Playlist 12

111 8 1
                                    

Brakk!

Karina menutup pintu kamarnya dengan kasar. Dengan bersungut-sungut ia berjalan mondar-mandir sambil menggelatakkan jaket dan tas nya sembarangan. Dibenaknya kini, kata-kata Aeri terngiang kembali dan membuatnya tersinggung lagi dan lagi. Rasa kecewa, tak terima, dan takut seakan berkumpul jadi satu membuat gaduh pikirannya. Meski jika ia sedikit saja mau mengesampingkan itu semua, ia pun mengamini ucapan sahabatnya jika cinta pun bisa berjalan beriringan dengan cita-cita. Namun kata-kata Aeri sudah terlanjur melukai ego Karina yang sudah sebesar gunung. 

Semua itu karena selama ini Aeri sudah menjadi suporter nomor satu sedunia baginya. Ia merasa aneh jika kini Aeri berseberangan dan terang-terangan tak menyetujui keputusannya. Karina ingin membuktikan bahwa ia bukan anak remaja labil yang tidak berpikir panjang untuk setiap permasalahan. Terlebih lagi ini soal perasaan. Cukup bilang "Ya aku mendukungmu" saja, Aeri seakan tak sudi mengatakannya pada Karina. Ia benci penolakan dan untuk kali ini hal itu datang dari orang yang selama ini menjadi tempat bersandarnya. 

Karina tidak henti-henti merutuki Aeri yang menurutnya begitu kejam. Kepada siapa lagi nanti ia berkeluh kesah jika kini mereka sedang bertengkar seperti ini. Gadis itu mendesis lirih seraya menarik kursi dan duduk untuk menghempaskan tubuhnya tapi tidak bebannya. Kedua tangan mengusap wajahnya kesal namun sedetik kemudian Karina mulai menggigiti kukunya. Kegelisahan menyapa, namun dengan sekuat tenaga Karina mencoba untuk tegar dan menghadapi semua konsekuensi dari apa-apa yang telah ia ambil untuk hidupnya.  Bagaimanapun juga untuk saat ini ia tidak mungkin menarik pertukaran yang ia tawarkan sendiri pada Ibunya untuk mempertahankan Minjeong. Sungguh ia sendiri tidak menyangka bahwa cinta membentuknya sedemikian rupa hingga kini ia begitu berani mempertaruhkan hal-hal penting. Beberapa kali rasa takut membayangi, namun ia tepis sendiri dan berusaha untuk memahami bahwa cinta butuh pengorbanan. Sekali lagi, tidak apa mengorbankan satu, untuk mendapatkan dua. Ibunya, dan Minjeong. 

Lalu bagaiamana dengan Aeri? 

Karina berpikir untuk menyerahkan Aeri pada waktu. Semoga sahabatnya itu sedikit demi sedikit menerima apa yang sudah menjadi keputusannya sutu hari nanti. 

Dalam satu kali tarikan nafas yang dalam, Karina menghembuskan kembali dengan pelan berusaha untuk tetap tenang dan berpikir jernih. Ia membuka notebooknya dan jemarinya siap menari-nari di atas abjad keyboard untuk berselancar di mesin pencarian. Karina menyusuri informasi demi informasi yang berkaitan dengan apa saja yang perlu dilakukan ketika nanti ia jadi banting setir. Menjadi perawat. 

..............................

Malam sudah ada di puncak. Rumah sederhana yang hanya memiliki dua penghuni saja itu akhirnya lengkap karena penghuni lainnya yang tidak lain adalah Nyonya Yu pulang. Ia adalah pekerja yang berdedikasi tinggi. Pantang pulang sebelum tanggung jawabnya tuntas. Integritasnya tak perlu diragukan, kesabarannya pun sungguh luas kepada pasien yang cerewet atau rekan kerja yang terkadang memiliki perilaku menyebalkan. Tak heran, semua orang menaruh hormat dan kagum padanya, bahkan Kepala rumah sakit sempat menyatakan minatnya untuk memperistri wanita anggun itu, namun tertolak. 

Semua yang sempurna pasti punya celah, begitu juga Nyonya Yu. Celah yang dimilikinya adalah Karina, putri semata wayangnya. Di dunia yang sempit ini Karina adalah miliknya satu-satunya semenjak ia memutuskan untuk menjadi single parent. Ia ingin selalu dekat dengan putri kecilnya yang dulu- sebelum Karina beranjak remaja, tanpa ragu memilihnya sebagai orang yang memiliki hak asuh penuh atas Karina meski saat itu kondisi ekonominya sedang terseok-seok. Untuk itu ia rela bekerja dua kali lebih keras.

Oleh sebab itu sejak jauh-jauh hari Nyonya Yu merancang masa depan Karina sebaiknya menjadi perawat juga seperti dirinya. Dengan begitu, dia dan putrinya itu akan selalu dekat dan bisa melindunginya. Sesederhana itu alasan yang dimiliki namun bibirnya seakan sangat sulit mengucap. Tak ayal, mungkin dalam bayangan Karina ia adalah Ibu yang tak peduli dan cenderung memaksakan kehendak. Hingga ia luput menyadari, Karina lebih memilih hobi menulisnya sebagai titian karir. Komunikasi mereka minim, dan waktu yang normalnya bisa dihabiskan bersama sebagai ibu-anak tak pernah hadir.

Caffee Playlist ( Winrina|| Jiminjeong || Karselle )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang