9. Let Him Go

1.3K 143 2
                                    

Tante Mira menatap seluruh tubuhku. Dahinya berkerut saat matanya bertemu mataku. "Apa kabar, Yu? Kok kelihatan lesu, sakit?"

"Alhamdulillah sehat, Tan," tekanku meyakinkannya. Tante Mira tak percaya perkataanku, beliau masih terus menatap wajahku.

Aku bingung, kenapa semua orang jadi care dengan kesehatanku. Bukan Tante Mira saja yang kepo. Luna juga, dia bahkan tadi pagi menghubungi Reno, meminta tunangannya itu mengantarku ke dokter.

"You look different."

"Thank you. Sekarang Ayu memang terlihat lebih cantik." Aku nyengir dipaksakan, Tante Mira mendengus atas usahaku yang sepertinya sia-sia, tak bisa membohongi mata tuanya.

"Mas Arly ada, Tan?" Aku tak ingin berlama-lama mengobrol dengan Tante Mira. Dia bisa membuatku lupa waktu dengan segala keceriwisan yang sialnya asyik untuk didengarkan. Tujuanku datang ke sini adalah untuk menemui Arly. Kemarin dia menghubungi memintaku datang ke rumahnya. Aku tak tahu apa tujuannya, tebakanku ini pasti terkait keributan di klub kemarin.

"Ada tuh, di belakang. Kamu ditungguin dari kemarin."

"Ya udah. Ayu ketemu Mas Arly dulu yah."

Aku menemui Arly di taman belakang dan terkaget melihat penampilannya. Dia sangat jauh berbeda dari terakhir aku melihatnya. Berat badannya menyusut tajam. Pundaknya yang dalu kokoh, kini melengkung sedikit bongkok. Tak ada sinar di wajah maupun matanya. Dia bukan Arly yang sama yang membuatku terpesona dan mengejar-ngejarnya.

"Duduk sini, Yu."

Aku melintasi halaman rumahnya yang luas, bergabung bersamanya di gazebo. "Apa kabar Mas, sehat?"

Aku duduk tepat di depannya. Langsung menyadari kesalahanku begitu Arly tak membalas sapaku. Wajahnya yang awalnya cerah melihat kedatanganku, langsung berubah seketika. Dia menatapku datar tanpa eksperesi.

Bego! Bego! Bego!

Aku menggigit lidah, menghukum mulut goblokku. Bagaimana bisa basa-basi menanyakan kesehatan, sedangkan tanpa bertanya pun sudah bisa melihat kenyataannya. "Lagi baca buku apa, Mas?" Cepat-cepat aku mengganti pertanyaan, menyelamatkan keadaan yang langsung terasa canggung. Sasaranku adalah buku tebal yang menemaninya duduk. Aku mengintip cover buku yang sedang dipegangnya.

Arly menunjukkan covernya. Sekali lagi dia berhasil mengejutkanku dengan jenis buku yang dibacanya. Sebuah buku filsafat dari penulis Prancis terkenal Jean-Paul Sartre. Seks Dan Revolusi. Di atas meja di depannya juga ada satu buku lagi. The Other Voice, kumpulan puisi dari pemenang hadiah Nobel Kesusastraan tahun 1990, Octavio Paz. Aku menatapnya mencoba mencari tahu dari wajah dan bahasa tubuhnya yang tenang. Masihkah dia mencari jati diri? Apakah dia tak yakin dengan pilihan hidupnya?

"Ngapain baca buku beginian?" tanyaku mengernyitkan alis. Sumpah! Aku bingung dengan ini orang.

"Iseng aja. Bukunya bagus, kok. Membuka wawasan, membuat kita lebih bisa memahami akan pergeseran nilai yang terjadi di masyarakat, di lingkungan sosial kita. Kamu mau baca?"

Aku langsung menggeleng, menolak tawarannya. Terus terang, aku tak suka filsafat. Hidupku saja sudah rumit. Tak mau menambah rumit dengan memahami tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis. Terserah dia mau melakukan apa dengan hidupnya. Aku tak berhak mengomentari bahkan menghakimi. Tugasku adalah menjaga hubungan baik dengannya. Tentang pilihan hidupnya, biarlah itu menjadi urusannya dengan Tuhannya.

"Aku nggak tahu kalau kamu pacaran dengan Gie."

Setelah panjang lebar berbasa-basi, ngobrol tak jelas arah, akhirnya kami sampai pada main course, tujuannya mengundangku ke rumahnya.

Come On Get ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang