3. Pergi Dari Rumah

77 21 8
                                    

Aku tertampar kenyataan. Benar rumah besar dan nyaman ini milik Belina. Aku yang menumpang. Bukan dia benalu di rumah ini, tapi aku. 

Malu membuat aku meraup wajah. Sekarang aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri ini. Sudah pukul setengah sebelas malam.

Sial! Kalau aku pergi mau tidur di mana? Keluarga aku jauh ada di Klampok. Ya kali aku mesti nginep di hotel. Maleslah mesti ke luar duit.

"Kenapa, Mas? Jam tangannya bagus kan?"

Teguran dari Belina membuat aku tersadar dari termangu.

"Aku bilang jangan mendekat! Geli ... Ngerti ora sih?!"

Bentakan keras dariku membuat langkah Belina terhenti.

"Kamu bilang pengen punya topi merk Gucci besok kita beli yuk, Mas," ajaknya lembut.

"Kamu mau nyogok aku? Ora mempan!" sahutku ketus.

"Lha terus kamu maunya gimana, Mas Baim?" tanya Belina dengan tatapan teduh.

"Aku maunya kita pisah!" ucapku lantang.

"Jangan dong, Mas." Belina langsung mendekati aku, "aku ki cinta banget sama kamu, Mas."

Ketika tangan Belina hendak meraih pundak, aku langsung menghindar.

"Aku ora sudi dicintai oleh wanita gak jelas seperti kamu!"

Belina tidak membalas. Namun, mata bulat yang masih terlihat ada eyeliner itu tampak berkaca-kaca.

"Aku wanita asli luar dalam, Mas," kata Belina dengan bergetar. Seperti sedang menahan tangis.

Emang gue pikirin. Paling juga dia lagi narik simpatinya aku. No way! Masa seorang Mustafa Ibrahim harus luluh pada seorang b e n c o n g. Ora sudi!

"Asli luar dalam? Ingat nama kamu aslinya Beni," sindirku sebel.

"Aku pancen terlanjur lahir dengan fisik seorang pria, tapi jiwaku tetap perempuan, Mas," tutur Belina serius. "Dari kecil aku paling gak bisa denger yang namanya kekerasan. Sudah lemah lembut dari lahir."

"Lemah lembut dari lahir apanya? Lah tenaga kamu kuat melebihi aku lelaki tulen," balasku sinis karena masih kesal, "aku ae keberaten ngangkat galon, lha kamu gampange poll."

"Ya itu karena kamu emang pemales, Mas Baim."

"Jaga bicaramu, Beni!" hardikku berang.

"Itu kenyataannya, Mas. Buktinya toko hapeku yang rame jadi gak karu-karuan semenjak di-handle kamu."

"Jangan sembarangan kamu ngomong ya!" sergahku gak terima dituduh keji begitu. "Toko hapemu bangkrut karena memang harga-harganya kemahalen."

"Terus yang nentuin harga siapa? Kamu kan?" sahut Belina dengan melipat kedua tangan di da da. Kelihatan anggun sekali gayanya.

Aku sendiri diam tidak menyahut lagi. Karena apa yang Belina bilang adalah fakta. Sebenarnya ada alasan kenapa aku sengaja menambah harga jual.

Waktu itu aku banyak tanggungan, Gaes. Ada beberapa lubang yang mesti kututup. Makanya ketika diberi kuasa untuk mengelola toko hape Belina, aku sengaja menaikan harga dengan tujuan agar cepat mendapat banyak untung. Sayang bukannya mujur, itu justru malah bikin toko menjadi sepi.

Istriku Wanita Jadi-jadianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang