Chapter 3 🌸

19.3K 1.4K 4
                                    

Philippe menatap ke luar kaca jendela limousine yang dinaikinya dengan tatapan datar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Philippe menatap ke luar kaca jendela limousine yang dinaikinya dengan tatapan datar. Dia menghembuskan napasnya perlahan sebelum menoleh ke arah kedua orang tua beserta adiknya. Philippe beserta keluarganya baru saja mendarat di bandara internasional Incheon 15 menit yang lalu dengan pesawat pribadi milik keluarga Spencer. Dia bersama dengan keluarganya akan mengadakan acara pembukaan untuk salah satu hotel bintang lima yang dibangun oleh perusahaannya di daerah Gangnam, Seoul. 

Ya, Seoul! Dia awalnya tidak mau hadir dalam acara kali ini, tapi sang ayah---Robert Spencer yang memaksanya untuk hadir dalam acara pembukaan, karena ayahnya itu berkata kalau dirinya termasuk bintang utama dalam acara dan sebagai bintang utama dia tidak boleh sampai tidak hadir, karena itu akan mencoreng reputasi serta nama keluarganya. Jadi dia hanya bisa pasrah dan menerima takdirnya.

Philippe kembali menatap ke jendela mobil. Dia memandangi jalan raya kota Seoul yang terlihat padat. Tidak berbanding jauh dengan suasana jalan di kota New York, tapi bukan itu yang dia permasalahkan saat ini, melainkan wanita yang menyakiti hatinya di masa lalu tinggal di negara ini, di kota ini.

Stephanie!

Ya memang terdengar menyedihkan. Namun memang itu kenyataannya, dia masih belum bisa melupakan masa lalunya itu. Bagaimanapun juga Stephanie adalah satu-satunya wanita yang dapat menghangatkan hatinya, menembus dinding tebal yang dia pasang disekelilingnya. Hanya Stephanie yang membuat hidupnya lebih berarti, namun karena pengkhianatan wanita itu, Philippe sangat terluka dan membenci Stephanie. Dia memejamkan mata dan mengulang kembali memorinya pada saat kejadian itu.

***

Philippe sedang berbincang serius dengan salah satu tamu undangan di pesta malam itu ketika Stephanie berjalan menghampirinya dan berusaha menarik perhatiannya dengan menarik jas yang dia kenakan. Tentu saja sebagai tunangan yang baik, Ia berhenti berbicara dengan lawan bicaranya dan memilih memusatkan perhatiannya untuk Stephanie. "Phil ... aku sangat lelah, boleh aku ke kamar lebih dulu?" Philippe memandangi raut wajah Stephanie. Dia memang terlihat lelah. Mukanya sudah pucat dan sinar matanya yang biasanya cerah. Saat itu meredup.

"Kau tidak apa-apa? Apa perlu aku antar ke kamar?" Philippe menatap Stephanie dengan khawatir.

Stephanie menggelengkan kepala singkat dan menjawab. "Tidak perlu. Kau adalah host di pesta ini. Aku tidak mau kau mengecewakan tamu undangan disini dengan kepergianmu. Lagipula aku hanya butuh istirahat."

"Kau yakin?" Tanya Philippe sekali lagi. Sekilas Philippe melihat ada keraguan di wajah Stephanie, tapi detik itu Philippe melihatnya, detik itu juga ekspresi itu menghilang dan tergantikam dengan raut wajah yang menenangkan. Stephanie menggeleng dan tersenyum kecil walaupun senyumnya itu bukan senyum yang biasa Philippe lihat dan kenal. Senyumnya saat itu adalah senyum yang dipaksakan. "Baiklah kalau kau memaksa. Hati-hati ... sesampainya di kamar kunci pintunya. Aku akan menyusulmu kalau sudah selesai nanti." Stephanie mengangguk sedikit dan memeluk tubuh Philippe erat sebelum berbalik dan berjalan keluar area ballroom. Philippe memperhatikan punggung Stephanie yang menjauh. Sampai siluet stephanie menghilang dari pandangannya, kemudian dia kembali fokus ke acara pestanya.

Beberapa jam kemudian, akhirnya Philippe memutuskan untuk mengecek keaadan Stephanie apakah baik-baik saja atau tidak. Namun baru saja Philippe menginjakkan kakinya keluar dari lift, dia melihat sosok Nathan. Musuh Philippe sejak sekolah yang juga musuh kakak tiri Stephanie, Xavier.

Philippe awalnya ingin menerjang dan memberikan sapaan pada pria itu sebelum bertanya apa yang dilakukan Nathan di kamar hotelnya, tapi dia mengurungkan niat dan memutuskan untuk bersembunyi di balik dinding saat melihat Nathan tersenyum, menyentuh bibirnya dengan menggunakan tangan, lalu memperbaiki bajunya yang berantakan. Jasnya tersampir di tangan kirinya.

Beruntung Nathan tidak menyadari akan kehadiran Philippe disana dan berjalan melewatinya. Philippe bingung. Dia sungguh tidak mengerti apa yang terjadi. Apa dia salah lantai? Philippe melirik angka yang ada di atas lift untuk menjwab pertanyaan di dalam kepalanya. Lalu apa yang dilakukan Nathan di kamarnya? Philippe harus bertanya kepada Stephanie. Dia memutuskan untuk menemuinya dan berbicara padanya.

Baru saja Philippe ingin membuka pintu kamar hotelnya, ketika ponselnya berdering. "Halo? Ada apa Alex?" Philippe diam mendengarkan penjelasan oleh lawan bicaranya. Dahinya yang berkerut samar semakin lama semakin dalam dan tercetak dengan jelas, tangannya mulai terkepal dan giginya saling bergemeletuk tanda dia menahan emosi. "Baik aku ke kantor sekarang," ucapnya datar, memutus sambungan, dan berjalan pergi dari kamar hotelnya.

Dan malam itu juga dia tidak mau melihat Stephanie lagi.

***

"Philippe? Halo Philippe ... Apa kau tidak mendengarku?" Philippe kembali sadar dari lamunannya saat Lucy, adik perempuannya. Menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan wajah Philippe.

"Ya ada apa?" Lucy memutar bola matanya jengkel mendengar respon Philippe.

"Ya ampun apa yang sedang kau pikirkan kakakku tersayang? Begitu asyik dengan dunia kecilnya sampai tidak memerhatikanku." Gerutu sang adik dengan kesal. Dia menyilangkan kedua tangannya di atas dada dan melotot ke arah Philippe.

"Maaf, aku hanya sedang berpikir."

Lucy kembali mengibaskan tangannya di udara dengan ekspresi kesal. "Lupakan, ayo kita turun ... mom dan dad sudah turun lebih dulu."

"Kita sudah sampai?" Tanya Philippe sambil menoleh kesana kemari melihat suasana. Dan ternyata memang mereka sudah sampai di tujuan mereka.

"Sudah lima menit yang lalu Phily ... kau terlalu asyik dengan duniamu sampai dunia nyata kau lupakan begitu saja."

Philippe menoleh cepat ke arah Lucy. "Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi!" Philippe baru menyadari kalau dia membentak adiknya dan saat melihat raut wajah adiknya yang takut, dia langsung merutuki dirinya sendiri karena sudah lepas kendali dan memarahi adiknya yang tidak melakukan kesalahan apapun. "Maaf bukan maksudku untuk membentakmu .. hanya saja ..." philippe tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.

"Iya aku mengerti." Setelah berkata seperti itu Lucy keluar meninggalkan Philippe yang duduk dengan perasaan bersalah.

Lucy dan Stephanie adalah sahabat baik, mungkin karena umur mereka sama dan mereka berdua adalah teman sekelas, jadi hubungan persahabatan itu tidak dapat terhindarkan. Bahkan dia mengenal Stephanie berkat bantuan sang adik. Philippe masing ingat sekali ketika dirinya bertemu dengan Stephanie, saat itu dia masih duduk di bangku kuliah sedangkan Stephanie masih bersekolah, ditambah dengan hubungan Philippe bersama Xavier yang cukup akrab, akhirnya dia memutuskan untuk memilih Stephanie sebagai wanitanya.

Phily.

Phily adalah nama konyol yang Stephanie ciptakan untuk dirinya, tapi itu panggilan spesial Stephanie untuk Philippe. Dan dengan tipe Lucy yang suka menggoda, akhirnya Lucy juga mengikuti Stephanie dan mulai memanggil Philippe dengan sebutan 'Phily'. Hanya mereka berdua yang menyebut panggilan itu. Namun sejak Philippe dan Stephanie berpisah, Philippe melarang Lucy untuk memanggilnya dengan panggilan tersebut dan melarang Lucy untuk berteman lagi dengan Stephanie. Sejak itu juga hubungan Philippe dan adiknya Lucy tidak berjalan baik.

Dengan langkah berat, Philippe keluar dari limousine.

Dengan langkah berat, Philippe keluar dari limousine

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Truth Never Lie ✔ (DREAME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang