Bab 3

217 70 6
                                    

"Darimana saja?"

Sasa kaget, ia pikir tak ada orang karena rumah terlihat sepi dan jam segini seharusnya Emran masih ada di kantor. "Mas, gak kerja?" tanyanya basa-basi.

"Mas cuti tiga hari. Darimana kamu?"

"Tadi pagi Sasa sudah pamit mau main ke rumah temen, Mas."

Sasa menghampiri Emran yang tengah duduk di ruang televisi kemudian meraih tangan pria itu dan mencium punggung tangannya.

"Lain kali jangan sampai sore seperti ini."

"Iya Mas, Sasa mandi dulu terus masak buat makan malam nanti."

Emran hanya mengangguk, ia tak mungkin memarahi Sasa.

Setelah mendapatkan izin, Sasa masuk kamar kemudian bergegas mandi. Saat di depan cermin kamar mandi, Sasa memegangi bibirnya, senyumnya mengembang mengingat kejadian tadi.

Bahkan Sasa ingat betapa beratnya Reza ketika mengantarkannya pulang, mereka sempat berdebat tadi karena ia tidak mau diantar pulang sampai ke rumah dan memilih untuk turun di taman kota tempat dimana mereka bertemu pagi tadi.

Reza menolak dan bersikeras ingin mengantarkan Sasa sampai ke rumah sekalian bertemu dengan ibunya tapi Sasa tak mau semuanya ketahuan. Akhirnya ia mengarang berbagai alasan hingga akhirnya Reza mengalah dan menuruti kemauannya.

"Sasa..." Emran mengetuk pintu kamar mandi karena Sasa sudah ada di kamar mandi sejak setengah jam yang lalu dan  tak kunjung keluar. "Sasa, kamu baik-baik saja di dalam?" Emran khawatir Sasa kenapa-kenapa karena dulu Silvy meninggal jatuh di kamar mandi.

"Iya Mas, Sasa baik-baik saja," sahut Sasa yang baru saja tersadar dari lamunannya.

"Mas tunggu, kamu segera mandi, tidak usah masak. Kita makan diluar."

"Ya Mas."

Emran hendak keluar setelah mendapat jawaban dari Sasa tapi ia kembali berhenti saat mendengar panggilan darinya.

"Mas, Mas masih di situ?!"

"Ya, Mas masih di sini. Ada apa?"

"Tolong Mas, ambilin baju Sasa yang ada di atas tempat tidur." Sasa lupa membawa bajunya karena tadi ia buru-buru masuk kamar mandi, hanya handuk miliknya saja yang terbawa.

Emran melihat ke arah tempat tidur sesuai ucapan Sasa. Pipi Emran bersemu merah, ketika melihat baju dan pakaian dalam milik Sasa. Ia pria normal, walaupun ia pernah merasakannya tentu ia penasaran bagaimana rasa milik Sasa.

"Astaga apa yang aku pikirkan." Emran menggeleng-gelengkan kepalanya, ia langsung mengambil pakaian itu. "Sasa, ini pakaianmu." Emran mengetuk pintu kamar mandi.

"Iya Mas, makasih." Sasa membuka pintunya sedikit dan mengulurkan tangannya. Sebenarnya ia malu tapi apa boleh buat daripada harus keluar hanya menggunakan handuk, pasti akan lebih memalukan menurutnya.

"Mas keluar." Setelah Emran memberikan baju Sasa, ia memilih keluar kamar menuju dapur untuk mengambil minum. Sebagai pria, ia sudah berpuasa cukup lama. Ia tidak merasakan hal seperti itu semenjak Silvy meninggal. Namun, sekarang ia menginginkannya.

Emran berusaha untuk menahan diri ia tidak mau berlaku egois, Sasa tidak mencintainya dan ia juga belum mencintai Sasa. Emran tak mau jika melakukan hanya sebatas menuruti nafsunya saja.

"Ayo Mas, mau makan dimana?"

Emran melihat penampilan Sasa dari atas sampai bawah. Dia menggunakan celana jeans dan kemeja kotak-kotak kecil dengan rambut di cepol asal. Penampilan Sasa berbeda jauh dengan Silvy yang terlihat lebih anggun dan feminim. "Apa tidak ada baju lain dan kamu tidak berdandan?"

"Memang kenapa, Mas?" Sasa melihat bajunya yang ia rasa baik-baik saja, tidak terlalu terbuka bahkan terkesan sopan. Iya juga tidak begitu suka berdandan. Sehingga tidak butuh waktu lama baginya untuk bersiap jika ingin pergi.

"Bisa gunakan dress dan sebagainya yang lebih feminim?"

"Sasa lebih nyaman seperti ini, Mas."

"Ya sudah, terserah kamu saja."

Emran meraih kunci mobilnya yang ada di meja dan Sasa mengikuti Emran di belakangnya sambil bermain ponsel sibuk membalas chat dari Reza. Padahal ia baru saja bertemu tadi dan pergi bersama seharian tapi rasanya sudah kangen lagi dengan Reza.

"Bisa simpan ponsel kamu saat bersama, Mas?"

Emran sebenarnya tidak masalah kalau Sasa bermain ponsel tapi, sejak dari rumah sampai di dalam mobil, Sasa terus menerus memainkan ponselnya. Bahkan ia melihat sesekali, Sasa tersenyum sendiri.

"Kenapa?" Sasa mendongakkan wajahnya menatap Emran yang masih fokus menyetir.

"Mas tidak suka di abaikan, Silvy selalu mengajak Mas bicara."

"Tapi aku Sasa bukan Kak Silvy, Mas."

"Maaf. Maksud, Mas. Jika kita sedang berdua, fokuslah pada Mas. Kamu bisa memainkan ponselmu nanti, kita sudah menikah, kita harus belajar saling mencintai satu sama lain."

"Mas aja masih mikirin Kak Silvy," cibir Sasa.

"Mas sedang berusaha, Sa. Tolong bantu Mas, supaya bisa cinta sama kamu."

"Tidak perlu, Mas. Sasa saja masih mencintai Reza."

Mendadak Emran menepikan mobilnya. Sasa mengusap dadanya yang berdetak hebat, untung saja ia menggunakan seat belt jika tidak mungkin keningnya akan terbentur dasbor karena Emran berhenti mendadak. "Mas Emran apa-apaan, Sih!!" kesal Sasa.

"Jangan pernah berbicara atau menyebut nama pria lain saat bersama Mas. Mau bagaimana pun, sekarang Mas suamimu."

"Tapi Mas tahu sendiri kalau Sasa cinta sama Reza dan Sasa juga tahu kalau Mas Emran juga masih mencintai  Kak Silvy. Kita sudah bicarakan ini kemarin. Sasa terpaksa menikah sama Mas."

"Sasa...!!"

Bentak Emran cukup keras membuat Sasa terdiam, ini pertama kalinya seumur hidup ia di bentak. Almarhum ayahnya saja tidak pernah membentaknya.

"Hormati Mas yang sekarang jadi suamimu, jangan pernah macam-macam." Emran memperingati.

Sasa hanya diam dan membuang mukanya melihat ke arah luar. Lebih baik ia melihat pepohonan yang ada di pinggir jalan daripada harus melihat wajah Emran yang menyebalkan. Sasa tak habis pikir, kenapa kakaknya dulu sangat mencintainya. Pria posesif dan galak. Padahal pria itu yang membicarakan hal ini kemarin, lalu kenapa sekarang dia marah-marah?

"Maafin Mas," ucap Emran pelan.

Emran sadar, ia sudah bersalah karena membentak Sasa. Harusnya ia lebih bisa mengontrol emosinya, apalagi usia Sasa yang masih sangat muda jadi harus banyak-banyak bersabar. Emran tidak mau karena kesalahannya Sasa nekat kabur darinya.

Garis Takdir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang