Ataraxia 4;

91 10 0
                                    

Hari ternyata sudah pagi. Kicau burung dan silau mentari yang secara tak sopan masuk guna membangunkan Awa pagi ini ternyata cukup ampuh untuk membuat manusia yang tengah bergelung di balik selimut itu untuk membuka matanya. Sudah hampir satu minggu lamanya ia kembali ke rumah dan tak pernah ia rasakan tidur dengan senyenyak ini.

Pada satu tahun kebelakang, bayangan Bima yang terus saja hadir di ingatannya ketika meninggalkan Awa akan terus menjadi lullabynya ketika hendak tidur. Bunda dan Ayah tidak tahu, bahwa luka yang ditimbulkan bisa membuatnya pergi ke psikiater dan mendapat sebuah resep obat tidur.

Namun sekarang keadaan sudah berubah, harapnya akan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sudah cukup lama ia tinggalkan rumah hangat ini dan menghadapi dingin udara di luar sana. Hanya saja Awa terlambat tau bahwa obat yang ia butuhkan sebenarnya tidak berada jauh darinya.

Keluarga yang selalu ada untuknya dan siap sedia menghibur dan menemani Awa pada tiap sakitnya seharusnya sudah cukup. Bagaimana Bunda yang menjaga Awa semalaman ketika dirinya demam, Ayah yang selalu kalang kabut ketika mendengar bahwa anak bungsunya sedang sakit dan segera meninggalkan pekerjaannya secepat mungkin, dan jangan lupakan Bang Gian yang akan selalu menghibur dan menemaninya serta membawakan berbagai jajanan yang ia sukai.

Plafon langit-langit kamar itu Awa pandangi cukup lama ketika kebiasaannya setelah bangun tidur adalah mengumpulkan nyawa. "Hah.. Wangi banget," satu senyum simpul turut hadir disana ketika indera penciumannya menghirup sebuah aroma masakan yang ia yakini menguar hingga ke seluruh penjuru rumah. Siapa yang bisa ia sangka lagi selain masakan sang Bunda yang selama 25 tahun ia hidup adalah pelaku utamanya.

Dengan segera Awa bangkitkan dirinya menuju ke kamar mandi dengan hanya membasuh muka dan menyikat giginya tanpa mandi. Piyama dengan motif cinnamon roll yang melekat di badannya dan sandal lucu dengan motif serupa mengiringi langkah kaki Awa yang menuruni anak tangga dengan tergesa.

"Bundaaaa," Awa peluk tubuh bundanya dari belakang dan memberis satu kecupan selamat pagi di pipinya.

"Selamat pagi cantiknya Bunda, sana gih duduk di meja makan bareng Ayah sama Bang Gian, bentar lagi Bunda selesai."

"Ayayy!"

Awa menuruti apa yang Bunda katakan, berlanjut menyapa dan turut memberi satu kecupan pada masing-masing pipi Ayah dan Abangnya yang sudah anteng berada di meja makan menantikan sarapan yang sudah Bunda siapkan.

Sarapan pagi ini begitu nikmat, dengan di selingi beberapa candaan yang Ayah dan Bang Gian lontarkan guna menggoda Awa dan dirinya yang sesekali mengadu pada sang Bunda.

"Bundaa lihat tuh, Ayah nakal tau, cubit Ayah, Bun, cubit Ayah!" Adu Awahiya.

Berakhir dengan bibirnya yang mengerucut maju tanda bahwa ia sedang pundung karena aduannya hanya ditanggapi dengan tawa karena gemas oleh satu anggota keluarganya.

"Awa, sayangnya Ayah, cantiknya Ayah?" panggil Ayah yang tiba-tiba rautnya berubah serius namun senyumnya tetap masih ada disana.

"Ya, Ayah? Awa tau kok kalau Awa cantik hihihi," jawab Awa dengan percaya dirinya dan membubuhkan kekehan di akhir. Atmosfer saat itu seketika hening, menantikan apa yang akan Ayah sampaikan ketika dapat ia tangkap beberapa kali melempar pandangan dengan Bunda.

"Awa kan udah gede ya, Nak. Ayah juga yakin kalau Awa cukup mandiri," ujar Ayah mengawali, terdapat satu nada kehati-hatian terselip disana, membuat Awa mendengarkan beliau dengan cermat dan satu anggukan. "Gimana kalau Awa coba bekerja? Memang bukan berarti uang Ayah akan habis kalau Ayah beri semuanya ke kamu, tapi kamu mau kan coba buka diri kamu lagi buat dunia di luar sana? Sahabat kamu Elang sama Arjun memang ada, tapi Ayah yakin itu masih belum cukup untuk pengalaman kamu tentang hidup, Nak. Kamu juga harus bisa seleksi masing-masing tabiat dari manusia yang sebenarnya itu seperti apa."

Ataraxia [Nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang