Bab 4

199 56 2
                                    

Sasa sungguh tak berselera makan, apalagi ia tak boleh memainkan ponselnya. Emran benar-benar pria menyebalkan baginya.

"Jangan hanya di lihat, makan sebelum dingin!" perintah Emran.

"Sudah kenyang, Sasa pengin pulang ke rumah Ibu."

"Kamu belum makan, kan? Kita ke rumah Ibu Minggu depan."

"Sasa maunya sekarang, Mas. Kalau Mas gak mau antar Sasa, biar Sasa pergi sendiri saja."

"Jangan buat Mas marah," ucap Emran dingin. Ia kesal karena sudah diabaikan sejak tadi dan kini terus di bantah oleh Sasa.

"Apa salahnya jika bertemu Ibu?"

"Ayo kita pulang." Emran tidak menghabiskan makanannya, ia segera membayar dan menarik Sasa sedikit kesar.

"Mas, sakit," protes Sasa saat sudah sampai di dalam mobil.

"Sasa, Mas sudah berusaha bersabar tapi kenapa kamu seolah ingin memancing emosi Mas terus?"

"Mas Emran aja yang emosian, lagi pula tidak ada salahnya seorang anak ingin bertemu dengan ibunya."

"Jangan terus mendebat Mas, Sasa!!" Emran sangat marah karena Sasa terus saja menimpali ucapannya. Sasa memang keras kepala, tidak seperti Silvy yang penurut. Dulu saat bersama Silvy, ia tidak pernah marah apalagi Silvy selalu bisa menenangkannya.

"Terserah Mas." Sasa melipat kedua tangannya di depan dada dan memalingkan wajahnya.

Emran juga memilih diam menetralkan emosinya. Ia tidak mau kelepasan dan membuat Sasa semakin ketakutan dan berujung membencinya.

Sesampainya di rumah, Sasa masuk mendahului Emran, ia langsung masuk kamar dan melempar tasnya asal, kemudian memilih tidur menghadap dinding.

Emran mengikuti Sasa dan memungut tas Sasa lalu menggantungnya di tempat tas yang tak jauh dari pintu. "Mas tahu kamu belum benar-benar tidur." Emran naik ke ranjang. Iya ingin memperbaiki hubungan mereka supaya tidak semakin buruk. "Maafin Mas yang memang emosian tapi semua itu demi kebaikan rumah tangga kita kedepannya." Emran merebahkan tubuhnya tidur memunggungi Sasa. "Mas harap kamu berfikir sedikit dewasa."

Sasa mendengarkan apa yang di ucapkan Emran tapi ia malas untuk berbicara dengannya. Jadi ia memilih diam dan terus memejamkan mata menghadap dinding.

Emran juga tidak banyak bicara lagi. Iya ikut diam dan mencoba mengontrol emosinya yang sempat meledak tadi. Iya harus instrospeksi diri supaya hal seperti ini tidak terulang lagi.

🥀🥀🥀

Tengah malam Sasa bangun, ia mengintip Emran yang sudah tertidur pulas. Lalu ia turun dari ranjang secara perlahan kemudian mengambil ponselnya yang ada di dalam tas. Ia tersenyum mendapati banyak pesan dari Reza.

Sasa tidak ingin Emran tahu, ia memilih keluar dari kamar sembari menelpon Reza menuju ruang televisi supaya Emran tidak terbangun.

Jika orang sedang di mabuk cinta, telepon berjam-jam pun tak terasa. Seperti yang terjadi pada Sasa, ia baru sadar ketika melirik jam yang terpasang di dinding telah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Sasa segera mengakhiri teleponnya sebelum Emran bangun.

Sasa masuk kamar berharap Emran belum bangun tapi ternyata pria itu sudah duduk bersandar di kepala ranjang dengan laptop di pangkuannya. "Sudah bangun, Mas? Mau kopi atau teh?" tanya Sasa berbasa-basi supaya Emran tidak curiga.

"Kopi dan gulanya cukup satu sendok."

"Tunggu sebentar." Sasa segera membuatkan kopi untuk Emran setelah itu ia kembali ke dapur untuk memasak sarapan.

Sasa sangat mengantuk. Ia tak sadar ketiduran dengan kepala bertumpu pada meja makan saat menunggu telur matang.

"Astaga." Emran segera mematikan kompornya dan membuang telur yang sudah gosong seperti arang ke tempat sampah. "Sasa." Emran membangunkan Sasa yang tertidur.

"Eh apa, Mas?" Sasa masih sulit untuk membuka matanya, ia masih sangat mengantuk. "Ya ampun, telur...!!" Sasa langsung berlari ke arah kompor, ia ingat jika tadi sedang menggoreng telur. "Loh mana telurnya?"

"Sudah Mas buang." Emran mengamati Sasa. "Apa semalam kamu tidak bisa tidur?"

Sasa gugup, tak mungkin ia jujur jika habis menelpon Reza semalaman. "Iya Mas, Sasa tidak bisa tidur. Sasa kepikiran sama Ibu."

Sasa meringis dalam hati karena ia terpaksa harus berbohong.

"Ibu pasti baik-baik saja, kita akan berkunjung hari ini."

"Beneran, Mas?" Sasa sangat senang dan berharap ia bisa tidur di tempat ibunya supaya bisa leluasa menghubungi Reza.

"Iya, sebagai permintaan maaf Mas kemarin sudah bentak kamu."

"Gak apa-apa , Mas. Terima kasih. Sekarang Mas mandi dulu, biar Sasa selesaiin masaknya."

"Jangan di tinggal tidur lagi." Emran tersenyum tipis kemudian berlalu pergi.

Entah mengapa, senyum tipis yang Emran berikan mampu menggetarkan hati Sasa. Namun, Sasa mencoba menyangkal perasaan itu, tidak mungkin hanya dengan senyuman ia mulai tertarik pada Emran.

Memang Emran sangat mencintai Silvy tapi kini ia mulai berpikir untuk masa depan. Ia harus sadar diri, Silvy adalah masa lalunya dan Sasa adalah masa depannya. Mulai sekarang ia harus terus belajar menerima dan mencintainya.

Mau bagaimana pun, nantinya Sasa akan tetap menjadi ibu dari calon anak-anaknya kelak. Emran berusaha harus bisa mencintai Sasa.

🥀🥀🥀

Garis Takdir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang