8. Surga Di Balik Gaun Pengantin

1K 271 107
                                    

Happy baca 💜
Sorry for typo
.
.
.
.

Dua kali pergantian langit, dari terang bertransformasi menjadi gelap, lalu kembali cerah, Hawa pasrah saat Elbayu membawanya ke rumah laki-laki itu.

Di rumah besar bergaya Mediterania dengan ruang tamu beraura hangat, Hawa duduk dibarengi detak jantung yang hiperaktif. Daripada takut, dia lebih gugup akibat ditatap dua orang asing yang tidak lain adalah orangtua Elbayu.

"Hawa usia berapa, Nak?" Adalah preambul Rembulan setelah diam merambati ruang tamu.

"Dua puluh tahun, Tante," jawab Hawa singkat. Matanya terpatri pada karpet merah yang melapisi lantai marmer. Enggan menatap balik lawan bicaranya.

"Sudah lama kenal Elbayu, Nak?"

Yang ditanya memberi gelengan. Hawa tidak berusaha basa-basi atau membangun keakraban. Dia tipe gadis yang apa adanya, enggan berpura-pura, jika tidak sangat terpaksa seperti tempo hari saat menjadi Clara.

"Tante dan Om ...." Jeda ucapan Rembulan. Matanya saling bersitatap dengan Surya sejenak, lantas menyambung kalimat, "Kami sebagai orangtuanya Elbayu, sudah tahu yang terjadi antara kalian."

Hawa sedikit mengangkat pandangan. Matanya jatuh pada tatapan Elbayu, lelaki itu memberi anggukan samar - yang cukup menciptakan prolog di benak Hawa ; jadi, apa sekarang dia sedang disidang oleh keluarga laki-laki yang tidak sengaja menebar benih di tubuhnya?

"Bagaimana perasaan Hawa sekarang?" Nada bicara Rembulan dibuat selembut mungkin agar Hawa tidak merasa terintimidasi. Lain dari sang istri, Surya Atmadja lebih banyak diam, menyimak umpan yang ditebar istrinya.

"Hawa enggak tahu, Tante." Adalah jawaban Hawa. Ditanya bagaimana perasaannya saat ini? Apa dia boleh mengatakan jika sekarang dalam fase; hilang harap dan kacau. Semua impian nya hancur tidak bersisa. Mimpi dan cita-citanya terancam tidak bisa digapai akibat tumbuhnya kehidupan lain di dalam dirinya.

"Hawa sudah bicara sama orangtunya?" Daripada mencecar, obrolan ini lebih mirip sesi konsultasi antara pasien dan psikologis klinis. Rembulan harus melakukan pendekatan, alih-alih menuding gadis yang baru memasuki babak dewasa secara usia itu.

"Hawa enggak tahu gimana harus bilang ke ayah sama bunda, Tante." Raut Hawa berubah pasi, membayangkan respons kedua orangtuanya sudah lebih dulu membuatnya dicekam takut dan was-was. Rasanya Hawa tidak punya keberanian untuk datang menemui mereka.

"Hawa mau bicara berdua sama Tante?" Tanya Rembulan lagi. Tanpa aba-aba tangannya parkir di bahu Hawa, memberi usapan lembut. Sang gadis mengangguk dalam tunduk.

"Kalau begitu papa dan Bayu ke teras depan. Hawa silakan bicara apa pun dengan mamanya Elbayu, ya." Surya beranjak, kalimatnya menyiratkan ajakan agar Elbayu mengikuti langkahnya ke teras depan.

Kepergian Surya dan Elbayu menjadi kesempatan bagi Hawa. Tangisnya pecah di dekat Rembulan. Isakannya dibekap dengan kedua tangan.

"Enggak papa, Hawa boleh nangis, jangan ditahan, Nak." Rembulan sigap beri usapan menenangkan. "Setiap manusia pasti punya titik lelahnya masing-masing, Hawa bebas kalau mau nangis, sedih atau kecewa." Pengimbuhan yang menambah volume tangis Hawa.

"Hawa enggak mau hamil, Tante. Hawa masih mau kuliah." Tangannya mencengkram erat perutnya sendiri saat bicara. Bersaman perasaan Rembulan yang seperti diperas habis-habisan. Nyeri dan sesak menyaksikan pemandangan di depan matanya. Masa depan gadis di sebelahnya rusak karena kesalahan putranya sendiri.

"Yang terjadi sudah enggak bisa diputar ulang, Nak. Mau disesali seperti apa pun, enggak akan mengembalikan semuanya seperti sebelumnya." Rembulan larut dalam sentimentil. Sepasang irisnya refleks berkaca-kaca.

EPIPHANY [ Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang