Nimia mengamati pergelangan tangannya tanpa berkedip.
Sungguh menarik melihat bagaimana darah kini meluncur keluar dari urat nadi yang baru saja disayatnya. Bukan pertama kalinya Nimia melakukan hal ini, menyayat pergelangan tangannya sendiri seperti itu, tapi tetap saja, merasakan kehangatan mengalir keluar dari pergelangan tangan layaknya aliran sungai yang berdenyut, terasa memukau.
Ia merasa seakan sedang berada di pinggiran tebing. Berjalan dengan dua tangan terpentang ke samping menjaga keseimbangan. Akankah ia jatuh, akankah ia bertahan. Akankah setelah bertahun-tahun, akhirnya ia ceroboh dan memotong terlalu dalam? Akankah hari ini menjadi hari terakhirnya menatap kehidupannya yang menyedihkan? Hari terakhirnya merasakan kehangatan itu mengalir keluar dari tubuhnya dan menyatu dengan tanah?
Hanya memikirkan hal itu membawa sedikit cahaya dalam hidupnya yang kelam.
Namun perlahan aliran darah itu perlahan memelan.
Nimia menyandarkan kembali punggungnya melawan dinding berubin yang dingin di kuil Dewi Fortuna. Rupanya Sang Dewi memutuskan sekarang belum waktunya untuk pergi.
Nimia memejamkan matanya. Membiarkan dengungan mengaburkan yang selalu muncul setiap ia mengalirkan darahnya membawa kesadarannya menjauh dari tempat itu. Ia memerlukan dengungan itu. Hari ini terutama.
"Nimia!"
Suara Nona Mudanya terdengar.
Nimia buru-buru membuka matanya. Dengan tergesa-gesa, gadis itu merobek sedikit ujung gaunnya yang kumal dan menggunakannya untuk membalut pergelangan tangannnya.
Diikatkannya kain itu seerat mungkin menggunakan gigi, berhati-hati agar tidak meneteskan darah ke gaun yang dikenakannya. Ia tidak ingin Nona Mudanya bertanya. Bukannya Nona Mudanya akan mempedulikannya atau semacamnya, ia hanya tidak ingin terkena omelan.
"Nimia!"
Nimia melompat berdiri ketika suara teriakan Nona Mudanya terdengar lagi. Mungkin terlalu cepat, pandangan gadis itu seketika memudar. Nimia menyandarkan bahunya melawan dinding kuil agar tidak terjatuh.
Mungkin kali ini ia memotong terlalu dalam dan mengeluarkan terlalu banyak darah. Perut Nimia terasa mual sekarang. Bukan saat yang tepat ketika ia hendak menonton binatang dan pria saling membunuh di arena.
"Lekas, Nimia!" Nona mudanya melongokkan wajahnya yang cantik dari pinggir ruangan. Mukanya yang masam terlihat kabur dalam pandangan Nimia.
"Ayah sudah menunggu diluar. Bisakah kau bergegas?"
Nimia dengan patuh berjalan mengikuti wanita itu. Lady Hersilia Vonones. Putri tunggal dari Paulus Vonones, seorang bangsawan dan juga salah satu penyelenggara pertandingan paling brutal di Kerajaan mereka.
Gaun biru Lady Hersilia melambai di belakang punggung wanita itu ketika berjalan. Kilauan bros emas yang tersemat di salah satu pundak wanita itu membutakan mata Nimia sejenak ketika tertabrak sinar matahari. Mereka kini sudah berdiri di depan kuil. Nimia memicingkan matanya tanpa memperlambat langkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Songbird [TAMAT]
Historical FictionHistoric Romance|| Gladiator Era|| Dewasa|| Full version available di Karyakarsa|| Nimia menatap wajah Paulus yang menindih di atas tubuhnya. Pria itu berumur 40-an, dengan wajah kurus dan garis rambut yang mulai mundur. Dahinya yang lebar berkerin...