2. Sebuah Kasih Sayang

903 68 5
                                    

"AYAHHH!" Jam masih menunjukkan pukul 03.12, tetapi suara Rafka sudah terdengar dari balik pintu kamar orang tuanya. Anak itu bahkan sudah memakai sarung dan kopiahnya, siap salat tahajjud.

Dari dalam, Alzam dan Dhira tersenyum. Keduanya juga sudah siap menunaikan salat tahajjud berjamaah. Rafka baru beberapa kali ikut, tanpa paksaan. Anak laki-laki itu bangun sendiri dan langsung menghampiri kamar orang tuanya, tak lupa menggedor dengan diriingi suara cemprengnya.

"Iya, Abang, sebentar," balas Alzam seraya membuka pintu. Senyumnya mengembang melihat putranya yang sangat rapi itu. Kebahagiaannya terasa begitu lengkap saat Rafka berhasil tumbuh menjadi anak yang bisa diajari dengan mudah. Sungguh, Rafka adalah harta paling berharga yang Allah titipkan.

"Abang bangun jam berapa?" Alzam bertanya dengan Rafka yang sudah di dalam gendongannya. Berjalan menuju sisi kamar yang sudah digelar sajadah berjumlah 3, dengan 1 kecil milik Rafka. Bisa dibilang, Rafka itu perlu belajar banyak hal, karena salatnya masih sama seperti anak seumurannya, hanya bibirnya yang gerak entah membaca apa.

"Nggak tahu, tadi itu kayak ada yang bangunin Abang. Dia bisikin Abang gini," ucapnya seraya mendekatkan bibirnya pada telinga sang Ayah. Kemudian dilanjut dengan berucap, "Bangun! Kamu mau deket sama Allah enggak? Kalau mau, bangun sekarang."

Tawa Alzam mengudara mendengar bisikan putranya. Tidak hanya suara yang dibuat sedemikian rupa supaya terdengar menakutkan, melainkan wajah anak itu yang juga ikut berekspresi garang. "Terus kamu langsung bangun, gitu?"

Rafka turun dari gendongan Alzam, lantas menggelengkan kepalanya. Bukannya menjelaskan maksud gelengan kepalanya, Rafka justru berjalan mendekat pada Dhira. Tersenyum manis sebelum mengecup pelan pipi wanita cantik itu. "Bentar ya, Ayah, Abang nyapa Surga-nya Rafka dulu."

Hanya kalimat sederhana, tetapi penuh makna. Tidak semua anak kecil bisa memahami arti menghormati orang tuanya, berbeda dengan Rafka yang sudah mulai mengerti bahwa surga terdapat di telapak kaki Ibunya. Setiap pagi pasti selalu menyapa dan tidak lupa memberikan ciuman di pipi untuk Ibunya.

"Selamat, eh, selamat apa, ya?" Anak laki-laki itu menggaruk kepalanya pelan, bingung akan berucap apa. Namun, tidak berapa lama ia kembali melanjutkan, "Selamat pagi, Ibun. Abang nggak tahu ini pagi atau masih malam, tapi intinya selamat pagi."

Dhira tidak bisa lagi menahan senyuman indahnya. Hatinya selalu menghangat bila putranya menyapa atau sekedar memberi kecupan di pipinya. "Iya, Abang. Sini, Ibun mau cium juga."

Tanpa berlama-lama, Rafka mendekat untuk mendapat kecupan dari Ibunya. Barulah setelah itu, ia kembali mendekat pada Ayahnya yang sedari tadi hanya mengamati interaksi anak dan Ibu itu. Senyuman masih menghiasi wajah tampannya.

"Nah, Ayah, tadi Abang nggak langsung bangun. Soalnya mata Abang tuh susah banget mau dibuka, kayak ada lemnya. Abang udah mau lanjut tidur tuh, eh suaranya datang lagi, sambil bentak. Abang takut deh, jadi langsung bangun." Anak kecil saat bercerita pasti berekspresi lucu, sama dengan Rafka. Wajahnya memperlihatkan bahwa sebenarnya ia masih mengantuk, tapi terpaksa karena takut.

Alzam mendekat, mengelus pelan kening putranya. "Abang mau tau cerita Ayah dulu enggak?"

Anggukan antusias serta binar mata menjadi jawaban atas pertanyaan Alzam. Anak itu membenahi posisinya, menghadap sang Ayah lebih leluasa. "Ayo cerita, Ayah!" serunya riang.

Dhira hanya duduk dan diam, memberikan anak dan Ayah itu waktu setelah beberapa hari harus menjaga jarak karena kesibukan Alzam. Melihat bagaimana Rafka yang begitu antusias memperlihatkan bahwa anak itu sudah menantikan hal ini sejak lama.

"Ayah dulu suka banget dimarahin sama Oma kamu."

Kening Rafka berkerut tipis, mengingat Omanya hanya satu dari Dhira saja.

"Almarhumah Oma, masa lupa. Kamu pernah datang ke sana loh, bawa bunga putih banyak banget," jelas Alzam. Memang sudah dari lama Alzam memperkenalkan almarhumah Mamanya pada sang Putra. Ia tidak ingin bila seseorang yang dulu menjadi cinta pertamanya itu terlupakan.

Setelah mengingat-ingat, Rafka mengangguk paham. "Nah, Oma kalau bangunin Ayah beda sama Ibun. Ayah juga nakal sih, suka banget bangun siang. Tapi dari sana Ayah tau seberapa sayang Oma sama Ayah. Setiap pagi rela bangun pagi buat nyiapin keperluan Ayah, habis itu masih lanjut bangunin Ayah yang emang susah banget bangunnya. Oma tuh kalau bangunin pakai cara sedikit kasar, sampai Ayah pernah nangis karena itu."

Mata Alzam mulai berkaca-kaca mengingat sosok Mamanya, wanita hebat yang sudah melahirkannya. "Tapi Ayah nggak pernah takut atau marah sama Oma. Alasannya kenapa? Karena yang dilakuin Oma demi kebaikan Ayah. Sama kayak bisikan Abang itu, dia bukan marah, tapi mau buat Abang bangun. Salat di sepertiga malam memang baik, Abang, jadi itu demi kebaikan Abang sendiri. Jangan takut, selagi itu demi kebaikan gak pa-pa."

Rafka menatap wajah Ayahnya lekat, hingga tiba-tiba menerjang tubuh Ayahnya dan memeluknya erat. "Ayah keren deh, kalau Abang pasti udah marah tuh sama Oma."

Helaan napas Alzam keluarkan sebelum membalas pelukan putranya. Rasa rindu kembali menghampiri hatinya, sudah lama juga ia tidak berkunjung pada Gerald. Tiba-tiba teringat kembali pada teman-temannya juga. Teman-temannya dulu bagaimana kabarnya? Sudah beberapa hari grup sepi, Alzam jadi merindukan mereka. Teman semasa SMA yang meninggalkan banyak kenangan abadi di hati.

"Sedihnya udah dulu, keburu subuh nanti."

Dan setelah itu, keluarga kecil itu mulai melaksanakan salat tahajjud secara berjamaah. Ketenangan hidup serta kebahagiaan akan selalu ada waktunya, tapi jangan sampai melupakan siapa yang sudah memberikannya.

.....

Rafka berlari menuju Dhira yang sudah merentangkan tangannya lebar, menyambut sang putra untuk masuk ke dalam dekapannya. Teriknya matahari tak menyurutkan senyum keduanya. Meskipun Dhira mamakai cadar, tapi dilihat dari matanya yang tertarik hingga menyipit menandakan jika wanita itu sedang tersenyum.

"Ibun," sapa Rafka sesaat setelah masuk ke dalam pelukan Dhira. Elusan di kepala serta kecupan yang didapat semakin membuat senyum Rafka melebar. "Ayo kita pulang! Abang udah nggak sabar mau jalan-jalan sama Ayah." Kedua mata anak itu penuh binar bahagia. Di belakang sana, Alzam lebih dulu masuk mobil. Memutarnya agar lebih mudah keluar area sekolah.

Dhira hanya mengangguk, lantas beranjak dari posisi jongkoknya. Berjalan beriringan bersama Rafka yang mulai berceloteh mengenai harinya selama di sekolah. Semua Rafka ceritakan secara runtut, tidak ada yang terlewat. Sampai saat Rafka harus menahan kentutnya karena sedang berdekatan dengan gurunya. Sungguh menggelitik perut Dhira.

Selama perjalanan, di mobil Rafka tertidur. Katanya, "Abang izin tidur ya, Ibun. Nanti biar bisa main bareng Ayah, udah kangen banget."

Dhira mengelus pelan kening putranya yang kini menjadikan pahanya sebagai bantal. Mengabaikan Alzam yang menyetir di depan, sedang keduanya duduk di tengah. Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, rasanya baru kemarin Rafka hanya bisa menangis saat popoknya telah penuh. Namun, saat ini, Rafka sudah bisa bercerita mengenai kesehariannya tanpa terkecuali. Ada perasaan tidak rela merambat ke hati, seakan takut jika nanti Rafka semakin dewasa dan sibuk oleh kegiatan sekolahnya.

Sekarang saja, ia sudah harus merasakan sendiri di rumah ketika Alzam bekerja dan Rafka bersekolah. Hanya sampai jam 10 pagi, tapi terasa begitu lama. Apalagi nanti, saat Rafka di jenjang SMP atau SMA, pasti lebih lama bergelut dengan kesibukan di luar rumah.

"Nanti jangan lupain Ibun, ya, Bang. Selalu jadi Abang yang setiap hari mencurahkan kasih sayang sama Ibun. Semoga tumbuh jadi anak yang hebat," bisik Dhira pelan. Berharap nanti saat Rafka sudah besar, ia masih menjadi wanita paling beruntung karena memiliki putra sepertinya.

Diam-diam Alzam tersenyum mendengar bisikan Dhira. Dalam hati ia juga meng-aamiinkan segala do'a yang sudah Dhira panjatkan. Semoga nanti, Rafka akan selalu menjadi sosok penyayang dan lebih memahami agama dibanding dirinya.

.....

jangan lupa tinggalkan komen dan vote yaa!

Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang