Penjaga itu berteriak, "Serahkan pedangnya padaku, Tahanan!"
Sang tahanan tidak membalas. Pria berbadan kekar itu berdiri dengan kaki tanpa alas di atas pasir yang panas, menghembuskan napasnya melewati tenggorokannya yang kering.
Matahari membakar bahunya yang telanjang. Ia bisa merasakan setiap butir dari pasir yang ada di bawah kakinya. Keringat yang membasahi pergelangan tangan dan kakinya yang terbelenggu oleh rantai berkarat membuat kulitnya terasa pedih. Tapi tangannya terasa hidup, melekat pada gagang pedang tumpul yang bernoda darah.
"Heh! Kembalikan pedangnya!" Sang Penjaga mengulangi perintahnya. "Apakah kau tuli? Kau sudah mengacaukan pertunjukan."
Pria itu hanya menatap dengan pandangan berkaca-kaca. Suara Sang Penjaga terdengar seakan datang dari bawah air.
"Serahkan. Pedangnya. Sekarang." Penjaga itu melangkah maju dengan tangan terjulur ke depan.
Satu sabetan. Pria itu memotong tangan angkuh Sang Penjaga.
Teriakan terdengar. Cipratan darah berkilauan di bawah terik matahari. Lebih banyak penjaga kini memasuki arena.
Pria itu sudah lama sekali tidak memegang pedang. Bertahun-tahun mungkin. Entahlah. Terlalu lama untuk mengingat semuanya. Ia mengira bahwa ia sudah melupakan bagaimana rasanya, tapi ia sudah salah. Semua kembali dengan cepatnya. Nikmatnya beban pedang dalam genggaman tangannya, gigitan logam ketika menabrak tulang, suara kibasannya, iblis hitam yang mengambil alih dan membisik ke dalam telinganya.
Bunuh. Bunuh mereka semua.
Pria itu menyambut penjaga pertama yang menyerang dengan kegembiraan yang liar.
Daging bertemu dengan gesekan tumpul dari pedang. Ia membabat setiap otot, merasakan tubuhnya menegang layaknya anak panah yang tertarik, tatapan penuh teror yang muncul dalam mata penjaga ketika ia menarik gagangnya keluar, ia menikmati semuanya.
Penjaga dengan pelindung dada dan pedang tajam yang angkuh, pria itu berpikir. Tidak ada yang mengira bahwa seorang budak bisa sekuat dirinya.
Dua tusukan, pria itu merubah penjaga menjadi tumpukan daging yang berkelojotan di atas pasir.
Semakin banyak petugas masuk ke dalam arena. Mengabur dalam pandangan pria itu layaknya bayangan dalam kegelapan. Satu lagi penjaga mengerang ketika logam tumpul mengunyah pahanya. Sebuah jeritan panas yang membuat udara terasa semakin berat.
Oh, betapa pria itu menikmati semuanya, melompat ke pelindung dada yang lain, ppedang menyelinap dengan akuratnya, penjaga lain jatuh. Teriakan lain terdengar.
Tidak cukup. Tidak cukup. Iblis dalam benak pria itu menjerit. Bawakan lebih banyak. Bawakan kematian.
Rasa pedih yang samar terasa di punggungnya ketika sebuah pedang memotong cukup dalam. Pria itu tersenyum dan membalik, membantai dengan buasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Songbird [TAMAT]
Historical FictionHistoric Romance|| Gladiator Era|| Dewasa|| Full version available di Karyakarsa|| Nimia menatap wajah Paulus yang menindih di atas tubuhnya. Pria itu berumur 40-an, dengan wajah kurus dan garis rambut yang mulai mundur. Dahinya yang lebar berkerin...