Ataraxia 6;

70 8 0
                                    

Seperti yang sudah Bima instruksikan beberapa saat lalu kepada Juna, hari ini Awa tidak diharuskan melakukan pekerjaan apa-apa, dan hanya akan melakukan pengenalan pada lingkungan kantor.

Ruangan yang Bima, Awa, dan Juna tempati tidak berada di satu tembok namun tetap pada lantai yang sama. Urutannya adalah dari paling ujung yang dekat dengan lift khusus dan juga tangga terdapat ruangan Juna disana, lalu berurutan ruangan Awa dan selanjutnya ruangan Bima yang berada paling ujung lainnya. Sialnya, ruangan yang Awa tempati memiliki sekat dan penghubung langsung berupa kaca transparan sehingga memungkinkan dirinya mengetahui apa-apa saja yang Bima lakukan di dalam sana.

Sekian waktu dirinya termenung dan hanya membolak-balik beberapa contoh dokumen dan jadwal Bima beberapa hari kedepan yang sudah ditunjukkan oleh Juna, pada akhirnya ia bosan. Tidak ada yang bisa ia lakukan dan ia ajak bicara di sana. Juna berpamitan bahwa akan menemui klien Bima dari Thailand hingga tidak bisa menemani Awa lebih lama saat ini.

Awa berjengit karena tiba-tiba saja teringat, bahwa ada satu sahabatnya lagi yang berada satu gedung dengan dia, Elang. "Kesana aja kali, ya?"

Awa sudah berdiri dan hampir beranjak dari kursinya. Namun suara dari intercom di sudut meja kerjanya berbunyi, membuat dirinya mengalihkan pandang, suara berat Bima terdengar dari sana. "Mau kemana?"

Dapat Awa lihat bahwa Bima juga tengah menatapnya dari balik kaca ruangan, satu jarinya masih berada di atas intercom, bersiap menjawab Awa lagi. Namun yang dilakukan Awa hanya menatap Bima tanpa memberikan tanda bahwa akan menjawab pertanyaan Bima tadi. Mengangkat tangannya beberapa kali dan mengatakan tanpa terdengar satu suara pun darinya. Awa menggunakan isyarat tangan, "Mau ke ruangannya Elang." Kata Awa kemudian masih berdiri di tempatnya.

Bima terdiam sejenak, berusaha mencerna apa arti dari gerakan tangan Awa tadi. Tanpa mau menuruti otaknya yang lambat berpikir untuk mengartikan, sekarang justru dirinyalah yang berajak dari kursi besarnya. Berjalan pasti ke arah pintu dimana ruangan Awa berada.

"Bilang apa tadi? Udah kayak orang bisu aja."

Sialan.

"Mau ke ruangannya Elang, elahh."Ulang Awa.

Bima menganggukkan kepalanya dengan mulutnya yang membulat, kemudian menatap Awa lagi. Tangannya masih berada di gagang pintu, tanggung sekali. "Gak usah kesana, Elang lagi sibuk."

Satu alis Awa terangkat naik ke atas, "Dih, boong lu ya?"

"Di bilangin juga. Bulan depan ada launching produk baru, dan setau gue dia ada meeting sama dewan direksi buat evaluasi final sebelum mulai eksekusi. Masih mau kesana? Apa sekalian mau gabung meetingnya juga?" Jelas Bima yang mengundang sebuah dengusan dari mulut Awahiya.

"Daripada lo ngerecokin si Elang, mending lo bantuin gue buat ngerapihin berkas. Udah tau cara ngarsip dokumen belum?"

Awa terdiam, menggaruk belakang tengkuknya yang tidak gatal. Ini adalah sebenar-benar pekerjaan pertama baginya. Dirinya memang kuliah pada jurusan bisnis, akan tetapi apabila berurusan langsung dengan dokumen seperti ini tentu membuat Awa harus berpikir lebih.

Belum lagi sejak terakhir kali Awa duduk di bangku perkuliahan, itu sudah lama sekali. Dan kemungkinan semua buku usang dan file ketika masih berada di universitas tidak lagi ia sentuh ataupun sekadar untuk ia lihat lagi.

"Belum sih.. Susah gak?" Tanya Awa sedikit ragu.

Bima mengendikkan bahu, "Belum dicoba mana tau?"

"Udah ayo ikut dulu ke ruangan gue, bisa gue ajarin."

Tanpa perlu menjawab si lawan bicara, Bima langkahkan kakinya kembali ke ruangannya berada, diikuti dengan Awa di belakangnya.

Bisa Awa lihat meja kebesaran Bima penuh dengan kertas-kertas yang Awa yakin sangat penting nilainya. Dapat Awa lihat walupun secara sekilas bahwa Bima sungguh bekerja keras akan apa yang ia miliki saat ini.

Hati Awa kembali tertohok, kemana dirinya di tengah terpuruknya Bima ketika lelah. Awa yakin tak jarang Bima pasti membutuhkan bahu sebagai sandaranya, tetapi Awa tidak ada. Awa tau dan dirinya mau pada setiap tumbuhnya Bima, dirinya selalu ada di sampingnya. Itu sudah lalu, dan saat ini bukanlah saat yang tepat untuk hanya memikirkan bagaimana sakit hati dirinya ketika ditinggalkan oleh Bima dulu.

Sebuah kursi yang ada di depan meja kerja Bima ia geser, ditempatkan tepat di sebelahnya. "Duduk sini," perintah Bima kemudian.

Awa menuruti, untuk beberapa saat dirinya hanya diam memperhatikan Bima merapikan beberapa kertas penuh dengan coretan itu. Awa yakin bahwa Bima tengah memilah beberapa dokumen yang bisa Awa kerjakan nantinya.

"Nah," Bima letakkan satu tumpuk berkas yang tidak terlalu tebal tepat di depan Awa. "Ini udah gue urut mulai dari dokumen yang paling awal, berdasarkan tanggal aja, lo masukin satu-satu ke map ini ya." Sebuah map dengan beberapa sekat yang sudah terpasang paper guide kembali Bima letakkan di meja.

Bima mulai menjelaskan dokumen mana saja yang bisa diarsipkan. Sudah ia pisah dari beberapa dokumen lain yang sekiranya akan dibutuhkan segera. Lain halnya dengan mulut Bima terus mengeluarkan suara, Awa justru memfokuskan pandangan matanya pada sosok manusia di sampingnya ini.

Dari jarak yang begitu dekat antara mereka berdua kini, bisa Awa pastikan bahwa sebuah paras mengagumkan hasil dari mahakarya Tuhan telah ada di depan matanya. Bima tidak banyak berubah menurut dari apa yang Awa lihat. Tetap tampan dan manis dengan eye smile miliknya di waktu yang bersamaan. Awa tertegun, di dalam hati ia berusaha merutuki betapa lemah jika dihadapkan dengan Bima yang hingga saat ini ia tau, masih menjadi takhta tertinggi pemilik hatinya.

"Udah paham, kan?" Bima tolehkan kepalanya, menatap Awa yang juga menatapnya dalam sebuah lamunan kosong dari manik matanya. Binar mata itu sungguh memabukkan dan hampir saja membuat Bima kembali tenggelam.

Bima berusaha mengikuti apa yang sedang Awa lakukan. Ia tau bahwa binar mata yang Awa tunjukkan adalah bentuk dari sebuah kekaguman. Bima juga yakin bahwa Awa sekarang sedang terhanyut dalam lamunan dan awangnya sendiri. "Awa?" Panggil Bima pada akhirnya.

Namun Awa tidak menjawab dan masih tetap diam. Tangan Bima ia ayunkan di depan wajah ayu Awahiya yang tatapannya masih kosong, berusaha mendapatkan kembali atensinya. "Awa? Hey?" Panggil Bima lagi.

Sebuah ide terlintas dalam pikiran Bima. Sebenarnya ia sempat ragu. Tapi, ah biarlah.

Cup!

Bima kecup singkat pipi gembil Awahiya yang tidak tertopang dagu dengan tangannya. Awa kerjapkan matanya beberapa kali guna mengumpulkan kesadarannya kembali. "Awa?" Untuk kesekian kalinya Bima sebut nama Awa lagi.

"Ya?"

"Kenapa? Gue ganteng ya?" Ucap Bima dengan segala kepercayaan diri yang ia punya.

"Dih!" Balas Awa dengan tangannya yang mengusap pipinya, bekas kecupan kecil yang Bima berikan tadi. "Lo ngapain sih nyium-nyium gue?! Mesum banget lo sialan!"Umpat Awa.

"Gemes banget sih." Bima berujar dengan satu tangannya yang mencubit pipi Awa gemas.

"Sinting!"

Tidak tau saja bahwa yang Awa umpati tadi merasa bahwa dirinya adalah makhluk paling menggemaskan saat ini. Bima lebih memilih untuk tidak menanggapi umpatan Awa, dirinya lebih memilih untuk hanya tersenyum dan menikmati pemandangan di depannya saat ini. Kedua alis Awa menyatu dengan bibirnya yang melengkung ke bawah.

Saat-saat seperti ini yang sesungguhnya Bima rindukan. Duduk berdua dan saling melempari gurauan seperti yang mereka berdua lakukan dulu. Saling berbagi afeksi dan atensi.

Tidak ingin berlama-lama dalam situasi yang awkward setidaknya untuk Awa, maka segera Awa selesaikan pekerjaannya. Segera beranjak dari ruangan Bima dan lekas menetalkan degup jantungnya yang kian menggila.

Awang Awa kembali dibuat teringat dengan memori kejadian beberapa saat lalu, dirinya dibuat membeku pada sepersekian detik pertama ketika Bima menciumnya tadi. Padahal hanya di pipi. Namun hal sesederhana seperti itu sudah cukup mampu membuat kewarasan Awahiya turut terbang entah kemana. Awa masih lemah dengan perhatian kecil yang Bima berikan, ibarat kata rasa rindunya selama ini haus akan harap nyata bahwa akan bisa teratasi segera.

Ataraxia [Nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang