Part 2

17 4 1
                                    

'Lol, this is really crazy.'

_-_-_-_

Hari ini sedikit berbeda, apakah hanya Ira yang menyadarinya? Sejak pagi ayah dan ibunya bersikap aneh. Raut muka mereka selalu berubah tidak mengenakkan setiap melihat Ira, seperti ada sesuatu yang ingin mereka katakan. Tapi, pada akhirnya mereka tetap diam sampai Ira berpamitan untuk berangkat sekolah.

Di kelas, Ira terus bengong memikirkan kemungkinan-kemungkinan kenapa orangtuanya bersikap seperti itu. Entah kenapa itu terus mengganggu pikirannya sejak tadi. Bahkan ia mengabaikan Ivony yang sedari tadi duduk di sebelahnya dan menyerocos tanpa henti bercerita tentang si 'calon pacar'nya yang tidak bosan-bosannya dia banggakan itu.

"Kamu kenapa sih, Ra?" Tanya Ivony saat menyadari Ira tidak mendengarkan ceritanya daritadi.

"Ortuku aneh." Jawab Ira sambil menatap lurus ke arah jendela.

"Aneh?" Nada bicara Ivony seperti tidak yakin.

"Iya."

"Kamu yang aneh, sih."

"Anj*ng." Umpat Ira dengan suara sedikit keras.

"Anjir! Pagi-pagi udah ngomong kasar, kamu beneran Ira, kan? Kamu ga kesambet apa-apa, kan?" Reflek Ivony mencubit pipi Ira dengan keras karena kaget sampai si empunya mengaduh kesakitan.

"Ivy! Sakit huee." Adu Ira dengan mempoutkan bibirnya sambil terus mengusap-ngusap kedua pipinya.

"Apaan anjir jijik banget huekk!" Ivony menatap Ira jijik dengan gerakan seperti ingin muntah karena melihat aegyo yang dibuat Ira.

kring... kring..

Bel tanda masuk sudah berbunyi, keadaan pun menjadi ramai karena para kumpulan circle-circle di kelas Ira mulai masuk dan menatap mereka dengan wajah yang sok galak. Ivony menaikkan satu alisnya ikut menatap mereka dengan pandangan heran sekaligus jijik.

"Stop, ngga usah pasang ekspresi sok nantang gitu. PR kemarin udah kamu kerjain kan? Liat dong! Udah bel nih! Untung PR nya matpel kedua." Ira menepuk-nepuk lengan Ivony tidak sabar.

"Ra..." Panggil Ivony pelan.

"Apaan? Cepet sini bukumu, aku mau nyontek."

"Kamu kan tau sendiri aku ngga pernah ngerjain PR." Lanjut Ivony sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Ira menatap Ivony dengan pandangan tidak percaya. "Hah?! Anjir?! Iya juga sih, duh yaudah kita kerjain bareng, kamu nyari nomer 2, oke?"

"Okeyy." Jawab Ivony semangat dengan mengacungkan kedua jempolnya melihat kesabaran Ira dalam menghadapi dirinya.

•••

"Eh? Kok tumben kakak udah dateng duluan, padahal belom aku chat loh?" Ira menghampiri kakaknya yang sedang duduk di atas motornya dengan santai. Tentu saja Ira bingung karena dia baru saja keluar gerbang dan belum mengirimkan pesan untuk minta dijemput.

"Iya, kebetulan aja sih aku gabut di rumah." Jawab Evelyn dengan nada malas.

"Serius? Seorang Evelyn gabut di rumah? Wow, apa langit mau runtuh?" Ira mengangkat kedua tangannya dan menghadap ke atas seakan-akan mengecek apa benar langitnya mau runtuh.

"Ngga usah alay, cepet naik, kita harus buru-buru, nanti malam kita mau pergi." Evelyn menggelengkan kepalanya, sudah terbiasa dengan sikap sok imut Ira.

Ira yang mendengar perintah kakaknya langsung bergegas naik ke motor dan hanya terdiam sepanjang jalan dan membatin. 'Mau kemana sih emangnya? Kok buru-buru banget.'

Sesampainya di rumah, Ira segera turun dan membukakan pagar untuk kakaknya masuk. Lalu, tanpa babibu ia langsung melepas sepatunya dan berlari masuk ke arah dispenser untuk minum. Ibunya yang melihat Ira sudah datang langsung mengucapkan hal yang sama seperti kakaknya.

"Langsung mandi ya, cepetan siap-siap."

"Emang ada acara apa sih, bu? Kok kayak buru-buru banget." Ira bertanya penasaran.

"Acara makan malam biasa, sama temennya si Aaron tuh." Jawab ibu.

"Ih yaudah aku ngga usah ikut, ya? Kan cuma makan doang. Ya.. Ya.. Ya..? Please ibu Selena yang cantik dan baik hati." Ujar Ira memohon sambil mempoutkan bibirnya lucu.

Salah satu kebiasaan Selena, ibunya Ira adalah memanggil suaminya dengan namanya langsung jika dia sedang marah ke suaminya itu, makanya Ira pikir tidak apa-apa untuk memohon agar tidak ikut acara makan malam tersebut.

"Gak, kamu tiap diajak keluar pasti ada aja alasannya, cepetan mandi terus siap-siap sana, ga ada tapi-tapian!" Pungkas ibunya membuat Ira tidak berani melawan lagi.

Ira melangkahkan kakinya dengan gontai menuju kamar. Ia sedikit sebal dengan keluarganya yang memaksanya harus ikut. Akhirnya ia terpaksa menuruti ibunya dan mulai mandi dan bersiap-siap.

'Padahal kalo aku ngga ikut juga gapapa kan. Ngga akan ngaruh apa-apa juga. Dahlah ikut aja, lumayan juga sih ntar aku pesen makan yang paling mahal  aja muehehe.' Batin Ira dengan pemikiran liciknya itu.

•••
19.00

Akhirnya Ira dan keluarganya sampai di sebuah restoran yang sangat mewah. Saat ayahnya selesai memakirkan mobil, mereka pun mulai berjalan masuk ke restoran itu dan disambut oleh para pegawai yang sudah berbaris di depan pintu seakan sudah menunggu mereka daritadi.

'Hah? Beneran mau makan disini?' Tanya Ira dalam hati, ia keheranan karena selama ini keluarganya tidak pernah makan di restoran yang sangat mewah.

"Kak, ini kita beneran makan disini? Acaranya keliatan mewah banget ya." Bisik Axel, adik laki-laki Ira, yang sedari tadi juga ikut terbengong melihat restoran mewah ini.

"Gatau deh, jangankan kamu, bahkan aku dari rumah juga udah terheran-heran, njir!" Balas Ira yang ikut berbisik walaupun masih bisa didengar oleh Evelyn yang sedang jalan di depan keduanya.

"Selamat datang di restoran kami tuan, mari saya antarkan ke meja anda." Obrolan keduanya berhenti karena salah satu pegawai tiba-tiba menyapa Aaron.

"Iya, terimakasih." Jawab Aaron singkat namun tetap mengangguk dengan ramah.

Pegawai restoran tadi mengantarkan mereka ke sebuah meja yang terlihat sudah ditempati oleh sepasang suami istri. Tapi tak disangka ternyata ayah dan ibunya Ira sudah mengenali mereka dan saling menyapa. Ira yang memang sedikit pemalu hanya diam tapi sambil menyalimi juga kedua orang tersebut.

"Apa kabar, Tuan dan Nyonya Arcallion?" Sapa Aaron memulai percakapan.

"Hahaha, kabar kami baik sekali, tuan Aaron. Tapi tidak usah terlalu formal begitu, panggil saja saya Damian dan ini istri saya Aria." Jawab Damian Arcallion sambil sedikit tertawa formal.

"Kami sekeluarga juga baik. Terimakasih sudah mengundang kami, tuan Damian." Balas Pak Aaron tersenyum singkat.

"Bukan apa-apa. Lagipula saya mengundang anda sekeluarga untuk melanjutkan perbincangan soal kesepakatan kita tempo hari."

"Oh iya, soal itu lebih baik kita jelaskan dulu ke keluarga saya terutama anak-anak, karena pasti mereka daritadi sudah kebingungan, hahahaha." Ujar Aaron sambil tertawa yang terdengar licik, membuat anak-anaknya tambah bingung.

Ditengah-tengah suara tertawa bapak-bapak ini, seorang pelayan datang dengan membawa buku menu. Evelyn, Ira, dan Axel sangat bersemangat untuk memilih makanan, terutama Ira yang sengaja memesan makanan yang mahal. Karena kapan lagi mereka bisa makan di restoran bintang 5 semacam ini.

Setelah selesai memilih menu, datang beberapa pelayan lagi yang mengantarkan air dan beberapa makanan pembuka. Awalnya Ira dengan santai memakan makanannya itu sambil hanya terus diam mendengarkan perbincangan orang dewasa yang menurutnya membosankan itu. Saat Ira sudah selesai makan appetizer  tersebut, akhirnya ia pun memutuskan untuk pergi berjalan-jalan sebentar melihat-lihat taman  yang berada tidak jauh dari meja mereka.

Ia jadi tidak tahu ternyata perbincangan para orang dewasa itu sudah memasuki tahap inti dari pertemuan mereka. Sesuatu yang akan mengubah hidupnya.

"Jadi, bagaimana dengan lamaran anak saya dengan anak perempuan anda, tuan Aaron?"

LimerenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang