Ataraxia 2;

180 23 0
                                    

Awa yang tengah lelap tertidur terpaksa harus terusik oleh beberapa notifikasi yang kembali muncul di ponselnya. Sebagian besar dirinya tau bahwa itu adalah pesan dari sang Bunda yang berisik menyuruh dirinya untuk segera pulang. "Ah Bundaaa, Awa masih ngantuk tau." Omel Awa dengan matanya yang masih setengah terpejam.

Mungkin sang Bunda sudah cukup untuk menahan rindu karena sang anak bungsu sudah kurang dari satu tahun ini tidak pulang ke rumah. Sibuk berkelana mengelilingi beberapa negara indah. Untungnya, pengalihan ini cukup membuahkan hasil. Walaupun sesekali tidur Awa masih harus dibantu dengan adanya obat yang sudah dokter resepkan.

Awa bangkitkan dirinya, duduk di tepi kasur dan hanyut dalam sebuah lamunan untuk sekadar mengumpulkan nyawa. "Kayaknya gue emang udah harus pulang deh, kangen juga sama masakan Bunda," gumam Awa kemudian.

Tiap kali Awa harus meninggalkan negara atau kota yang ia kunjungi, rasa enggan itu akan tetap ada. Dirinya takut, apabila ia kembali ke rumah, luka itu akan terasa lagi perihnya. Hati kecilnya masih rentan terkena luka, namun terpaksa harus merasakan sakit yang ditimbulkan oleh cintanya sendiri. Tanpa kejelasan, dan tanpa alasan yang cukup untuk membuat dirinya diyakinkan.











 Tanpa kejelasan, dan tanpa alasan yang cukup untuk membuat dirinya diyakinkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Flashback.

Hari ini sungguh indah. Awan dan langit yang biru tanpa ragu menunjukkan rona cerahnya. Kursi taman yang diduduki oleh Awa di bawah sebuah naungan pohon rindang sudah cukup untuk menimbulkan seulas senyum manis di sudut bibirnya. Anak-anak kecil yang berlarian kesana kemari dan juga para remaja yang sedang dimabuk cinta semakin membuat suasana sore itu sungguh sempurna.

Tak lama setelahnya seorang pemuda yang ia tunggu sedari tadi telah datang. "ABIMM! -" Kekasihnya, Arsena Bimantara sudah tiba. Namun tatapan apa itu yang Awa lihat? Manik mata Bima menatapnya dengan begitu tajam, dahinya pun turut berkerut dalam. "Abim.. Abim kenapa?"

Kedua telapak tangan dengan jari-jari lentik itu Awa bawa ke kedua sisi pipi Bima. Yang ditanya masih diam, dengan tatapan lurusnya menatap Awa yang masih ada. "Abim ditanyain ih, kenapa-"

"Maaf Awa.."

Awahiya terdiam di posisinya. Awa? Apa itu? Sebelumnya Abim hanya memanggilnya dengan panggilan 'Sayang' atau 'Cantikku' saja. Ini terlalu tiba-tiba, namun otak Awa masih cukup pintar untuk segera mengetahui bahwa ada yang sedang tidak baik-baik saja.

"Not Awa, Abim! Panggilnya Sayang!" Saat ini dahi Awa juga turut berkerut dengan melemparkan sedikit protesannya karena panggilan yang seharusnya ia dengan kali ini tidak terucap dari mulut Bimantara. "Abim kenapa sih? Awa ada salah sama Abim? Kok panggil nama Awa bukannya sayang?" lanjutnya lagi.

Namun respon yang Bima tunjukkan tak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Pada skenario yang ia di otaknya, Bima akan kembali tertawa karena telah berhasil menjahili Awa. Dirinya akan dipeluk dalam sebuah dekapan hangat yang Bima punya, dan tak lama mereka akan berjalan membeli es krim dengan tangan yang saling bertautan. Hanya saja itu akan tetap menjadi sebuah angan, karena kerutan dalam di dahi Bima masih ada dengan tatapan datarnya.

"Maaf.."

Perkataan itu lagi. Awa sungguh benci karena ia tak tahu Bima mengucapkannya atas dasar apa.

"Kenapa sih? Ada apa?!" Tanya Awa tak sabar.

Namun Awa harus terkejut untuk kedua kalinya tatkala Bima membawanya ke dalam sebuah pelukan. Dekapan itu begitu erat seolah Bima akan segera kehilangan Awa. Bima tenggelamkan kepalanya di perpotongan leher Awa. Disana adalah tempat ternyamannya ketika merasakan lelahnya menghadapi dunia.

"Bima kenapa? Ada masalah?" Dengan nada bicaranya yang lembut, Awa tepuk pelan punggung Bima kala merasakan badan Bima yang bergetar terasa disana. Bima menangis ternyata, karena bahu Awa yang ia rasa juga tengah basah. Isakan-isakan kecil terdengar dari sosok yang selama ini selalu ia lihat kuat melindungi tubuh mungilnya. Bima sedang butuh ditenangkan, walaupun ia belum tau secara pasti apa yang menyebabkan kekasihnya menjadi seperti ini.

"Sayang.." Akhirnya Bima bersuara juga.

"Iya, Abim?

"Kita putus aja ya?"

Tepukan-tepukan penenang yang Awa berikan di punggung Bima sontak terhenti dengan tangannya tergantung di udara. Secara pasti pelukan hangat itu harus terpaksa lepas. Ditatapnya Bima yang saat ini tengah menunduk, tak berani untuk sekadar menatap balik mata jernih yang kini telah sepenuhnya berembun itu.

Dada Awa rasanya sungguh sesak, jantungnya turut berdegup dengan cepat. "Maksud Abim apa?" Tak mampu menahan segala kemungkinan buruk yang sebelumnya hanya sebuah skenario kusut di dalam pikirian.

"Maaf ya, Sayang. Mulai sekarang kita gak bisa sama-sama lagi. Ada sesuatu yang harus aku kejar. Aku mohon kamu jangan cari aku ya? Jangan tungggu aku juga," Ia elus pipi Awa yang merona karena menahan isak tangisnya. "Gapapa kalau kamu anggap Abim jahat, maaf Abim harus bikin Awa sakit. Tapi yang harus kamu tau, Abim akan selalu jadi Abim-nya Awa dan akan selalu sayang sama kamu Awahiya."

Otak Awa berhenti berfungsi, berusaha mencerna segala apa yang Bima utarakan. Namun pendengaran Awa mencoba menolak perkataan menyakitkan itu. Telinganya terpaksa tuli karena tak sanggup mendengar suara Bima yang saat ini terasa semakin jauh. Pandangannya buram, hingga akhirnya hanya gelap yang bisa ia rasakan, Awa tumbang. Setelah dirinya sadar, hanya jarum infus yang tertancap di tangan kanannya dan tak ada Bima disana.

Sekali lagi hati Awa rasanya hancur. Begitu menyesakkan bahwa rasa sakit yang menimpanya bukan hanya sekadar mimpi buruk belaka.

Sebenarnya akan ada banyak hal yang bisa membuatnya tenang, salah satunya adalah ikhlas. Akan tetapi ketika dirinya ditinggalkan tanpa persiapan dan tanpa diberi kesempatan untuk sekadar mengucapkan selamat tinggal saja sudah cukup membebani hatinya.

Flashback end.














Awa benar-benar memutuskan untuk pulang hari ini juga. Barang yang ia bawa sudah ia pack dengan rapi pada koper dan juga ranselnya. Sebelum pulang, dirinya memutuskan untuk menikmati sarapan dan juga kopi pagi pada resto yang ada di lantai paling bawah pada hotel yang ia tempati.

"Lah?!"

Akan tetapi, dirinya dikejutkan dengan sebuah siluet dari seseorang yang ia kenal. Belum sempat dirinya membuntuti orang tersebut, justru lebih dulu hilang dari pandangannya di balik sebuah tembok gedung di ujung jalan. Kepala Awa menggeleng, berusaha menampik eksistensi dari seseorang yang sudah lama tak ia lihat.

"Gue salah liat kali ya?" Gumamnya pada dirinya sendiri.

Pesanan Awa akhirnya datang, sepiring Rustico ditemani dengan segelas Macchiato menjadi pilihannya pagi ini. Lebih baik ia menyantap sarapannya dan kembali pulang lebih cepat.

















Haii, aku harap kalian bisa paham awal mula Awa memutusksan untuk pergi keliling dunia buat nyembuhin hatiya yang lagi luka ya hehe. Maaf kalo ada banyak sekali typo karena belum aku baca ulang sekaligus aku revisi. Mohon dukungannya ya, janglup vomentnya juga^^

Ataraxia [Nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang