Bagian 1

56K 2.7K 24
                                    

-

"Lea, antarkan ini seragam om kamu," perintah mama di pagi pertama om Devan tinggal di rumah kami.

"Kenapa harus Lea sih, ma? Dan ada-ada aja bik Eni nggak langsung rapiin ke kamarnya langsung," sungutku.

Sorot mata mama tak bisa dibantahkan.

Eh, dengan begini aku bisa dong masuk ke kamar om Devan? Ide yang bagus.

Kuterima seragam yang terlipat rapi dari mama. Dengan jalan cepat aku menaiki tangga yang membawaku ke lantai dua dimana kamarku dan kamar om Devan bersebelahan di sana.

"Om Devan... Ini seragamnya, bik Eni belum masukin tadi pagi," teriakku dari depan pintu. Tidak ada balasan dari dalam. Apa yang dia lakukan? Apa mungkin dia masih mandi?

Tanpa menunggu lagi, aku membuka pintu dan ngeloyor masuk begitu saja.

Ops!

Om Devan masih berbalut handuk doang sebatas pinggangnya.

"Aakhh..." Dengan cepat, aku menggunakan seragam yang ada di tanganku untuk menutupi wajahku. Sungguh, aku malu saat ini. Kenapa juga dia tidak menyahut kalau ada di dalam. Setidaknya meminta untuk menunggu semenit dua menit.

"Lagian ngapain main masuk kamar orang sembarangan? Tau kan kalau kamar itu privasi?" tanyanya dengan nada naik satu oktaf.

"Tadi aku udah panggilin om, tapi nggak nyahut. Makanya kalau dipanggil itu nyahut. Malah bikin aku yang jadi tersangka seperti ini," sungutku kesal. "Nih," kusodorkan seragam ke dadanya dan dengan cepat meninggalkannya. Jantungku akan bermasalah dalam keadaan ini lebih lama.

Meski masih sangat muda, body-nya bagus banget. Biasanya aku hanya bisa melihatnya dari balik kaos basket yang dia kenakan saat main basket. Dan kali ini, aku melihat aslinya. Hm... jilat bibir. Menggiurkan!

Astaga, ini masih pagi, Kalea! Kamu terpengaruh dari siapa sih pikirannya jadi seperti ini?

Siapa lagi kalau bukan dia. Tidak langsung memang, tapi dialah yang sudah membuatku menghayal terlalu jauh. Untungnya aku sudah tujuh belas tahun. Eh? Ketahuan deh.

Dan keberuntunganku pagi ini berlipat ganda karena om Devan berhasil dibujuk mama untuk memboncengku ke sekolah. Mumpung sekolah kami sama -sampai kelas juga sama- lebih baik seperti ini kan daripada papa harus nganterin aku juga. Boros.

"Pegangan yang erat kalau nggak mau berakhir di rumah sakit," perintahnya. Mau naik saja sudah susah saking tingginya, sekarang dibentak juga hanya untuk menyuruh pegangan.

Huh, ini om ganteng galak banget. Cepat tua baru tau rasa loh.

"Hati-hati, sayang. Pegangan yang erat," ulang mama lagi yang hanya kubalas dengan anggukan. Kepalaku saja sudah susah digerakkan, berat dengan helm yang menutup seluruh kepala. Dan rambutku, aku pasrah saja kalau akan berantakan. Ada Soffie yang bisa dipinjami sisir nanti di kelas.

Brum!

Hanya dalam hitungan detik, motor gedenya sudah melaju kencang. Tidak ada pilihan selain memeluknya erat. Ah, ternyata ini menyenangkan juga. Andai bisa berkencan seperti ini.

Kalian tau kan bagaimana posisi kita saat ada di boncengan motor gede? Nah, begitulah nasibku sekarang ini. Tapi aku cukup bahagia juga. Bisa memeluk om Devan. Lebih lama lagi perjalanannya bisa nggak sih? Sayangnya om Devan pasti tidak menyukainya. Entah hanya berapa menit, kami sudah sampai di sekolah. Cepat sekali.

"Mau sampai kapan kamu seperti itu? Ini sudah sampai." Lagi-lagi nada penuh bentakan itu yang terdengar. Sebenarnya dia kenapa sih? Darah tinggi? Memangnya tidak bisa ya bicara baik-baik.

My Young Uncle (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang