Part 2 ; Dina dan Naren (?)

10 6 6
                                    

Langkah Sandi berjalan pelan menuju pintu kelas untuk bertemu seorang perempuan bernama; Dina. Dia, sosok masa lalu bagi laki-laki itu. Namun, kedatangan Dina ke kelas Sandi terdengar menyeramkan.

Jujur saja, pandangan Naya langsung berubah. Ia yang tengah fokus membaca sebuah novel pun, menghentikan kegiatan tersebut sebentar. Demi melihat mereka yang tengah melakukan apa.

"Ngomong-ngomong, sore di rumah, kan?" tanya Dina.

"Iya, gua di rumah. Kenapa, Din?" balas Sandi bertanya. Tubuhnya, ia sandarkan kepada pintu. Membuat, orang-orang berjalan ditengah-tengah antara dirinya dan Dina.

"Mau main ke rumah lu. Bosan gua di rumah terus," timpalnya yang membuat kening Sandi mengerut.

Laki-laki itu, langsung menegakkan tubuhnya. Ia pun memandang ke dalam kelas sebentar, melirik Naya yang tengah memperhatikannya di sana.

Memangnya, ia tidak tahu. Jika perempuan itu, mulai meliriknya dari mulai melangkahkan kaki untuk bertemu Dina.

"Kayanya," balas Sandi menggantung perkataannya. Ia pun melihat ke arah Dina sekali lagi. Memandang wajah perempuan itu yang terlihat lebih cerah dari pada di masa lalu.

"Kayanya apa?" sambung Dina, ia pun memandang Sandi yang tiba-tiba memalingkan wajahnya ketika ditatap balik olehnya.

"Ngga bisa, Din. Kalau pun lu mau main ke rumah gua, gua ajak Naya. Dia, kan, harus sama gua terus. Lu tahu itu, kan?" balasnya membuat Dina menghela napas.

Perempuan itu menganggukkan kepalanya pelan. Matanya memandang ke dalam kelas, melihat Naya yang tiba-tiba fokus kembali ke novel yang tengah dipegangnya itu.

"Oke, ngga papa. Gua balik kelas dulu, ya, bentar lagi Kimia bakal masuk," kata Dina. Ia pun langsung membalikkan badannya untuk pergi meninggalkan Sandi di depan pintu kelas; 11 IPS 2.

Naya menghela napas. Sebenarnya, ia kasihan dengan Dina. Perempuan itu, dulunya teman dekatnya dikarenakan satu ekstrakurikuler. Namun, akibat kejadian hal ini. Dia memilih keluar dan meninggalkan kesukaannya itu.

Ya, Dina menyukai jurnalistik. Ia pun sama. Namun, dikarenakan Sandi dekat-dekat dengannya dan perempuan itu merasa cemburu, hanya bekas mantan. Jadilah, Dina memilih untuk keluar.

"Nay, mau ke mana?" tanya Sandi, ia mencegah Naya yang akan pergi melewatinya begitu saja. Tanpa, melihat ke arahnya.

"Kepo!" balas Naya sedihku cetus. Ia pun, langsung pergi meninggalkan laki-laki itu di sana. Berjalan menjauhi kelasnya yang masih terbilang sepi. Dikarenakan, waktu istirahat masih berjalan.

"Aih, dia kenapa, sih? Berubah-ubah," gumam Sandi dengan memandang pugung perempuan itu. Mengembuskan napasnya, ia pun langsung mulai mengikuti dengan jarak yang lumayan jauh.

"Nay?"

Naya sedikit terkejut. Baru saja, dia akan masuk ke dalam kamar mandi perempuan. Namun, akibat suara seseorang membuatnya menghentikan langkahnya.

"Eh, Naren. Kenapa?" balas Naya, ia pun kembali memundurkan tubuhnya. Menjaga jarak dengan kamar mandi, agar tidak memberikan kesalahpahaman pada orang-orang yang berlalu-lalang ke sana ke mari.

"Ngga papa. Sore ini, lu di rumah?" balas Naren bertanya. Ia pun memandang wajah perempuan itu yang terlihat sedang berpikir.

"Ah, lu lupa? Gua ngga punya rumah. Kalau rumah bangunan, sih, ada, tapi rumah untuk support syistem kayanya ada," sambung Naya tidak jelas.

Mendengar itu, Naren menggelengkan kepalanya pelan. Bisa-bisanya, Naya berkata seperti itu.

"Iya, sih, ngga salah. Kalau begitu, biar gua buatkan rumah bangunannya mau?" tawar Naren.

Naya menggelengkan kepalanya. "Bercanda, Ren. Sore ini, gua ada, kok, di rumah."

"Oke, siap. Nanti mau dibawakan apa sama gua?" tanya Naren sekali lagi. Niatnya, ia ingin bertamu ke rumah perempuan itu untuk bertanya-tanya perihal tugas jurnalistik yang baru saja diberikan oleh ketuanya, yang merupakan kakak kelas mereka.

"Ngga usah. Kalau mau datang, datang aja. Lagi pun, kita mau kerjain jurnalistik, kan, ya?" balas Naya.

Naren menganggukkan kepalanya, ia pun tersenyum tipis. "Iya, itu. Oke, deh. Eh, sori, lu mau ke dalam sana, ya? Gua jadi ganggu niat utama lu apa."

"Ngga papa, Ren, santai aja. Lagi pun, gua mau cuci tangan doang."

Naren tersenyum tipis. "Oke, deh, kalau begitu. Gua pergi dulu, ya, mau ambil tugas yang di Kak Fandy."

"Iya, siap, titip sekalian, ya," balas Naya yang mendapat anggukan singkat dari laki-laki itu.

"Gua duluan, Nay," kata Naren. Setelah itu, ia pun pergi meninggalkan Naya di sana.

Melihat kepergian Naren, barulah Naya untuk masuk ke dalam kamar mandi. Sebenarnya, niat awalnya bukan untuk mencuci tangan. Melainkan, untuk buang air kecil. Sudah lama, ia menahan itu. Makanya, ia langsung berlari masuk ke dalam.

Setelah beberapa menit, ia pun telah selesai dengan niat awalnya itu. Langkahnya berjalan ke arah wastafel. Matanya pun memandang ke arah sana. Senyuman tipis, terpancar indah di wajahnya.

Naya bersyukur, karena ia bisa hidup dengan tenang. Walaupun, rumahnya tidak benar-benar utuh dikarenakan kepergian ayahnya yang entah ke mana. Lalu, ibunya yang juga bekerja di tempat asing.

"Em, kabar Mama gimana, ya, di sana," gumam Naya.

Bisa dihitung, ia sudah tidak bertemu dengan ibunya itu. Mungkin, lima tahun atau enam tahun lamanya. Ah, kira-kira ibunya itu merindukan dirinya, tidak, ya?

Drt... drt...

"Aih, siapa, sih?" lanjutnya begitu kesal. Namun, ia pun langsung membuka ponselnya. Melihat, siapa yang menghubunginya di kondisi seperti ini.

"Sandi," lirihnya pelan. Ia pun langsung mengangkatnya, matanya memandang ke arah lain. Langkahnya pun meninggalkan wastafel di sana untuk duduk di tempat yang ada di kamar mandi sekolahnya.

"Kenapa, San?" tanya Naya ketika panggilan telah tersambung.

"Jangan lama-lama di sana. Sebentar lagi, guru akan masuk." Setelah mengatakan hal itu, Sandi pun mematikan ponselnya secara sepihak.

Naya menghela napas. Ia sadar, laki-laki pasti mengetahui tentang percakapan dirinya dengan Naren beberapa waktu yang lalu. Dan, Sandi melakukan panggilan itu. Untuk memastikan dirinya tengah sendiri atau ada orang lain yang tengah menemaninya.

"Sandi, Sandi. Kalau mau cemburu, tuh, bilang, ya. Ngga usah begini. Gua, kan, yang ke bawa perasaannya," lanjut Naya. Setelah itu, ia pun bangkit. Memasukkan ponselnya ke dalam kantung baju.

Langkahnya pun meninggalkan kamar mandi. Matanya memandang ke sekitar. Teman-temannya masih berada di luar kelas. Belum ada yang masuk, otomatis guru-guru belum datang dan mulai mengajar.

"Eh, Nay!"

Naya menghentikan langkahnya, matanya memandang seseorang yang tiba-tiba memanggilnya. Keningnya mengerut.

"Kenapa?" balas Naya tersenyum tipis. Rupanya, yang memanggilnya ini Nada; teman terdekatnya.

"Dari kamar mandi, Nay?" sambung Nada.

Naya menganggukkan kepalanya. Ia pun memandang ke arah kamar mandi sekilas. "Iya, dari sana. Lu dari mana?"

"Taman belakang. Biasa, ketemu dia dulu."

"Aih, dianya siapa, sih? Lu suka ngga pernah bilang ke gua, perihal dia siapa."

"Nanti, gua cerita, Nay."

"Oke, gua tunggu."

★★★

[ Sabtu, 2 September 2023 ]

SELENJANG AMBIVALEN [ END ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang