Kepalanya tertunduk lagi, air mata semakin membanjiri wajahnya.
Tapi meski air mata itu bisa jadi tanda kelemahan, di mata itu aku melihat sesuatu yang lebih kuat daripada kelemahan: keberanian untuk merasakan, keberanian untuk terhubung pada emosi yang bahkan dirinya sendiri tak pernah tahu ada.
Kontol Kapten Abdi di depanku, seolah menjadi menara pertahanan yang menentang setiap serangan ku.
Aku menampar kontolnya berkali-kali.
Setiap tamparan ku menghasilkan senyuman penuh nafsu di wajahku dan kontolnya berdenyut, seolah merespon setiap tamparan brutal itu seperti prajurit yang bersemangat menanti perintah untuk bergerak maju.
Masing-masing penamparan menandai peta panas di kulitnya, merah dan hangat di bawah sentuhan tangan ku yang kasar.
Setiap denyutannya adalah sebuah penegasan atas ketangguhan dan keperkasaan Abdi di hadapan ku, tetapi sekaligus juga mengungkapkan kerapuhannya.
Napasnya memburu, wajahnya menunjukkan ekspresi yang campur aduk, antara rasa sakit dan kenikmatan yang tak bisa diungkapkan.
Precum yang mengalir dari ujung kontolnya semakin deras, seperti peluru yang siap ditembakkan. Ini adalah penanda bahwa Kapten Abdi siap untuk diserang.
Tanpa memberi waktu untuk beristirahat, aku mendorongnya ke podium. Seperti komandan yang menyerbu medan perang, kontolku sudah dalam keadaan siaga, keras dan menuntut pelepasan. Gerakan ku tegas, membawa pesan kuat bahwa aku siap untuk beraksi.
Anusnya sudah terbiasa dengan permainan kami, menyambut kontolku dengan rasa penghormatan seorang prajurit kepada komandannya. Kontolku meluncur masuk tanpa hambatan, seperti menyerbu benteng tanpa pertahanan. Anusnya yang sudah licin oleh airmani yang kuberikan sebelumnya, memudahkan invasi brutal ku.
Aku mulai menggerakkan pinggulku, menusuk-nusuk anusnya dengan semakin cepat dan keras, seolah aku sedang menyerang basis musuh dengan kekuatan penuh, di hadapan kursi-kursi yang kosong.
Persis seperti tadi, sebelum konfrensi dimulai.
Ketika aku mulai meningkatkan kecepatan, tangannya menggenggam tepi podium, berusaha menahan diri dari ledakan sensasi yang mendera. Bibirnya menggigit bibir bawahnya, berusaha keras menahan jerit yang ingin meloloskan diri dari mulutnya.
Ku bisikan kata-kata kasar padanya, mendorong dia ke tepi kenikmatan yang ia takutkan. "Aku ingin sekali memperkosamu saat acara tadi. Tepat di depan semua orang yang menatapmu dengan kagum, agar mereka bisa melihat, dibalik seragammu, kamu tidak lebih dari budak nafsuku!"
Tubuhnya menegang, berusaha mengendalikan diri dari pelepasan yang hanya sejengkal lagi dari ujung jari-jarinya. Segera aku mengenali aroma keringat yang mulai menetes dari lehernya, mengucur membasahi punggung seragam militer yang membentuk kontur otot-ototnya dengan sempurna. Keringat itu merembes, menjadi saksi bisu dari pertarungan batinnya yang tak tertahankan.
Suaranya adalah sebuah erangan pelan, lebih mirip dengan getaran; ia berusaha menekan teriakan yang ingin keluar dari bibirnya yang tebal. Dengan keras, ia menggigit bibirnya sendiri, tampaknya sebagai upaya terakhir untuk menahan ledakan yang sudah menanti di ambang pintu. Aku bisa merasakan dentuman nadi di lehernya, bisa merasakan detak jantungnya yang cepat melalui getaran yang ditimbulkannya.
Tanpa ragu, aku melanjutkan gerakanku. Jemariku menyusuri otot-otot punggungnya, meresapi setiap benang serat otot yang tersusun rapi seperti barisan tentara yang siap tempur. Seolah ia bisa merasakan niatku, otot-ototnya merespons dengan menggigil pelan, membentuk kontraksi yang memberi tahu aku ia sedang di ambang batas.
![](https://img.wattpad.com/cover/321894456-288-k236884.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
A B D I
Short StoryAdrian, adalah seorang diplomat muda yang cerdas, ambisius, dan karismatik. Ia sudah dikenal luas karena keberhasilannya dalam menangani negosiasi internasional yang kompleks meski usianya masih sangat muda. Penampilannya yang tampan dan pesonanya y...