2. Baru Sadar

108 28 8
                                    

"Kamu baik-baik saja, Nak Baim?" tegur Ibu Mulyani padaku. Mata wanita tua yang sudah ada keriput di kelopaknya memandang aku dengan lekat. 

Aku yang masih syok dengan penuturan wanita itu hanya bisa menggeleng. Jujur saat ini napasku terasa sesak. Benar-benar sangat sesak. Sepertinya asma Ibu Mulyani justru malah menular padaku.

"Saya yakin kamu pasti sedang kaget mendengarnya," tebak Ibu Mulyani pelan. Dia menaruh kembali foto tersebut ke tempatnya. Wajahnya tampak datar  seolah sudah bisa menduga sebelumnya. 

"Bener. Ini sangat kaget, Yang," jujurku langsung. "Bagaimana mungkin Belina yang lemah lembut itu aslinya adalah seorang laki-laki. Kok gak masuk akal banget ya," tuturku sambil memegang dada yang masih terasa sesak.

Ibu Mulyani sendiri terlihat menarik napas dalam-dalam. Seolah tengah mengumpulkan kebeneran saat akan bercerita nanti. 

"Jadi dari kecil Beni memang sudah terlihat melambai, Nak Baim," ungkap perempuan itu dengan tatapan menerawang. "Terlebih kakaknya dua-duanya perempuan. SMP Beni makin terlihat kemayu meski sudah dimasukan ke pondok. Ternyata dia malah kesenengan teman-temannya cowok semua. Termasuk teman sekamar."

"Terus kenapa kalian semua tidak ada yang berterus terang sama saya?" sergahku geram karena merasa dibohongi.

"Bukannya tidak mau berterus terang, tapi kamu sing ngotot pengen nikahi Beni."

"Mboten!" Aku menggeleng tegas, "Eyang juga ikut menyembunyikan fakta ini. Kalo enggak, kenapa gak dari dulu nyebut nama Belina dengan nama Beni. Kenapa baru sekarang? Kenapa dulu malah panggilnya Si Bell. Itu sama saja ikut berbohong," brondongku saking kesalnya. 

Ibu Mulyani sendiri tidak membalas banyaknya pertanyaan dariku. Dada wanita itu tampak turun naik. Kini bahkan mulutnya mulai menganga. Tidak lama napasnya seperti terce kik.

"Eyang!"

Aku menoleh. Sosok tinggi semampai Belina menampakan diri. Sebuah celemek masih melekat di tubuhnya. Perempuan itu ... eumm maksudku dia memang sedang menyiapkan makan malam di dapur.

"Eyang! Eyang kenapa?" tanya Belina sambil merengkuh tubuh kecil neneknya. "Eyang kenapa, Mas?" tanyanya padaku. 

Aku yang masih marah tidak bisa menjawab. 

"Eyang asmane kambuh ya?" tanya dia lagi.

Belina cekatan membopong tubuh Ibu Mulyani ke kamar wanita itu. Aku sendiri meneguk ludah melihatnya. Tiba-tiba merasa menjadi pria paling dungu sedunia.

Selama ini ke mana pikiran aku sebenarnya? Aku sama sekali tidak menyadari keanehan pada diri Belina. Wanita itu ... emmm maksudku dia, sebagai seorang wanita Belina terlalu kuat.

Pantas saja Belina mampu angkat galon sendiri. Bisa benerin lampu sendiri. Satu lagi Belina bahkan cekatan mengganti ban mobil yang bocor.

"Uasuuu!" umpatku saat menyadari kebodohan selama ini.

Oh iya, selama tujuh bulan hidup bersama aku juga tidak pernah mendapati Belina datang bulan. Pantas saja dia bisa diajak tempur di kasur kapan saja. Tak tahunya emang gak bisa haid. Berbeda dengan Maryam yang pasti ada libur sholatnya.

"Owalah babi-babi!" Aku menggeplak kepala sendiri.

Kalau ada yang bilang, kenapa aku sampai tidak bisa membedakan padahal berasal dari jenis yang sama. Gini Gaes, Belina itu secara fisik sangat sempurna.

Istriku Wanita Jadi-jadianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang