juga ingat minuman yang diberikannya. Pasti minuman itu ber-alkohol. Shit! Aku belum pernah minum. Pasti semalam aku mabuk berat hingga tak mengingat apa pun yang terjadi padaku.

Maya seniorku di kantor. Dia sekretaris bos berusia tiga puluh tujuh tahun, berwajah biasa. Tetapi, dia memiliki rambut keren yang diwarnai empat warna cokelat berbeda. Postur tubuhnya tinggi dengan kulit sawo kecokelatan, membuatnya terlihat berbeda dari wanita kebanyakan. Aku lumayan akrab dengan Maya, kerap keluar makan siang bersama, menghabiskan libur di mal, atau memanjakan diri di salon. Dia janda cerai dari suami berkebangsaan Kanada. Kegagalan pernikahan dengan pria asing tak lantas membuat Maya beralih pada pria lokal. Dia kembali menjalin hubungan dengan pria bule.

Sebelumnya Maya bercerita kalau malam ini akan menemui pacar bulenya di klub. Aku langsung mengajukan diri minta ikut, berharap dia mau mengenalkanku pada teman-teman bulenya.

"Ok, nanti lo gue kenalin, apalagi ini hari Jumat, klub yang mau kita datangi klub exclusive. Isinya bule berduit semua, nggak ada orang Asianya. Mereka baru pulang kantor, masih pakai jas dan wangi Armani. Cakep-cakep deh." Promosi Maya semanis SPG rokok minus rok mini.

Seumur-umur aku belum pernah ke klub. Seriously, walaupun sudah lama tinggal di Jakarta, aku belum pernah mendatangi tempat hiburan malam seperti klub atau diskotik. Bukannya kuper, cuma tidak pernah ada yang mengajak. Kalau pergi sendiri aku tak berani. Baru sampai depan pintu diskotik, pasti sudah diusir satpam, secara penampilanku sangat kemayu. Mumpung sekarang ada yang mengajak, kapan lagi tahu kehidupan malam Jakarta. Siapa tahu jodohku ada di klub. Menunggu yang lokal tidak nongol-nongol, bule pun tak masalah. Aku membayangkan reaksi orang-orang kampung kalau mudik bawa bule. Bule with blue eyes not bulek with the susur or nginang a.k.a sirih."

Mengingat kampung, aku jadi ingat momen mudik tahun lalu. Saat itu aku datang ke rumah Bude Retno, kakak tertua ibu untuk berlebaran. "Mana pacarnya?" tanya Bude Retno. Nenek ini cerewetnya kebangetan. Ibu yang saudaranya saja tobat dengan mulutnya. "Kok pulang sendiri, nggak bawa pacar?" cecarnya sinis. Melihat kepalaku menggeleng, mulutnya tak terbendung lagi. "Di Jakarta kamu tidak cari suami?" tanya Bude lagi masih belum menyerah padahal mukaku sudah asam.

"Nggak, Bude. Di Jakarta saya kerja cari makan," kataku kesal, mulai kehilangan kesabaran.

"Harusnya kamu ke Jakarta cari suami. Kalau punya suami kamu nggak perlu kerja buat cari makan."

Lebaran adalah hari di mana orangtua, sanak saudara, teman, tetangga, bahkan orang yang tak dikenal bertanya tentang status. Padahal ibu tak pernah bertanya kapan aku nikah. Beliau mengerti alasanku belum menemukan jodoh yang cocok. Justru yang rese, banyak omong, dan tanya macam-macam itu orang-orang yang tak memiliki kontribusi dalam hidupku. Menyebalkan!

Meski hidup sudah lebih dari tiga puluh tahun, aku tak berpusing memikirkan janur yang tak kunjung melengkung. Hidupku sudah cukup nyaman dengan memiliki sahabat, teman, dan juga pekerjaan yang alhamdulillah cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Bahkan, aku bisa menabung dan mengirim uang untuk ibu di kampung. Tetapi aku tak lantas berhenti berusaha, aku terus memburu lelaki potensial untuk dijadikan pasangan hidup.

Come On Get ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang