1. Kehidupan

1.2K 83 2
                                    

Kehidupan akan terus berlalu, dimana hari berganti hari yang artinya minggu demi minggu telah berlalu, hingga tidak terasa tahun sudah bertambah. Sudah begitu banyak pelajaran hidup yang didapat dari berbagai macam hal. Tidak lupa berterima kasih pada diri sendiri dan juga orang-orang yang selalu ada dan menemani. Tidak ada hari ini jika tidak ada kemarin, dan tidak ada besok jika tidak ada hari ini. Jadi, selalu hargai hari-hari yang kamu lalui.

Pagi hari yang cerah dimulai dengan teriakan serta tangisan dari dua arah berbeda. Dhira yang semula menghadap kompor dengan tangan yang sibuk mangaduk sup di panci pun kini menatap ke atas, di mana suara-suara yang setiap hari mengisi hari-harinya terdengar. Dua orang yang sepertinya tidak bisa hidup tanpa mengganggu Dhira.

Helaan napas terdengar, Dhira mulai berjalan dan menaiki satu persatu tangga menuju dua kamar yang sedari tadi ramai sendiri-sendiri. Kamar yang berhadapan dengan pintu yang terbuka, menampilkan dua laki-laki berbeda usia dengan penampilan berantakan. Yang satu sudah rapi dengan seragamnya, tetapi buku dan tas masih berceceran, dan yang satu baju masih belum tertata rapi.

"Kamu benahi dulu bajunya, aku urus anak kamu." Dhira berucap sembari memasuki kamar sang putra yang sudah seperti kapal pecah. Anak laki-lakinya ini sudah bisa berpakaian dengan rapi, tetapi masalah buku harus ditata agar tidak ada kesalahan.

"Ibun, Abang besok ada acara di sekolah. Katanya harus didampingi orang tua, tapi pengen Ayah yang hadir." Suara milik putranya menjadi sambutan ketika Dhira baru memasuki kamar. Membantu merapikan buku yang berserakan.

"Iya, nanti coba Ibun bilang Ayah kamu. Sekarang masukan bukunya ke tas, sambil lihat jadwalnya. Jangan sampai salah. Ibun urus Ayah kamu dulu." Setelah memastikan putranya paham akan apa yang dimaksud, Dhira bergegas pindah mengurus laki-laki satunya lagi. Meskipun sudah menginjak umur 24 tahun, justru hampir semua hal memerlukan bantuannya.

"Abang katanya besok ada acara di sekolah, minta kamu yang hadir, bisa?" Pertanyaan Dhira menjadi pengalih atensi Alzam yang semula fokus merapikan dasinya dengan baik. Sebelum istrinya sibuk di dapur, semua keperluannya sudah ditata rapi, hanya saja ia ingin dilayani.

"Tumben Abang nggak langsung bilang ke aku, biasanya dia langsung bilang." Alzam mengerutkan kening heran, seraya menyerahkan pekerjaannya yang sedang memakai dasi kepada Dhira.

"Terakhir kali dia bilang ke kamu, kamunya nggak ada waktu. Mungkin dia takut kalau kecewa lagi," balas Dhira menjelaskan. Memang terakhir kali saat ada acara di sekolah, putranya meminta agar sang Ayah yang menghadiri. Namun, sesampainya di rumah justru wajah murung yang didapatkannya, ia mengadu bahwa mendapat penolakan dari sang Ayah.

Mendengar jawaban dari Dhira, Alzam terdiam sejenak. Tiba-tiba perasaan bersalah hinggap di dadanya, mengingat saat itu ia lebih mementingkan sebuah meeting yang ternyata tidak ada hasil yang memuaskan. Belum lagi 1 bulan terakhir ini ia lebih fokus pada pekerjaan dan belum sempat mengajak putranya jalan-jalan atau sekedar mengobrol seperti biasanya.

"Besok habis acara di sekolah Abang, kita jalan-jalan atau kemana gitu. Aku usahain besok satu hari khusus buat kalian. Kalau dipikir-pikir, kangen juga sih jalan bareng keluarga kecilku ini."

Sontak, Dhira yang semula fokus merapikan penampilan suaminya mendongak, tersenyum manis. Alzam tidak pernah lupa meluangkan waktu untuk keluarganya. Meskipun terkadang harus diingatkan terlebih dahulu, mengingat padatnya jadwal Alzam.

Setelah selesai dengan segala rentetannya, kini keluarga kecil itu sudah duduk bersama di meja makan. Dhira selalu sedia mengambilkan suaminya dan putranya makanan, dilanjut berdo'a bersama. Sarapan diselingi oleh obrolan ringan serta tawa yang menghiasi sungguh indah dilihat. Apalagi pasangan Ayah dan anak itu, tidak ada yang mau mengalah bila sudah berdebat.

"Abang lagi pengen kemana? Kayaknya besok Ayah free, bisa ajak Abang sama Ibun jalan-jalan."

Wajah Abang yang semula murung langsung berubah cerah, kedua matanya dihiasi binar antusias. "Beneran? Abang nggak lagi pengen kemana-mana sih, yang penting jalan-jalan bareng aja."

Setiap ditanya ingin kemana, jawaban putra Alzam itu hanya seperti itu. Tidak ingin kemana-mana, hanya ingin menghabiskan waktu bersama. Tentu saja tidak ada yang masalah, karena Dhira selalu memiliki tempat pilihan yang cocok. Wanita yang semakin cantik itu sekarang hanya disibukkan oleh pekerjaan rumah, mengurus dua laki-laki penyempurna hidupnya. Memang terlihat biasa, namun tidak semua wanita bisa melakukan hal biasa itu. Hanya wanita-wanita tertentu saja yang bisa bertahan diam di rumah dan fokus pada keluarganya.

"Kalau gitu, serahin sama Ibun. Intinya kalian harus semangat jalanin hari ini, karena Ibun selalu menunggu pulangnya kalian. Jangan ada yang nakal di luar, kalau ada apa-apa juga kasih tau Ibun, biar Ibun nggak khawatir. Oke, Ayah, Abang?"

Anggukan serta hormat menjadi jawaban yang berhasil menarik senyuman indah di wajah Dhira. Hal sederhana lagi, tapi tidak semua bisa didapatkan orang lain. Bagaimana kedua laki-laki itu menghargai seorang Dhira, dan cara mereka yang benar-benar menunjukkan bahwa wanita bernama Nadhira Salsabila itu lebih dari kata spesial. Untuk itu, Dhira tidak pernah menyesal telah merelakan masa mudanya, karena kini hari-harinya selalu ditemani dua laki-laki hebat.

Setelah keberangkatan putra dan suaminya, Dhira menatap setiap sudut rumah berlantai dua yang cukup menjadi saksi bagaimana jatuh-bangun mereka saat itu. Alzam yang dulu begitu kaku sampai menjadi Alzam yang sekarang. Semua masih terekam jelas di benaknya. Dulu, mereka hanya pasangan remaja yang disatukan karena perjodohan. Tapi, Allah berkata lain. Mereka berjodoh dan pasangan yang sudah tertulis di lauhul mahfudz.

"Dhira selalu bersyukur atas apa yang engkau kasih ya Allah. Semoga engkau selalu menjaga keluarga kecil hamba ini dari segala kehancuran. Aamiin."

Alzam Fatih Al-Rasyid dan Nadhira Salsabila masih memiliki banyak cerita setelah kebahagiaan di mana keduanya menyadari saling mencintai. Mereka akhirnya dikaruniai seorang putra yang diberi nama Aishakar Rafka Al-Rasyid. Bayi yang lahir dengan senyuman tipis dan mata tertutup itu menjadi penerang bagi rumah tangga mereka. Alzam yang memang seorang penyayang berhasil mendidik putranya menjadi sosok penyayang juga.

Tentu Dhira masih ingat bagaimana dulu sayangnya Alzam saat Rafka masih di dalam kandungan. Setiap malam sebelum tidur, Alzam selalu menyempatkan diri untuk membacakan Al-Qur'an agar putranya terbiasa. Selain itu, Alzam juga selalu bersholawat di waktu sepertiga malam. Berdo'a tiada henti supaya putranya menjadi sosok yang mencintai Allah lebih dari apapun.

Semua tidak berakhir dengan kegagalan, karena kenyataannya Rafka menjadi sosok anak yang begitu mencintai Allah. Anak yang sudah bisa memahami bahwa Allah itu Tuhannya yang harus ia ingat sampai kapanpun dan di manapun. Semua adalah hasil dari sesuatu yang Alzam tanam, kini ia memanen hasil baik. Putranya menjadi kesayangan dan kebanggaan. Dan semua berkat hebatnya Alzam juga Dhira yang telah berhasil mendidik anak laki-lakinya.

.....

jangan lupa tinggalkan komen dan vote yaa!

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang