Day 8

4 1 0
                                    

Hallo balik lagi dengan aku, Yeay sudah satu Minggu saja yah. Nih aku kasih lanjutan di day 8 ini yah.

🌼🌼🌼

Seharian di rumah sakit membuatku bosan, aku tidak jalan-jalan mengelilingi kota Yogyakarta. Aku tidak melihat suasana kampus serta aku tidak melihat Shaka.

"Makan jangan telat makanya," ucap Iren.

"Gue mah makan nomor satu, Ren," ceplos ku.

Padahal memang aku tidak terlalu suka dengan nasi. Aku mual ketika melihat nasi. Entahlah aku menyukai nasi tapi tidak sesuka aku pada Shaka.

Berbicara tentang Shaka, setelah kepergiannya, dia tidak.kembali lagi  ya sampai kupikir katanya pacar tapi ko ngilang itu beneran muncul di kepalaku. Tapi ya sudahlah aku tidak ingin memikirkan apapun hari ini.

"Ngelamunin apa, hayo?" ucap Iren.

Aku menggelengkan kepalaku, aku berusaha menutupi suasana hatiku. Kemarin adalah hari bahagiaku, hari di mana aku dan Shaka menjadi kita. Namun, hari ini aku sadar jika hubungan tidak menjamin orang itu akan selalu ada.

"Menurut gue, Shaka cuma penasaran sama Lo," ujar Iren tiba-tiba.

"Maksud Lo?" tanyaku heran.

"Kalau Shaka beneran serius sama Lo, masa sekarang Lo sakit dia gak jenguk Lo sih," jawab Iren.

Tok ... tok ... tok

Suara ketukan pintu terdengar, terlihat seorang ibu-ibu dan anaknya masuk ke dalam. Raka dan Ibu Maya. Mereka datang menjengukku.

"Assalamualaikum, Nak." Bu Maya langsung memelukku.
Ibu Maya menangis ketika mengetahui aku tengah terbaring di rumah sakit ini.
"Separah ini?" tanya Raka.

Aku hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman, aku tidak bisa menjabarkan padanya tentang kondisiku saat ini.

"Kamu sakit apa, Nak?" tanya Ibu Maya.

"Alula sakit lambung, Buk. Suka gak makan," ceplos Iren menjawab pertanyaan Ibu Maya.

"Pokoe, nanti mah ibu titipin sama Raka yah," ucap Ibu Maya.

Iren menatapku dengan penuh tanda, aku tahu gadis itu tengah mengisyaratkan sesuatu padaku. Namun, ia tidak mengatakannya. Mungkin berkaitan dengan Raka dan ibunya.

🌼🌼🌼

Cukup lama Raka dan Ibu Maya berada di runganku, hingga akhirnya mereka berpamitan. Aku kembali ditinggal bersama Iren, hanya berdua. Memang aku tidak memberi tahu orang rumah jika aku tengah sakit.

"Kayanya Lo disayang amat sama Ibunya Raka," ceplos Iren.

"Dari mana Lo tahu soal itu?" tanyaku heran.

"Lo gak liat tadi raut wajahnya seperti apa?"

"Alula, harusnya Lo jadian sama Raka bukan sama Shaka. Meski sama-sama berjuang KA tapi beda jauh sifat sikapnya."

Ucapan  Iren terhenti ketika Shalat memasuki ruanganku. Dari mana saja lelaki ini, jam segini baru datang menghampiriku.

"Gue pikir Lo lupa sama cewek Lo," ceplos Iren.

Shaka menatap Iren dengan tatapan dinginnya. Ia tak menjawab, namun langkahnya kini menghampiriku. Ia memberikan sekotak martabak telor padaku.

"Gimana keadaan Lo?" tanya Shaka.
Belum sempat aku menjawab, Iren terlebih dahulu menjawab pertanyaan Shaka.

"Udah baikan yah, Lul. Habis dijenguk calon mertua."

Shaka melihatku kembali.

"Memang mamahku ke sini?" tanya Shaka.

Aku kehabisan kalimat kali ini, bagaimana bisa Iren akan mengatakan seperti itu. Aku takut Shaka marah. Aku takut kita bertengkar hebat karena Shaka tahu Raka menjengukku.
"Raka sama ibunya," ceplos Iren kembali.

"Oh, jadi calon mertuanya udah jenguk, bagus deh."

Shaka berjalan menuju sofa uang kini di duduki Iren.

Aku paham perasaannya, aku mengerti kondisinya. Entah aku beneran takut Shaka marah kali ini.

"Dari mana aja Lo baru ke sini?" Iren membuka kembali percakapan ini.

"Anggar," jawabnya.

"Ceweknya sakit masih sempet latihan anggar."

Shaka melihat Iren, tatapan tak biasa kini terlihat dari sorot matanya.
"Yang penting gue sekarang ke sini kan?" ucap Raka.

Yang penting? aku sejenak mencera kalimat itu, yang penting seolah aku memang tidak penting baginya.

"Gila Lo," ketus Iren.

Suasana kamarku kini menegang, tidak ada suara satu sama lain. Entah karena Iren yang mulai kesal dengan Shaka atau bahkan Shaka yang diwarnai api cemburu.

"Assalamualaikum."

Aku melihat ke arah pintu, Avia dan Rani kini datang menjengukku. Tentu saja mereka terlihat bingung karena kesepian kamarku.

"Gimana keadaan Lo, Lul?" tanya Avia.

"Alhamdulillah baik paling nanti aku pulang, Vi," jawabku.

"Gak Nerima orang sakit, Lo kalau mau pulang sehat dulu," sahut Rani.

Gadis itu hampir mirip seperti Iren yang asal ngomong. Namun, aku percaya di balik sifatnya dia menyayangiku sama seperti Iren yang tidak ingin melihatku sakit.

"Eh ada ayang," ceplos Rani kembali.
Aku memukul lengan gadis itu, seolah tidak terima ada gadis lain memanggil Shaka dengan sebutan itu.

"Ciee cemburu," ceplos Rani kembali.
"Ya Iyalah dia cowok gue," ucapku.

"Ceweknya ngaku cowoknya, eh cowoknya malah main-main," ujar Iren.
Tanpa aku sadari Shaka kini memukul lengan Iren.

"Dih ... dih ... dih, liat geh Lul, cowokmu genit," ucap Iren.

"Gimana fikiran lo gak butek, Ay. Temen lo kaya gini semua," ketus Shaka.

Demi apa? Shaka memanggilku Ay? Apa Ay, apa panggilan sayang dia padaku? Rasanya aku ingin segera beranjak dari tempat tidurku, dan memeluk Shaka. Di depan teman-temanku ia berlagak manis sekali.

"Pulang-pulang," ucap Shaka, ia menyuruh Avia, Iren dan Rani untuk pulang.

Shaka meminta waktu pada temanku, untuk meninggalkan kita berdua. Akhirnya aku beneran ditinggal berdua bersama Shaka di dalam kamar rumah sakit ini. Entah aku benar-benar beruntung memiliki laki-laki sepertinya. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama dan akan terus jatuh cinta padanya.

"Terima kasih Tuhan telah menghadirkan dia padaku saat ini." - Alula.

**** Bersambung ****

hehehe terima kasih untuk yang sudah like. Yang belum like jangan lupa like komen dan follow yah.

#Day8
#810kata
#crushseriesbookoffice

Kuingin Lari dari LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang