03. Penyemangat

93 18 1
                                    

Jam istirahat pertama yang masih tergolong kedalam waktu pagi menjelang siang itu terasa seperti tengah hari karena terik. Seakan matahari hari ini terlalu bersemangat memancarkan sinarnya hingga tak kira-kira.

Gerah dan panas ditambah lagi dengan suara bising yang di ciptakan banyak orang di kantin membuat kepala Nesya berdenyut nyeri. Sejak pagi Nesya merasakan tubuhnya sedang tidak dalam keadaan baik, sepertinya dia akan demam.

"Mau makan apa Ca?"

Nesya menidurkan kepalanya diatas meja kantin tanpa menghiraukan pertanyaan dari Jea. Kepalanya kelewat pusing sampai malas bicara.

"Ca, lo harus makan."

Jea menarik paksa sahabatnya itu ke kantin karena ia belum memakan apapun sedari pagi.

"Kepala gue pusing Je," Ujar Nesya lirih.

"Yaudah gue pesenin nasi goreng aja ya?"

Lagi-lagi Jea ia abaikan, matanya perlahan tertutup saat setelah Jea pergi dari hadapannya. Dahi Nesya mulai berkeringat, panas dari cuaca ditambah lagi dengan suhu tubuhnya yang dirasa semakin memanas membuatnya kegerahan.

Dia butuh sesuatu yang dingin dan menyejukan, kipas angin yang berada di sudut kantin pun tidak membuat Nesya merasa sejuk.

Angin sepoi-sepoi yang tiba-tiba menerpa wajahnya itu membuat Nesya merasa sedikit lebih baik. Mata Nesya terbuka dengan lebar, ia terkejut saat merasakan dingin sekaligus basah pada pipinya.

"Kantin tuh tempat buat makan bukan tidur."

Nesya menegakkan tubuh membenarkan posisi duduknya. Melihat peluh yang ada di dahi Nesya, Abim kembali mengipasinya dengan sepotong kardus yang entah dari mana ia bawa.

"Nih minum, lo kayak nya kegerahan banget ya?"

Abim memberikan sebotol minuman dingin yang sempat ia tempelkan pada pipi Nesya tadi. Sementara tangannya yang lain masih mengipas-ngipasi kardus ke arah Nesya dan dirinya secara bergantian. Kering di tenggorokan Nesya hilang setelah ia meminum air yang di berikan Abim.

"Lo kenapa? Sakit?" Tanya Abim melihat wajah Nesya yang memerah dengan mata sayu dan tubuh sedikit lesu.

"Gapapa, cuma kepanasan doang," jawab Nesya menyembunyikan rasa sakit kepalanya. Nesya memang bukan tipikal orang yang terus terang, dia selalu menyembunyikan apapun yang menurutnya orang lain tidak harus tahu.

Abim menganggukan kepalanya mengerti, "Lo udah makan?"

"Belum, lagi nunggu Jea, dia yang mesen."

Abim kembali menganggukan kepalanya, kemudian ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku dan mengotak-atik benda pipih itu lalu ia sodorkan kepada Nesya.

"Lo belum buka blokiran gue," todongnya.

Dengan senyum khas nya yang tanpa dosa itu Nesya berkata, "Oh iya lupa, sorry."

"Dan juga makasih Bim buat makanan nya kemarin, itu banyak banget tau enggak," lanjut Nesya. Abim tidak menggubris perkataan Nesya, ia dibuat salah fokus oleh senyuman indah Nesya yang berlalu terlalu cepat itu, Abim terpesona dibuatnya.

"Ehemm..." Abim berdehem untuk membuatnya tetap sadar. "Lojangansenyumkayakgitu," lanjutnya dengan cepat, kemudian berdiri dari duduknya hendak pergi.

"Hah??"

"Oh iya jangan lupa buka blokiran nya, bye," dengan gerakan cepat Abim berlalu dari hadapan Nesya yang kebingungan karenanya.

"Dia kenapa? Ngomong apa ya tadi?"

Ocean EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang