P R O L O G

1K 51 8
                                    


°°°°°

"Adek! Lihat sini, senyum pepsodent nya mana?"

Teriakan lantang sang Ibu sontak mengundang senyum merekah milik putra bungsunya yang kini duduk diantara tumpukan kado miliknya. Tepat didepannya terdapat kue ulang tahun yang besarnya melebihi tubuh mungil si bungsu.

"Bang Jiro coba senyum dikit! Mau foto ini. Astaga, itu Mas Hesa, Seno kamu iket aja tangannya biar gak gangguin Saka mulu. Yaampun Juna kok ngompol sih, Kak?? Bang Jevin tolong gantiin Adeknya dulu, awas itu ompolnya kena kue nya Riko nanti!"

Seorang pria paruh baya yang sejak tadi diam bersandar pada dinding sembari berkacak pinggang memperhatikan sang Istri yang sedari tadi tak hentinya mengomel, kini turut menegakkan badannya. Kamera sudah siap, hanya dengan sekali klik sebuah foto keluarga yang begitu ramai akan segera tergantung menghiasi ruang tamu mereka. Tapi sejak tadi ada saja kendala yang justru membuat Kana, sang Istri tak hentinya mengusap dada tabah.

"Yah, bantuin itu anakmu ngompol lagi."

Kana menyerah, ia memilih mendudukkan bokongnya pada sofa empuk disana, membiarkan ketujuh Anaknya masih sibuk dengan dunianya masing-masing.

"YANG GAK BISA DIATUR NANTI TIDURNYA AYAH KELONIN!"

Bak sebuah mantra ajaib, ketujuh putranya diam senyap mulai merapikan posisi mereka, bahkan Juna sudah berganti celana dengan Jevin yang turut duduk rapih disamping sang Adik.

Pandu tersenyum penuh bangga melirik Istrinya yang kini justru mengabaikannya bahkan sudah beranjak setelah usai merapihkan rambutnya.

"Ayo, gak mau ikut foto?" Ajak Kana melirik sang Suami.

"Ya mau, lah!"

°°°°°

"Mas Hesa, Bunda titip Adek-adek ya semisal Bunda pergi-"

"Bunda ngomong apa sih? Bunda gak mau lihat Hesa lulus? Bunda gak mau nemenin Saka sama Juna masuk SMP? Bunda gak mau lihat Riko masuk TK? Atau, Bunda udah bosen ya sama pertengkaran Seno, Jiro, sama Jevin??" Pertanyaan beruntun lolos menerjang sang Ibunda yang kini memijat pelipisnya pening.

Padahal niat awalnya hanya ingin berpesan jikalau sewaktu-waktu Tuhan berkehendak memanggilnya lebih dulu sebelum semua impiannya terwujud. Wanita yang akrab dipanggil Bunda oleh ketujuh putranya itu kini terbaring lemah diatas ranjang, dengan selang oksigen yang melingkar membantunya bernafas normal.


Helaan nafas menguar sebelum lisannya kembali bersuara, "umur nggak ada yang tahu, Mas. Bunda bilang gini buat jaga-jaga—"

"Gak mau tau, Bunda harus sembuh!"

°°°°°

Suara sirine mobil polisi mengalun nyaring diantara gemericik air hujan yang turun begitu deras. Beberapa orang berdesakan demi memuaskan rasa penasarannya, mengintip sebuah mobil sedan yang hancur tak berbentuk, terbalik dengan dua penumpang didalamnya yang tergeletak bersimbah darah. Dalam sekejap, aspal bertabur air hujan perlahan digantikan pekatnya darah merah yang merembes keluar memenuhi jalanan.

"AYAHH! BUNDAA!!"

Teriakan kencang lolos menggema menerobos berisiknya hujan. Tangis pilu keempat remaja yang kini terduduk lemas diatas aspal basah dengan sorot mata sendu itu menggema penuh sesal.

Setelah susah payah menerobos beberapa polisi yang mengamankan, kini keempatnya hanya mampu meraung diiringi isak tangis serta air mata yang luruh menyatu dengan rintik hujan.

Si sulung mengepalkan tangannya di tengah dekapan hangatnya pada ketiga adiknya. Sorot sendu itu kian menajam ketika menyadari dalang dari kecelakaan kedua orang tuanya.

Di sisi lain, dua bocah SD dengan balutan jas hujan kresek berwarna biru dan kuning itu masih setia menggenggam jemari mungil sang Adik, raut kebingung dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya menyatakan jelas mereka tengah ketakutan saat ini.

Tak kalah takut, bocah berusia empat tahun yang saat ini jemarinya tengah digenggam erat oleh kedua Kakaknya itu turut meneteskan bulir beningnya membasahi pipi gembil miliknya. Jas hujan berwarna hijau milik si bungsu bahkan robek akibat berlarian panik mengikuti langkah kaki kedua Kakaknya yang panik tak menemukan jejak sang abang.

"Juna, mamas sama Abang dimana? Huwaa!!" Jerit bocah SD berbalut jas hujan berwarna kuning itu. Ketiganya hanya mampu berdiri lunglai ditengah riuhnya manusia yang sibuk berlarian guna melindungi diri dari dinginnya rintik hujan yang kian melebat.

"Saka jangan nangis! Riko nanti ikut nangis kalo kamu nangis, nanti kita dimarahin Abang." Meski mengatakan demikian, nyatanya bocah itu turut terisak mendengar teriakan ketakutan Kakak kembarnya. Jemari mungilnya masih setia menggandeng sang Adik yang kini ikut merengek ketika melihat kedua Kakaknya menangis.

"Kakak, Abang cama Mamas dimana? Iko akutt..."

Ketiga bocah itu menangis bingung, mereka kehilangan jejak Abangnya. Jas hujan kresek yang terpasang apik pada masing-masing tubuh mungil mereka tampak begitu kontras dengan suasana gelapnya malam. Ketiganya masih terdiam dengan tangis yang malah beradu. Mereka ketakutan.

°°°°°

⚠️WARNING⚠️

- Alur cerita murni dari pemikiran author!
- Tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan asli idol! Cerita ini hanya hasil karangan saya, jadi jangan samakan dengan kehidupan asli mereka!
- Disini seluruh member usianya aku ganti yya~
- Cast akan bertambah seiring berjalannya cerita.
- Author ini masih belajar, jadi maaf banget kalo ada salah kata ato salah apa nantinya, boleh banget buat di komen.
- Maaf juga kalo tulisannya masih acak acakan.
- Kritik dan saran diterima dengan baik. Aku ga gigit ko.
- Vote dan komen-nya buwat semangat aku heheee

Keluarga Cemara [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang