5. Just Can't Deny

12K 853 93
                                    

"Jadi, lo sekarang pacaran sama dia?"

"Ya nggak lah...."

"Nggak gimana?" Binsar meletakkan sendoknya setelah beberapa saat berhenti di depan mulutnya. Dia begitu kaget sampai tak jadi makan.

"Nggak pacaran!" tegasku tak acuh. Aku mengaduk-aduk sop tanpa minat. Kehilangan nafsu makan mendengar pertanyaan-pertanyaan mereka. Meski dongkol ditanya-tanya, aku tak berani menatap keduanya. Sadar kalau saat ini Binsar maupun Rizky tengah memperhatikan dengan saksama. Mereka menunggu penjelasan.

Sepulang kerja, kedua orang ini langsung menyeretku ke daerah Panglima Polim, ke seberang Rumah Sakit Bersalin Asih. Mereka mentraktirku makan sop kambing Bang Irwan. Beberapa hari ini mereka memang mengejarku. Biasanya lolos, aku langsung kabur begitu jam kerja berakhir. Aku tahu kalau mereka semua kepo ingin mendengar ceritaku. Seharusnya tadi aku menolak, tak tergoda iming-iming lezatnya sop kambing dengan kuah santannya yang gurih. Sekarang, aku terjebak bersama mereka. Sial!

"HTI, dong."

"Nggak lagi!" Aku membantah pernyataan Binsar. Meliriknya sesaat dan segera memalingkan wajah, aku pura-pura cuek. Di depanku, Rizky tengah menatap intens, dahinya berkerut penuh selidik, tatapannya aneh. Binsar yang melontarkan pernyataan terlihat sudah tak peduli. Cuek, masa bodo, dia kembali asyik dengan makanannya.

"Lah, terus apa namanya, kalau nggak pacaran tapi mau dicium-cium?" tanya Rizky tanpa melepaskan tatapan. Aku memaki dalam hati. Apa maksud kata-katanya itu? Kenapa Rizky menyudutkanku seperti ini? Aku melotot marah. Mata kami saling bertemu, dia membalas tak mau kalah. Lewat matanya laki-laki itu menantangku untuk menjawab. "Gue kira bibir lo jontor gara-gara kesodok sikat gigi waktu mandi." Rizky melirik bibirku. Senyum mengejek terukir di bibirnya yang tebal.

"Bukan...." Binsar membuka mulut tapi kalimatnya menggantung di udara, sengaja untuk menarik perhatian. Dia menanti reaksiku sembari mengetuk-ngetuk telunjuk di dagunya berlagak mikir. Aku pura-pura cuek, mencoba sabar, tak termakan provokasi. Sekarang kami ada di public place, harus jaga sikap. "Penyebabnya adalah kemiskinan. Nggak mampu beli buah atau vitamin. Lo tahu kan gimana perhitungannya ini perempuan sama duit? Actually, dia bisa sehat dan makan enak karena subsidi dari kita."

Asem, berengsek mereka berdua! Baru traktir makan sekali sudah banyak omong! Sopnya saja baru sampai leher belum turun ke perut, tetapi sudah diungkit-ungkit. Rese! Aku menyambar stoples acar di atas meja. Dengan kesal mengaduk-aduknya. Setelah ketemu, aku lempari keduanya dengan cabe rawit.

Tawa pun membahana dari dua lelaki sialan di depanku. Mereka tergelak menontonku tak bisa menahan amarah. Aku mengatupkan rahang, menahan emosi. Mereka makin tergelak melihatku kesal. Aku berdoa, semoga persediaan ilernya banyak, biar tersedak ludah.

"Stupid!"

Aku bukan hanya memaki mereka berdua, dalam hati juga memaki bocah mesum bodoh yang sudah membuat bibirku sobek dan jadi bahan tertawaan. Dia bukan hanya memberikan bahan gosip pada mereka berdua, tetapi juga menjadikan bibirku bahan taruhan. Gaji sebulan siap mereka pertaruhkan jika berhasil menebak penyebab bibir seksiku sobek.

Binsar menghentikan tawanya, kemudian melipat tangan di dada. Saatnya untuk serius, aku siaga satu mempersiapkan diri, interogasi segera dimulai. Bagaimanapun Binsar lebih tua, dia berhak mendapat hormatku. Meski aku sering tak tahan karena dia sungguh membosankan.

"I just want to remind you. Kalau kita lagi ada kerja sama dengan perusahaannya. Dia itu big boss. Gue nggak mau lo kecewa. Lo pasti udah dengar sepak terjang dan reputasinya. Affair-nya dengan sejumlah model yang pernah kerja sama dalam iklan-iklannya." Binsar bicara tanpa senyum. Aku meringis mendengarnya. "Seiyanya, hubungan lo nggak berhasil. Gue nggak mau ada masalah dengan lo atau perusahaan. Lo terlalu berharga untuk jadi korbannya."

Come On Get ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang