8. Mbak Umi

57 14 4
                                    

Aku segera melayangkan gugatan cerai ke Maryam. Untuk mempercepat jalannya sidang kami sepakat tidak menghadiri sidang mediasi. Karena memang sama-sama berniat ingin cerai, sidang putusan pun cepat terlaksana.

"Aku takut kamu nyesel cerai dari Maryam, Im," tanggap Ajay begitu aku menunjukan surat cerai. "Inget kamu lho sing dulu ngejar-ngejar dia."

"Ora bakalan," sahutku jumawa. "Cintaku ming Maryam wis sirna semenjak dia ketahuan selingkuh."

"Aku ora percaya sih Maryam selingkuh--"

"Makane kamu ikut jadi percaya," potongku meyakinkan.

"Aneh, wong aku ora pernah ngajak Saka ketemuan nang karaoke. Masa ana chatnya."

"Lho ya embuh ya," balasku sambil angkat bahu.

"Pasword hape ini cuma kowe sing ngerti," kata Ajay sambil menggoyangkan ponselnya.

Jleb! Aku terdiam. Kena mental.

"Oh jadi kamu nuduh aku sing ngechat Saka?" tuduhku muntab untuk menutupi rasa malu.

Kali ini Ajay yang angkat bahu. "Ora mungkin setan sih yang ngelakuinnya."

"Bela! Bela terus Maryam. Jangan-jangan kowe sebenarnya naksir karo Maryam, ya?" tuduhku kian menjadi.

"Makin ngelantur omongmu. Wis sana pergi dari sini!" usir Ajay sambil mendorong tubuhku.

Aku segera angkat kaki dari rumah Ajay. Selama pisah ranjang dengan Maryam, aku memang tinggal numpang di rumah Ajay. Sehingga saat dia mengusir langkahku tertuju pada kediaman Belina.

"Aku sudah mengorbankan pernikahanku demi kamu, Bel," ucapku waktu itu sambil memperlihatkan surat cerai.

Belina menatap surat itu sekilas. "Kenapa kamu melakukan itu, Mas?"

"Ya karena aku cinta mati karo koe, Bel." Aku langsung menggenggam jemari Belina.

Belina menggeleng pelan. "Gak. Kamu cuma tertarik tok karo aku, Mas."

"Sumpah aku cinta mati sama kamu, Bel." Tanganku mengacung jari tengah dan telunjuk. "Kamu itu selain cantik dan pintar, kamu juga lemah lembut. Beda dengan Maryam sing bisane cuma ngomel-ngomel terus."

Belina kembali menggeleng. "Kamu itu gak ngerti aku sing sesungguhnya. Nek ngerti aku yakin kamu bakal jijik sama aku."

"Aku ora peduli karo masa lalumu, Bel. Yang aku liat kamu di masa sekarang," ucapku dengan serius. Untuk lebih meyakinkan aku mengecup jemarinya.

"Mas, aku ki bukan wanita sing sesungguhnya," ungkap Belina dengan mimik serius.

Andai peka seharusnya aku paham jika waktu itu Belina sudah jujur. Dasarnya saat itu aku butuh tempat berteduh dan memang sangat terobsesi ingin memiliki.

Dasarnya aku yang gak peka maka segala omongan Belina tidak diindahkan. Begitu juga saat pertama kali Belina mengenalkan aku pada neneknya Ibu Mulyani.

"Bener kamu pengen serius karo si Bel?" tanya Ibu Mulyani yang saat itu datang ke rumah Belina.

"Enggih, Eyang." Aku mengangguk hormat. Sikap aku buat sesopan mungkin demi menarik hati Ibu Mulyani.

"Cinta lahir batin atau cuma cinta ming hartane?"

Sindiran telak dari Ibu Mulyani sukses menohok hatiku. Kok dia bisa tahu ya motivasiku menikahi Belina.

"Serius, Eyang, saya ini cinta lahir batin ke Belina. Bener-bener pengen membahagiakan dia." Jawabanku sama persis saat diinterogasi oleh Bapaknya Maryam dulu saat melamar.

Istriku Wanita Jadi-jadianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang