10. Breath Away

2.7K 171 10
                                    

"Di mana lo sekarang?"

"Bukan urusan lo, gue ada di mana!"

"Don't you ever fucking talk to me like that! I swear to god I will knock all the teeth out of your head. Now, tell me, where are you right now?!"

Aku tak tahu setan apa yang bersarang di badannya dan mengambil alih otak kecilnya. Dia tiba-tiba telepon menanyakan keberadaanku sambil marah-marah. Aku bisa merasakan amarah menenggelamkan kewarasannya hingga dengan berani ingin merontokkan gigiku.

"Sleep at home!" teriakku membalas raungannya.

"You such a fucking liar! Gue sekarang ada di depan rumah lo yang kosong."

"You'd better go. Percuma nungguin. Gue masih lama baliknya."

Jujur, aku tak percaya dia berani memukul, tetapi amarahnya yang menjadi-jadi di telepon mencegahku untuk menguji. Bocah itu lebih keras kepala dari setan mana pun. Segera kututup ponsel sebelum semua orang yang berada di sekelilingku dapat mendengar caci yang diteriakkannya. Aku terpaksa memberitahu keberadaanku.

"Yu...."

His voice breaking the silence, forcing me to meet his gaze. Pelan dia mengambil kursi dan duduk di sampingku tanpa melepaskan matanya menjelajahi tubuhku, head to toe. Aku menutup mata, mengabaikan kehadirannya. Kubuat badan sekaku mungkin, pura-pura tidur.

"Kok, lo bisa ada di sini?" Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Aku terus menutup mata, membiarkan pertanyaannya menggantung tanpa terjawab. Memangnya apa yang harus aku katakan? Merepet tanpa henti, lapor tentang kondisiku padanya? Never! "Yu .... Lo nggak apa-apa kan?" Dia menyentuh tanganku, mengusapnya lembut. Aku hampir bergerak menepis tangannya tapi urung. Tetap bergeming dalam kepura-puraan. Dia kembali bertanya meski yang tadi belum dijawab. "Gimana keadaan, Lo? Apanya yang sakit?" tanyanya mengajakku terus bicara, suaranya pelan tapi sedikit serak mirip kucing kampung tersedak tulang ayam.

"Ayumi...." Dia menggoyang tanganku, pertama pelan lama-kelamaan makin kencang dan terakhir berubah jadi guncangan keras tidak sabaran. Bila terus bungkam, tubuhku bisa koyak digoyangnya. "Bangun nggak! Gue tahu lo nggak tidur!"

Aku mengerang geregetan sambil buka mata dan mendapatinya duduk gelisah, menatapku cemas. "Ngapain sih, ke sini? Pulang sana!" Dengan galak aku mengusirnya. Tak ada reaksi, dia tetap bergeming. "Pulang sana!" usirku lagi.

"Bisa nggak sih, lo nggak buat gue khawatir terus?"

Aku mendengus mendengar ucapannya, bibirku mencibir sebelum bicara. "Yakin lo khawatir sama gue? Bukannya tadi lo diam aja, ngelihatin doang."

Kalau dia pikir aku akan percaya dan luluh dengan kata-katanya, berarti dia tak mengenalku. Sedikit pun aku tak meleleh mendengar pernyataan terselubungnya barusan. Karena apa yang dikatakan berbeda dengan perbuatannya.

"Kan, lo yang suruh kalau ada Luna, jaga jarak, pura-pura nggak kenal."

"Alah, alasan!" tepisku tak terima pembelaannya.

Aku memang menyuruhnya seperti itu tapi bukan berarti dia bisa mengabaikanku, memandang dingin tanpa ingin tahu bagaimana keadaanku. Aku bukan sok manja, minta diperhatikan, tetapi kelakuannya tadi benar-benar membuatku geram.

"Gue beneran peduli, Yu...." Pernyataannya barusan aku tanggapi dingin dengan menutup mulutku rapat. Wajahnya lantas berubah muram, dia menarik napas dalam-dalam, mengistirahatkan punggung pada sandaran kursi. Duduk diam cukup lama tanpa melepaskan matanya. "Gue sayang lo, Yu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 04, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Come On Get ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang