3. This Sign Must Mean

13.1K 1K 81
                                    


"Siapa, lo?"

Jantungku nyaris copot mendengar jerit perempuan tengah malam. "Nah, lo siapa?" tanyaku bingung. Tiba-tiba nongol saja ini perempuan. Tak tahu kapan datang dan masuknya. Apakah lewat pintu atau tembus tembok, menginjak lantai atau melayang.

Aku teliti lebih saksama penampilannya. Cara berpakaiannya sangat payah, seperti kekurangan bahan, coak belakang, memble di depan. Sangat mikro, saking kecilnya itu baju, nungging sedikit bisa langsung kelihatan belahan pantatnya. Mungkin kalau ke pantai bajunya bisa dipinjam nelayan, menerawang mirip jaring ikan. Setan even kunti sekalipun lebih sopan dan berbudaya. Baju kunti lebih tertutup malah ngengser sampai ke lantai, sedangkan ini perempuan cuma bikin malu kaumnya. Aku saja yang perempuan jengah melihatnya.

Ini perempuan kalau berdiri di perempatan jalan, motor serta mobil pasti langsung berhenti dikira traffic light. Pipinya menor, mirip lampu merah.

"Ada juga gue yang tanya, ngapain lo di rumah pacar gue?" semburnya songong, mukanya menatapku jijik. Dadanya yang seperti landasan pacu pesawat terbang, lurus, dan rata bergetar menyedihkan.

"Pacar?" ulangku bingung. Seriously, ini pacar Gie? Aku kira cuma puppy yang tertarik dengan tulang.

"Iya. Gie itu pacar gue. Ngapain lo ada di sini? Sekarang Gie-nya mana?"

Jika benar dia pacar Gie, aku tepok jidat. Seperti tak ada perempuan waras lagi. "Nggak tahu, keluar. Nggak bilang mau ke mana," jawabku ketus.

Gie langsung pergi setelah menurunkanku di lobi apartemen, sebelumnya dia mengantarku ke rumah Maya. Niatnya aku ingin menginap di sana, tetapi karena cowok bule Maya sudah menginap duluan, jadilah aku terdampar di apartemen ini, lagi. Aku bergelung nyaman di sofa empuk menonton Julianne Moore lari-lari dikejar setan dalam film Carrie. Karena filmnya sangat keren, chemistry seremnya dapat, aku mengira ini perempuan jelmaan setannya.

"Idih! Siapa lo, pede dipamitin Gie. Terserah ya dia mau ke mana. Suka-suka, lo nggak perlu tahu!"

Dih, sarap ini betina. Tadi tanya, giliran dijawab malah sewot. Minta diraup mukanya. Wedges di kakinya sepertinya mantap buat menampol mulut songongnya.

Tetapi, aku tak melayaninya, lebih memilih merem dan pura-pura tidur. Aku sudah lelah dan mengantuk. Setelah apa yang terjadi seharian ini, tidur menjadi keinginan terbesar. Ogah kalau disuruh melayani Sadako wanna be adu mulut. Tanpa membuka mata, aku mendengar suara pintu dibanting. Dia pasti menginap di sini. Actually, I don't care what she does in that room.

Aku bolak-balik gelisah, kepalaku melayang memikirkan nasibku ke depan, bagimana dengan hari besok? Aku pura-pura merem, berlagak tidur ketika mendengar pintu terbuka. Tak perlu buka mata untuk mengetahui siapa yang datang. Bulu-bulu di tanganku berdiri merasa ada yang sedang memperhatikan.

Tiba-tiba tubuhku terasa berat, sebuah selimut menutupi badanku. Aku tahu kalau Gie pelakunya dari aroma tembakau di tubuhnya. Badanku menjadi tegang dengan jantung berdetak kencang, kurasakan embusan napas di atas kepalaku. Dengan mata tertutup, aku menantikan adegan selanjutnya.

But nothing had happened, he walking across the room and leave me alone.

----Come On Get It----

Sebentuk wajah muncul di hadapanku dari balik pintu yang belum terbuka sempurna. Tanpa basa-basi, aku langsung mengulurkan tangan. "Tas saya mana, Mas?"

Arly tersenyum. "Masuk dulu," katanya ramah sembari membuka pintu lebar. "Temani saya sarapan."

In another case aku mungkin akan pingsan, ajakan Arly sungguh sarat akan makna. Bisa jadi dia memintaku untuk terus menemaninya sarapan hingga maut memisah. Tetapi, aku berusaha bersikap manis, jangan sampai ini lelaki ilfill lihat ilerku menetes.

Come On Get ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang