Fatimah terbangun di ruangan kamar yang tidak asing. Ibu mertuanya memberikan secangkir teh hangat.
"Bang Daus kemana? " tanya Fatimah.
"Dia gak apa-apa cuma luka di kepala aja, " jawab Ibu Mertua Fatimah. Ia ikut duduk di samping ranjang Fatimah. Ia turut bersyukur pada Hayang yang sudah berbaik hati pada menantu dan anaknya.
"Apa yang terjadi Buk? " tanya Fatimah masih kebingungan.
raut wajah ibu mertuanya berubah masam. Fatimah pun semakin bingung, sebelumnya ia tak pernah mengalami keanehan ini.
"Nak, akhir-akhir ini, di kampung sedang tidak baik-baik aja. " Ibu Mertua Fatimah pun menatap rumahnya, pikiran nya menjelajahi pertanyaan Fatimah dengan ragu. Ia pun akhirnya hanya bisa menghela napas berat.
Fatimah menatap perban yang sudah merangkul erat tangannya. Menatap mertuanya yang tampak ragu ia pun ikut berpikir dan berusaha mengingat apa yang terjadi di malam itu. Pengendara motor tanpa kepala yang mengejar mereka, seakan itu hanyalah mimpi belaka.
Faktanya ingatan itu masih tergambar sangat jelas, bayangan malam yang ia lalui bersama bang Daus, dan darah yang mengucur deras dari kepala dan bola mata pengendara itu.
"Mungkin itu hanyalah sebuah kebetulan saja, " gumam Fatimah masih diiringi rasa ragu untuk bercerita.
Tak beberapa lama Ibu mertua Fatimah akhirnya berbicara, "Kamu harus hati-hati jangan sampai kecelakaan lagi. "
"Kalau bukan karena Hayan temannya Daus, kalian gak mungkin ada disini, " tambahnya.
Fatimah mengangguk, "Bang Daus lagi di mana Buk? "
"Itu lagi ngobrol sama Hayan di telepon, " jawab Ibu mertuanya.
"Belakangan ini di desa, banyak warga yang melakukan sholat dan doa tolak bala atau musibah, jadi hati-hati jangan sembarangan keluar apalagi di malam hari, " tambahnya.
"Iya Buk, terima kasih, aku udah agak mendingan sekarang. " Fatimah ikut duduk disamping ibu mertuanya. Mereka berpelukan cukup lama menumpahkan semua rindu yang ada di dada.
****
Sementara itu Daus bercakap-cakap dengan Hayan di depan teras rumah. Samar-samar ia melihat bayangan seorang pria yang terus menatap ke arahnya.
"Hahaha, iya Yan bener banget kamu! " ucap Daus sembari tertawa.
"Iya untungnya aku nemuin kalian dengan keadaan selamat! " ucap Hayan.
"Ada-ada aja, jangan terlalu dipikir nanti cepet tua lo" balas Daus.
"Karena .. mm zzz... "
Tiba-tiba suara handphone Daus tidak menimbulkan suara. pria dari kejauhan itu masih menatap Daus yang membuatnya merasa merinding.
"Sial ni Handphone kenapa si? " ucapnya.
Namun suara serak terdengar jelas di telepon.
"AKU INGIN KALIAN SEMUA MATI... "
"Yan? Hayan?! " panggil Daus.
suara itu masih terus terdengar Daus pun mematikan handphone nya. napasnya tersenggal, ia membuang handphone ke atas sofa. "Pasti orang iseng sedang gangguin Hayan. "
Fatimah berjalan mendekat, "Ada apa Bang? "
"Itu ada orang iseng yang nakut- nakutin kita! " Daus pun tertawa pelan. "Toh aku ngerasa gak punya salah kok."
"Kalian harus hati-hati Nak, ini pertanda tidak baik, " ucap Ibu Mertua kepada mereka.
"Jangan sesekali kalian keluar malam lagi, dan jangan pernah mendekati kolong dapur. "
"Emang ada apa Bu di kolong dapur? " tanya Daus kebingungan dengan sikap ibunya.
Ibunya hanya berjalan pergi meninggalkan mereka tanpa mengucapkan kata-kata, mereka juga kebingungan dengan keadaan rumah yang sunyi tanpa ada keramaian.
Malam itu pun akhirnya ia putuskan untuk tidur disana sebelum menjelang pagi. Keadaan Kampung Pulo sangat sunyi, tak ada satupun orang yang beraktivitas malam hari. Apa itu hanya karena hantu pengendara itu? Masih belum ada yang tahu. Kenapa arwah itu membenci desa ini atau hanya karena sekedar menampakkan diri.
Jauh di sana Hayan berusaha kembali menelpon Daus namun handphone nya tidak berfungsi. "Sebenarnya apa yang terjadi? Belakangan ini aku jadi ber firasat buruk terus, " gumamnya.
"Semoga gak terjadi apa-apa. "
****
"Pak Harno tumben datang ke sini, " ucap Hayan sembari berjabat tangan.
"Gimana kerjanya lancar? "tanyanya.
" Lancar Pak, lama gak jumpa, bapak kapan ke kampung lagi? " tanya Hayan.
Harno pun menyuruh Hayan duduk di kursi taman. Hayan pun mengiyakan hal tersebut.
Tarno yang lewat saat itu hanya menggeleng pelan, "Loh... Dikira kerja kok ngobrol, " gumamnya.
"Lastri mana? " tanya Harno pada Hayan.
"Lastri lagi cuti pak, bapak suka sama Lastri? "
Hayan sedikit terkejut, mendengar nama Lastri. Dia adalah perawat yang baik hati juga paling cantik di rumah sakit. Ia pun pernah menaruh hati Pada Lastri.
"Owalah gak kok, saya cuma ingin menanyakan alamat teman saja, " jawab Harno dengan tawa kecil. Ia menepuk pundak Hayan. "Ya sudah lanjut aja kerjanya. " Pak Harto bergegas pergi meninggalkan Hayan.
Amarah membara di puncak hatinya, dia sudah menutupi semua rencananya tapi untuk mendapatkan Lastri? sungguhlah tidak mungkin. Wanita itu terus menjauhinya, "Argh wanita sialan! Awas aja kamu, " ucapnya dalam hati.
seakan bara panas datang merasuk ke dalam hatinya. Harno menelpon Lastri dari kontak rumah sakit. Disana ia menanyakan tawaran yang ia berikan pada Lastri, dan sekali lagi ia pun menolaknya.
"Kenapa kau tidak mau Lastri? Ini kesempatan bagus untuk kamu dan saya, " ucap Harno dengan nada yang menahan amarah.
"Maaf saya gak bisa pak," ucap Lastri terbata-bata.
Tak kuasa ia pun terisak dan hanya bisa pasrah pada Tuhan. Hutang yang dulu dipikul ibunya itu kini berdampak besar untuk adiknya yang masih sekolah. Harno terus mendesak Lastri untuk berhubungan namun ia takut akan mengkhianati kekasihnya.
"Ayolah Lastri, demi adik kamu... " bujuknya sekali lagi.
"Maaf Pak, saya tidak bisa melakukan hal seperti ini, " ucapnya dengan menahan tangis.
Teringat Lastri yang dulu sering membantu ibunya untuk melunasi hutang dari Pak Harno, namun setelah ibu satu-satunya meninggal hanya tersisa dia sebagai tulang punggung dan juga adiknya yang masih sekolah menengah pertama.
"Ayolah Lastri ikuti saja, saya tunggu kamu di rumah saya. " Begitulah ucap Harno.
Ini bukan tentang malam yang merajuk atas kehendak hatinya, namun Lastri, tugasnya sebagai perawat yang sering mendapatkan pelecehan terhadap pasien-pasiennya. Hanya bisa menangis malam ini untuk kesekian kalinya. Ucapan Pak Harno terhadap dirinya begitu menyakitkan, ia tak ingin melakukan ini, namun kekasihnya juga sudah membantu banting tulang demi melunasi hutang yang sangat besar biayanya. Lastri sudah tidak sanggup lagi, dengan apa yang dia alami. Terkadang ingin ia akhiri saja semua ini, Mungkinkah ia harus menyerahkan tubuhnya pada pria tua di depannya? Ah sungguh menjijikkan nya dia... apa yang dia rasakan hanyalah kesedihan dan ketakutan. Harno mungkin saja akan menyakiti adiknya jika ia tak segera melakukan sesuatu. "Aku benar-benar harus bagaimana? " batin Lastri.
Akankah hidupnya akan berakhir sampai disini saja. Semua pertanyaan Lastri berkutat dalam pikirannya. Sembari menatap adiknya ia pun tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retakan di Jalur Undangan
Terror18+ Up setiap Jumat! Cerita ini adalah rahasia kegelapan! Jangan lupa untuk memberikan support dan komentar agar sang penulis menjadi lebih baik. Pada hari Selasa, jam menunjukkan pukul 11.35 malam. Seorang wanita berjalan pelan di kegelapan malam...